Semalam aditya bercerita bahwa Muza bermain seharian saat mamanya terlambat pulang, sekarang Muza badannya panas lagi.
Di meja makan telah tertata banyak hidangan namun anak-anak belum muncul, Satria lebih dahuluhadir disana, ia melihat sekeliling yang sepi.
Dimana anak-anak ? hanya nampak punggung rey di depan kompor entah apa yang sedang dilakukannya. Satria inngin sekali menyapa Rey manja seperti biasanya. Namun ia enggan, ia khawatir Rey marah atas pernyataannya semalam.
Suasana demikian beku seperti es batu yang menggumpal di frezer kulkasnya.
"Rey, anak-anak kemana ?"
"Mungkin masih di kamar, " Rey menyahut tanpa melihat wajah Satria.
Hal yang tidak pernah terjadi sepanjang pernikahan mereka. Rey terluka, itu pasti.
Siapa yang siap mendengar, suaminya pernah punya perjanjian pernikahan dengan wanita lain ? Tak ada yang sanggup.
Rey, wanita biasa, Rey wanita yang sama sepwerti wanita yang lainnya.
Hingga,
Riuh rendah suara anak-anak berlarian melewati tangga menuju ruang makan.
Mereka memeluk ayah baru mereka bergantian. Tujuh anak ini adalah pelipur lara Satria juga Reynata. Mereka bercerita, riang.
"Kepalaku pusing ayah," Suara Muza membuka percakapan. Ia berbicara sambil terbatuk-batuk kecil . Batuk khas Muza. Batuk kering yang diiringi suara 'ngik, ngik, ngik.
Satria tegang menatap Muza, ia khawatir hal buruk terjadi pada putra tercintanya. Satria mendekat, memeluk Muza dari belakang kursinya. Membisikkan sebuah kalimat.
"Muza nanti sore ikut ayah ke dokter ya,"
"Males Yah."
"Kok males ?"
"Sering sekali ke dokter yah, capek " suara Muza mendengus kesal. Muza dengan tubuh ringkihnya hari ini mengenakan baju berwarna gelap dengan lengan panjang. Muza nampak letih dan kelelahan.
"Muza minta apa biar mau ayah ajak ke dokter."
"Emmmm" Muza meletakkan telunjuk di dagunya, membuat mimik berfikir yang lucu sekali.
"Muza minta mobil remote ya yah,"
"Muza, nggak usah manja,!" suara Rey meninggi membuat Muza terkejut terlebih lagi Satria.
"Mama lagi kedatangan rembulan ya ma?" suara Rahman menggoda mamanya. Mereka tidak tahu bahwa mamanya sedang gundah gulana.
"Kalian nggak usah manja, kalau mau sembuh ya ke dokter, kalau nggak mau sembuh ya sudah tidur sana !" Rey menghardik anak-anaknya.
Hal ini belum pernah dijumpai Satria. Ini untuk pertama kalinya begini. Satria berdiri tegas.
"Maksudmu apa ?" mata mereka bersirobok, Rey bergetar hebat. Mata itu yang beberapa bulan terakhir ini mengoyak hatinya dalam sebuah rasa indah. Seperti bejana cinta yang liar memercikkan air bunga segar. Mata itu yang menatap syahdu wajahnya saat mereka bercinta. Mata itu yang membuat Rey kagum. Mata itu, ya... mata itu yang ternyata juga menatap kecantikan yang lain selain dirinya. Mata itu kini menatap Rey tajam. Tidak lagi lembut seperti hari kemarin.
Semua terjadi karena ulah Rey juga, Rey terlampau gulana hingga ia tak mampu mengendalikan diri. Ia memarahi anak-anak tanpa mereka tahu ujung pangkal kemarahannya.
"Aku hanya tidak ingin anak-anak menjadi manja."
"Kenapa kalau mereka manja, aku ayahnya kan ?"
"Sampai kapan ?" suara Rey meradang.
"Maksudmu?"
"Iya, sampai kapan ?"
"Sampai kapan kamu akan jadi ayah anak-anak ?"
"Kamu terlalu, Rey "
Anak-anak mereka menunduk, sebagian melanjutkan makan, sebagian hanya mengaduk-aduk makanannya saja.
Mereka tidak mengerti ada apa dengan ayah dan mamanya. Kenapa mereka bisa bertengkar seperti ini.
Sekali lagi, setiap pertengkaran orang tua terjadi selalu anak yang jadi korban. Selalu begitu.
"Terlalunya dimana ?"
"Cukup Rey, cukup." satria mencoba membuat Rey berhenti bicara.
"Aku hanya ingin anak-anak sadar Satria. Anak-anak dulu hidup sederhana mereka bisa, kenapa sekarang mereka berubah ?"
"Cukup !" nyaring sekali Satria bicara. Hingga bibik, Rey juga anak-anak terkejut. Satria tidak pernah bersuara keras, Satria laki-laki lembut namun tegas.
Tapi hari ini Satria demikian panik. Ia tidak pernah sepanik ini sebelumnya. Satria pergi dari ruang makan. Sambil ujung kakinya dihentakkan pada kaki kursi.
Satria melangkah melewati anak tangga. Dengan baju bergaris merah dan tangan kirinya menenteng tas kecil berisi laptop. Satria menghilang hingga suara tapak kaki dan harum parfumnya tak tercium lagi.
Anak-anak serempak meninggalkan ruang makan, meninggalkan Rey tanpa menghabiskan sarapannya. Rey menunduk, membenamkan wajah mungilnya di tepian meja makan, air matanya kembali menganak sungai.
Di dalam mobil yang dikendarai Satria, Satria merasa gusar, ia merasa tidak tenang. Ia tidak bisa kehilangan anak-anak. Ia memang mencintai Reynata namun lebih dalam dari itu ia mencintai tujuh yatim itu. Ia tidak ingin menyaksikan tujuh yatim itu dalam keadaan memilukan seperti dirinya dulu.
Hidupnya berkecukupan namun dirinya begitu kesepian.
Satria sangat bingung, hingga ia menepi di parkiran taman kota. Ia sandarkan kepalanya di ujung kursi mobil. Ia ingat betapa gaun putih itu pernah membuat Reynata nampak cantik di depannya. Ia ingat gigi putih rapi itu saat tersenyum, ia ingat celoteh manja Rey saat menasehati dirinya tentang bagaimana caranya menjaga kesehata.
Reynata telah mengisi hari-harinya.
Namun janjinya pada Angelin dan keluarga untuk menikah juga demikian kuat mengikat hatinya. Satria makin tegang.
Haruskah ia membiarkan pernikahannya hancur, anak-anaknya hancur hanya demi sebuah janji untuk menikahi wanita lain. Harusnya ia faham rasa sakit yang akan ditanggung oleh reynata, harusnya ia sadar anak-anak akan kehilangan rasa hormat pada dirinya.
Haruskah ia memaksakan dirinya menikah lagi, lalu bila Reynata meminta cerai dan membawa anak-anak pergi dari rumahnya. Bagaimana nasib anak-anak ?
Ia bisa saja mungkin mengirimkan uang sebanyak mungkin, namun apakah mungkin ia bisa memastikan hati anak-anak tidak hancur sejak perceraian mereka terjadi?
Bukankah orang tua selalu ingin anak-anaknya bahagia ?
Mengapa harus menjalankan yang sunnah kemudian meninggalkan yang wajib ? tidak ada satu ajaran pun di dunia ini yang mengajarkan demikian.
Sebenarnya ia hanya ingin istrinya mengerti. Ia hanya ingin menikahi Angelin demi janjinya pada paman dan bibi yang telah mendukung perjalan hidupmya saat ia menjadi yatim dan sendirian.
Bukankah Reynata tahu saat ini Angelin sedang koma, mungkin hidupnya tidak akan lama lagi.
Pengaruh obat yang diminumnya berlebihan dan benturan di kepala itu pasti membawa dampak panjang. Satria yakin bahwa nanti saat Angelin kembali pada Allah ia dan Reynata akan bahagia kembali.
Dan selama pernikahannya berlangsung ia akan tetap mencintai juga menjaga Reynata dan anak-anak. Pernikahan kedua tidak akan mampu menghapus cinta pada pernikahan pertamanya.
Tapi rupanya Reynata sulit mengerti, ia terlampau marah pada ketidakjujuran Satria dari awal.
Satria memang tidak menceritakan perjanjiannya dengan keluarga angelin pada Reynata sebelum mereka menikah dulu. Bukan karena ia ingin berbohong tetapi karena memang ia tidak menganggap perjanjian tersebut benar-benar serius.
Satria menghela nafas panjang, ia makin yakin tidak akan meneruskan perjanjian untuk menikahi Angelin. Ia harus menceritakan semuanya pada paman, Satria yakin paman orang baik, paman akan mendukung dirinya untuk menjaga rumah tangganya.
Satria tidak akan melakukan apapun bila itu taruhannya adalah anak-anak. satria akan menjaga rumah tangganya. Ia ingin melalui kehidupan bersama cinta Reynata dan tujuh orang anaknya.
Di rumahnya,
Reynata masuk ke kamar anak-anaknya. Di kamar besar ini lima orang anaknya tidur dalam satu kamar dengan ranjang sendiri-sendiri, satu televisi 32 inch juga ac yang pasti memanjakan mereka.
Belum lagi android yang mereka pegang.
Reynata mendekati Muza diranjangnya, ia duduk di ujung pembarringan putra kecilnya. Muza tubuhnya makin panas. Badannya makin letih.
"Kita ke dokter ya, nak " ajak Reynata pada Muza kecilnya.
"Dengan ayah kan ma ?" parau sekali Muza bersuara.
"Tapi ayah belum pulang sayang,"
"Kita tunggu ayah ya, ma "
"Tapi nak,"
"Aku sayang ayah ma." Suara Muza bergetar.
Getarannya mampu membuat hati Reynata berguncang. Muza menyampaikan inginnya, inikah jawaban akan kegelisahannya. Inikah jawaban dari Tuhan antara berpisah atau menjaga rumah tangganya.
Reynata gamang, ada suara nyanyian dalam hatinya.
Pilihan sulit itu akan ia jawab nanti di hadapan Satria suaminya. Ia akan sampaikan jawaban atas perbincangan mereka kemarin malam.
Lengan kanannya menyentuh ponselnya ringan. Membuka percakapan dengan suami tercintanya.
"Assalamualaikum mas"
Selang beberapa saat pesan itu terjawab..
"Ya, waalaikum salam."
"Kalau tidak sibuk mohon pulanglah, Muza mau ke dokter tapi diantar Ayah"
Sejenak Satria tersenyum, mungkin hati Rey sudah meleleh, mungkin amarahnya sudah reda.Satria memacu mobilnya untuk pulang. Mengantar Muza berobat dan melihat senyum Reynata, istri tercintanya.