#5 Permintaan Pertama

1361 Kata
Upacara Sangkur Pora selesai dilaksanakan siang tadi. Malam harinya dilanjutkan dengan resepsi. Banyak teman-teman Naifah dan Praka Yudan yang hadir dan memberikan selamat serta do'a atas pernikahan mereka berdua. Keduanya pun hanya tersenyum dan mengaamiinkan do'a-do'a itu. Pukul sebelas barulah mereka berdua memasuki kamar. Kamar pengantin! Eerrr, tahu bagaimana hawanya? Sakral. Banyak sekali bunga yang ada di atas ranjang. Ini merupakan kamar milik Naifah yang disulap sedemikian indahnya oleh orang-orang entah siapa. Sepertinya ini kerjaan ibu dan Erlin. Kedua wanita itulah yang paling antusias dengan kegiatan malam pertama Naifah. Astaga! "Kamu mandi dulu." Naifah menoleh, "Bapak nggak lihat? Aku masih ribet nglepas hijab nih! Belum lagi hapus make up. Kalau Bapak pengertian, seharusnya Bapak duluan yang mandi!" Tanpa menjawabi omelan Naifah, Praka Yudan menghilang dibalik pintu kamar mandi yang ada di dalam kamar Naifah. Naifah hanya mendengkus kesal. Akankah ia betah dengan sikap sang suami? Embohlah.. Satu bulan yang lalu, Naifah sempat stress karena mengalami sesuatu yang langka dalam hidupnya. Pengajuan nikah dengan seorang prajurit TNI ternyata sangat menyita waktu dan kesabaran. Naifah harus berjuang bersama sang praka, demi turunnya surat izin menikah. Selain itu, banyak sekali drama yang menghiasi pengajuan nikah itu. Ah sudahlah! Naifah enggan mengingatnya. Jika mengingat sulitnya pengajuan nikah, Naifah jadi enggan meminta pisah. "Jangan ngelamun malam-malam! Mandi, Nai." Jika sudah menyebut namanya, Naifah seperti terhipnotis. Gadis itu pun melenggang ke kamar mandi. Sudah setengah jam lebih Naifah berada di kamar mandi. Sebenarnya, gadis yang sudah purna masa gadisnya itu memang sengaja berlama-lama di dalam kamar mandi. Alasannya, tentu saja menghindari malam pertamanya dengan Praka Yudan. Uh! Enak saja lelaki itu bisa mengambil mahkota berharga yang telah dijaga baik-baik oleh Naifah. Tok! Tok! Tok! "Nai?" "Nai.." "Naifah? Kamu baik-baik saja di dalam? Aku dobrak pintunya kalau kamu nggak jawab-" "Y-yaaa sebentar Bapak!" Naifah akhirnya menyahut. Dengan gerakan ragu-ragu ia membuka pintu. Wajahnya kesal setengah mati. Praka Yudan melihat Naifah yang sudah rapih mengenakan baby doll berlengan panjang serta jilbab instan yang menutupi kepalanya. "Ayo kita bicara." Duduk di ranjang yang sama. Membuat atmosfer semakin dingin dan keheningan ini semakin mencekam. Naifah, yang biasanya selalu berteman dengan ranjangnya. Kini rasanya ia ingin segera beranjak keluar kamar dan tidak kembali ke kamarnya lagi. "Nai?" Panggilan itu lagi, dengan suara orang yang sama. Naifah dengan ogah-ogahan mengangkat kepalanya. Ya, sedari tadi gadis itu menunduk dan memilin-milin baby doll yang ia kenakan. "Hm," "Suaramu lagi habis? Atau nggak punya mulut, ini pajangan pemanis wajahmu aja ya?" Praka Yudan menyentuh bibir Naifah yang mengerucut itu. "Dalem Bapak!" (Dalem : Iya) Praka Yudan terkekeh pelan. Wanita imut dan menggemaskan di depannya itu lama-lama bisa menjadi sasaran khilafnya. Astagfirullah! Untung saja pengendalian dirinya cukup kuat. "Ekhmm..maaf-" "Kenapa Bapak minta maaf? Memangnya Bapak melakukan kesalahan?" Potong Naifah, yang langsung membuat Praka Yudan melayangkan pelototan mautnya. "Aku nggak suka kamu motong perkataanku." Naifah hanya mengangguk dan menunduk. "Langsung ke intinya aja-" "Bapak!! Sudah cukup ya Pak, aku udah rela melepas masa mudaku demi menjadi pendamping hidup Bapak. Apa itu belum cukup? Bapak jangan seenaknya meminta hak Bapak, walau itu SAH-SAH saja!" "..a-aku belum siap. Kalau Bapak masih punya hati, aku yakin Bapak akan menghargai aku, istri Bapak." Luapan emosi tertahan Naifah itu berakhir dengan isak tangisnya yang memilukan hati siapapun yang mendengarkannya. Praka Yudan membawa Naifah ke dalam dekap pelukannya. Gadis itu awalnya menolak, namun pasrah karena tenaganya tidak sebanding dengan sang praka. "Kenapa menangis?" "..hiks..hiks, Bapak.. Bapak mau minta 'itu' kan? Hiks.. hiks.." Lelaki itu tersenyum kecut dan tangannya bergerak mengusap kepala Naifah yang masih berbalut jilbab. "Kata siapa?" "Kata Bapak tadi!" Naifah beranjak dari d**a suaminya. Diusapnya air mata yang sempat mengalir karena rasa takutnya akan sang suami yang meminta nafkah batin padanya. Praka Yudan tersenyum, "aku bilang apa tadi? JANGAN POTONG PEMBICARAANKU." Setiap tiga kata terkahir itu, terucap penuh dengan penekanan. Naifah hanya diam, menunggu ucapan lelaki itu selanjutnya. "Dengarkan baik-baik." Naifah hanya mengangguk lemah dan menatap sang suami. Praka Yudan berkata, "Aku tidak akan meminta hakku meskipun sebenarnya tanpa persetujuanmu, aku bisa melakukannya.." Seketika bulu kudu Naifah berdiri, merinding sekali jika pertempuran terjadi malam ini. Naifah belum sempat membawa alat-alat untuk melawan lelaki yang berprofesi sebagai prajurit ini. "..aku berjanji tidak akan menyentuhmu sebelum kamu benar-benar mengizinkan aku untuk menyentuhmu. Jadi, jangan takut lagi denganku. Jangan mengunci dirimu di kamar mandi, kalau kamu sakit, maka orang pertama yang menjadi tersangkanya adalah aku.." Naifah terkekeh pelan mendengar kata terakhir sang suami. "..tetapi, itu semua TIDAK GRATIS." Gadis itu membelalakkan kedua matanya. Ia menyadari, seharusnya tidak secepat itu ia percaya pada sosok lelaki. Karena pada kenyataannya, semua yang diberikan oleh lelaki pasti ada timbal-balik terselubungnya. "Pertama, bersikaplah selayaknya sepasang suami istri di depan keluarga. Kedua, layani semua kebutuhanku, selayaknya seorang istri. Apa kamu sanggup?" Naifah berpikir sejenak, "jadi, aku harus bersandiwara manis-manisan sama Bapak kalau lagi ada ditengah-tengah keluarga, gitu?" Praka Yudan mengangguk. Naifah cerdas juga rupanya! "Terus, aku harus memasak, dan menyiapkan semua kebutuhan Bapak, gitu?" Lagi-lagi lelaki itu hanya mengangguk. "Bapak berniat menjadikan aku pembantu Bapak ya!?" Praka Yudan berjingkat, tidak tahu lagi harus dengan kalimat apa ia bisa mengatur sang istri. Sang istri tidak kunjung mengerti maksud baikknya. Itikad baiknya seakan-akan ditolak mentah-mentah. Baiklah! Cukup sudah kesabaran seorang lelaki. "Terserah kamu. Aku nggak peduli. Kalau pun kamu nggak mau, ya sudah." Praka Yudan beranjak dari kasur. Berjalan ke arah saklar lampu kamar. Klik. Lampu padam. Naifah tidak merasakan ranjangnya bergerak, itu tandanya Praka Yudan tidak kembali lagi ke kasur. Apakah lelaki itu tidur di sofa? Masa bodoh! Naifah menepuk-nepuk bantal yang ia raba-raba karena ruangan ini gelap. Lalu, memposisikan dirinya berbaring. Malam ini dan seterusnya mungkin ia akan tidur dengan mengenakan jilbab. Tidak apa-apa! Ini semua demi terhindar dari mata lelaki itu. Beberapa kali Naifah bergerak gusar. Ia tidak bisa tidur, padahal biasanya jika lampu sudah mati. Tidak menunggu lama, gadis itu sudah terlelap. Tetapi tidak dengan malam ini. Ada sedikit rasa bersalah karena tidak menurut dengan Praka Yudan. Jika dipikir-pikir, ini perintah pertama Praka Yudan setelah menyandang status sebagai suaminya. Naifah turun dari kasurnya, berjalan tenang karena ia sudah hapal setiap inci ruangan ini meskipun lampunya padam. Klik. Lampu menyala. Pemandangan pertama yang berhasil membuat Naifah merasa bersalah untuk kedua kalinya adalah sosok lelaki yang tertidur di lantai kamarnya. Lantai!? Apakah tidak kedinginan? Mengapa tidak di sofa? Apa jangan-jangan.... "BAPAK!? Bapak.." Naifah membawa kepala sang praka ke pangkuannya. Jika di film-film, tangannya akan bersimbah darah karena kepala belakang korban luka. Tetapi tidak dengan tangan Naifah. "Eungghh.." lenguhan kecil, lolos dari bibir lelaki itu. "Astagfirullah!!" Praka Yudan memposisikan dirinya duduk. Walau kesadarannya belum sepenuhnya terkumpul. Sambil mengucek matanya dan menyesuaikan pandangan di depannya. Apa yang dilakukan Naifah barusan!? "B-bapak jangan salah paham! Aku kira Bapak jatuh dari sofa." "Aku memang tidur di lantai." "Kenapa nggak di sofa?" Praka Yudan menaikkan sebelah alisnya. Tidak lagi menjawab pertanyaan sang istri. Ia malah hendak memposisikan dirinya seperti tadi. "Bapak!? Jangan tidur di lantai!" Tidak mempedulikan Naifah, Praka Yudan kembali tidur membelakangi Naifah yang masih duduk di lantai. Tepatnya, kini gadis itu di belakang Praka Yudan. "Bapak.." Naifah menoel lengan kekar sang suami. "Oke! Aku mau melakukan apa yang Bapak perintahkan. Dua permintaan tadi, mulai besok aku lakukan.." "Ya," jawab lelaki itu tanpa membalikkan badannya. "Aku minta maaf!" "Ya." Lagi-lagi hanya itu yang terdengar. Naifah kesal, ia pun berdiri. Menghentakkan kedua kakinya, lalu kembali ke tempat tidur. Beberapa saat kemudian, Praka Yudan membalikkan badannya. Ia melirik ke arah ranjang. Istrinya telah tidur dengan nyenyak. Bahkan, sampai lupa mematikan kembali lampu yang sempat ia nyalakan. Akhirnya, lelaki itulah yang mematikan lampu kamar. Sebelum mematikan lampu kamar, Praka Yudan mendekat pada sang istri. Di usapnya pelan dan penuh kasih sayang kepala sang istri yang masih berbalut jilbab instan. Apakah istrinya nyaman, tidur dengan masih mengenakan jilbab? Persetan dengan itu, ia sendiri tidak berani melepas jilbab sang istri. Walau sebenarnya tidak salah jika itu ia lakukan. "Cepat luluh Nai. Aku tresna sampeyan," (aku cinta kamu) ucap Praka Yudan. Cup! Satu kecupan mendarat di dahi Naifah, walau sedikit kesusahan karena masih mengenakan jilbab. Tidak salah kan? Ya, walau caranya secara diam-diam. Praka Yudan tetap berhak atas Naifah. Meskipun gadis itu enggan. Lelaki itu pun kembali tidur, kali ini ia memilih tidur di sofa. Karena keadaan tidak se-gerah tadi. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN