Ciuman khilaf sang Boss

1321 Kata
"Saya mau laporan ini selesai malam ini juga, Intan!” Seorang CEO terdengar memberi perintah pada Intan–sekretaris pribadi. Pria bernama Mahendra mengatakan dengan suara tegas seolah tak mau ditolak. Intan pun tampak memijat pelipisnya yang terasa berdenyut. Hari ini, seperti biasa, Mahendra, sang bos, memintanya untuk lembur lagi. Ini sudah ketiga kalinya dalam minggu ini dan Intan mulai merasa beban kerjanya sudah diluar batas kemampuan. Dia memang dikenal pekerja keras, tapi untuk lembur terus menerus, siapa pun pasti akan mengeluh. "Baik, Pak. Saya akan menyelesaikannya malam ini." Meski dengan berat hati, Intan tetap mengerjakan pekerjaannya tanpa peduli kepalanya yang sejak tadi terasa pusing. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam dan Intan baru saja menyelesaikan laporan yang diminta sang bos. Dia merasa sangat kelelahan, energi seperti terkuras habis tak tersisa. “Duh, kepalaku kenapa makin pusing, ya?” Benar saja, baru Intan beranjak dari kursinya, dunia seolah berputar dan pandanganya dalam sekejap berubah gelap. Intan kehilangan kesadarannya. Beruntung, Mahendra yang sejak tadi memperhatikan Intan berhasil menangkap tubuh wanita itu sebelum sempat jatuh ke lantai. “Intan, kamu kenapa?” Suara itu terdengar cemas. Mahendra pun langsung menggendong tubuh Intan dengan tergesa. *** Hampir satu jam lamanya, Intan tak sadarkan diri. Wanita itu kini mulai membuka mata dengan perlahan. Kepalanya masih berdenyut pusing. Terasa sakit sampai membuat dahinya mengernyit. “Di mana ini?” Pertanyaan itu terdengar lemah keluar dari mulut Intan saat mengetahui jika dirinya kini sedang berada di suatu tempat asing yang sebelumnya belum pernah didatangi. Tempat tidur nyaman dengan sprei putih bersih. Eternit langit-langit kamar juga terlihat mewah dengan lampu gantung indah, ditambah dekorasi yang begitu elegan dan itu sukses membuatnya terkejut. Di tengah rasa penasarannya, pintu kamar terbuka. Seorang pria berusia 40 tahun melangkah masuk. Dengan stetoskop dibawanya, Intan langsung tahu jika pria itu adalah seorang dokter. "Anda sudah sadar. Bagaimana keadaan Anda, Nona? Apa masih pusing?" tanya Dokter dengan ramah. Intan mengerutkan kening. "Masih, Dok. Ini di mana?" Intan menjawab, diakhiri sebuah pertanyaan pada sang dokter. "Sekarang Anda ada di apartemen Pak Mahendra. Tadi Anda pingsan di kantor dan Pak Mahendra membawa Anda ke sini," jelas Dokter tersebut sambil mengecek tekanan darah Intan. "Apartemen Pak Mahendra …." Wajar saja Intan terkejut, bagaimana mungkin atasannya itu malah membawanya ke apartemen alih-alih ke rumah sakit. Setelah dokter memastikan bahwa Intan baik-baik saja, dia pun pergi meninggalkan ruangan. Intan coba mencerna semuanya. Di saat yang sama, bunyi ponsel berdering. Di layar tertera nama Bima–suaminya. "Halo, Bim." Intan menyapa dengan suara yang masih terdengar lemah. "Intan, kamu di mana? Sudah malam sekali, kenapa belum pulang?" Suara Bima terdengar khawatir. Intan menelan saliva-nya. Dia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya. "Aku ... aku masih lembur, tapi sedikit lagi selesai, nanti aku pulang," jawabnya dengan suara bergetar. Ada rasa takut kalau Bima tahu dia ada di apartemen pria, meskipun atasannya sendiri. Namun, percakapan itu tak berhenti sampai di sana. Terdengar suara lain di belakang Bima. Ya, siapa lagi? Suara julid mertuanya begitu mudah dikenali. "Alasan lembur, pasti dia lagi selingkuh sama bosnya. Apa lagi alasan dia tidak pulang sampai larut malam seperti ini?" Perkataan itu menusuk hatinya seperti pisau yang mengiris. Air mata pun mulai menganak di sudut matanya. Intan memang sering diperlakukan seperti itu oleh ibu mertuanya. Selain dihina mandul, kini dia juga dituduh selingkuh oleh bosnya. Bila ingat semua perlakuan sang mertua, ingin rasanya Intan bercerai dari Bima. Namun, dia masih coba bertahan. Berpura-pura kuat meski sudah terluka begitu dalam. Tanpa Intan sadar, Mahendra sudah berdiri di pintu kamar. Dia baru saja mengantar dokter keluar dan kembali untuk memastikan bahwa keadaan Intan baik-baik saja. Namun, apa yang dia lihat saat ini semakin membuatnya cemas. Bukan hanya pucat, ada kesedihan yang begitu dalam di wajah Intan. Mahendra pun dapat menebak dengan mudah jika itu bukan hanya sekadar masalah pekerjaan semata. Merasa tidak rela Intan diperlakukan dengan tidak baik, Mahendra tampak mengepal erat tangannya seperti menahan amarah. Namun, sejenak ia menepikan. Menekan kuat rasa itu agar Intan tidak tahu perasaannya. "Intan, apa kamu baik-baik saja?" tanya Mahendra hati-hati, nada suaranya berubah terdengar lebih hangat. Sangat berbeda tak seperti saat di kantor. “Eh, Pak Mahendra? Maaf, saya enggak tahu kalau Bapak ada di sana." Intan cepat-cepat menyeka air mata, tak ingin jika sang bos sampai tahu kesedihannya. Mahendra mulai mendekat, lalu duduk di tepi ranjang sambil terus menatap Intan dengan penuh perhatian. "Saya mendengar sedikit pembicaraan kamu tadi. Apa ada yang bisa saya bantu?" Terlihat raut cemas di wajah Mahendra. Wajah yang masih begitu menyebalkan di mata Intan, terlebih saat dia teringat apa yang menimpanya saat ini adalah karena perintah lembur dari Mahendra. Intan pun merasa ragu. Dia belum pernah bicara tentang masalah rumah tangga pada teman di kantor, apalagi pada Mahendra, atasan yang menurutnya menyebalkan karena sering memberikan lembur padanya. Namun, di dalam hatinya seperti ada dorongan agar dia tak perlu ragu lagi menceritakannya. "Saya … saya cuma kecapekan aja kok, Pak." Akhirnya Intan memilih untuk tidak berkata jujur pada Mahendra. Bagaimanapun juga, rasanya tidak benar jika sampai mengumbar aib rumah tangganya? Biarlah, rasa sakit itu dia sendiri yang merasakannya. “Enggak apa-apa, Intan. Ceritakan saja daripada kamu hanya menyimpannya sendiri dan itu membuatmu lelah.” Kali ini pertahanan Intan runtuh seketika. Perkataan Mahendra seperti sihir yang membuat mulutnya tiba-tiba bicara dengan sendirinya. Mungkin hatinya terlalu lelah menyimpan semua rasa sakit sendirian. Nyatanya, pria itu benar jika beban di hatinya perlu diungkapkan. “Mertua saya sering menghina saya karena saya belum bisa memberi mereka cucu. Dan sekarang, mereka juga menuduh saya selingkuh hanya karena saya sering pulang larut malam." Mahendra terdiam sejenak, merenungkan apa yang baru saja dia dengar. "Saya minta maaf kalau pekerjaan di kantor sampai membuat kamu tertekan seperti ini. Saya tidak tahu masalah pribadi yang kamu hadapi." Mahendra merasa jika apa yang terjadi pada Intan juga karena dia terlalu sering memberi tambahan pekerjaan hingga membuat Intan lembur. Perlahan-lahan suasana mulai mencair. Intan merasa sedikit lebih lega setelah menceritakan permasalahan yang terjadi. Tak ada lagi rasa canggung, Intan merasa nyaman saat bicara dengan Mahendra. Bukan hanya masalah sang mertua, Intan juga secara terbuka jujur pada Mahendra jika dia keberatan jika sang bos selalu memberinya lembur hingga dia sampai tak sadarkan diri karena terlalu dipaksakan bekerja sampai lembur. Malam pun semakin larut saat itu. Keduanya semakin hanyut dalam suasana hingga seulas senyum kini sudah mulai terlihat di wajah Intan. Ya, ternyata Mahendra bukan pria dingin seperti yang dia bayangkan meski saat di kantor, pria itu seperti atasan killer yang sering memberinya tugas tanpa kenal waktu. Di tengah suasana yang semakin nyaman, Mahendra merapatkan jaraknya pada Intan. Masih menatap Intan yang tampak ragu-ragu melihatnya. “Intan ….” Mahendra mengangkat dagu Intan lembut. Pandangan mereka pun saling bertemu. Saling bertaut intens disertai gerakan wajah pria itu yang mendekat hingga tanpa sadar mencium bibir Intan yang tanpa sadar membalas ciuman itu. Seolah mereka hanyut dalam suasana malam yang semakin dingin karena Mahendra memang mengatur suhu pendingin ruangan di suhu yang paling terendah. Ciuman itu terasa lembut. Namun, penuh dengan perasaan yang terpendam. Saling memagut lembut, menyesap satu sama lain. Setelah adegan itu berlangsung lama, tiba-tiba Intan tersadar. Dia cepat-cepat menarik diri dari Mahendra. "Maaf, Pak … saya tidak bisa melakukan ini.” Suara itu terdengar gemetar. Ada rasa bersalah, tapi entah bagaimana Intan tidak menyesal melakukan itu karena dia menyukai ciuman Mahendra. Mahendra terkejut, coba memahami situasi itu. "Tidak apa-apa, Intan. Saya yang seharusnya minta maaf." Seolah dihantam batu besar yang mengenai kepalanya, Mahendra sadar jika dia terlena akan perasaan yang jauh terpendam dalam hatinya. Pria itu bahkan sampai lupa jika Intan sudah memiliki suami. "Saya harus pulang sekarang, Pak. Terima kasih atas semuanya. Sekali lagi maaf atas kelancangan saya." Intan beranjak dari tempat tidur, pergi begitu saja dengan langkah panjang keluar dari kamar tanpa menunggu Mahendra menjawab pertanyaannya. Mahendra sebenarnya sempat mengejar Intan. Menawarkan diri untuk mengantarnya pulang. Namun, Intan dengan cepat menolak. Dia merasa butuh waktu untuk merenungi apa yang baru saja terjadi antara dirinya dan Mahendra.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN