“Intan, apa kamu sudah siap?”
Mahendra hampir sampai dan lebih dulu menelpon Intan untuk memastikan kalau wanita itu sudah bersiap dari tadi.
“Sudah, Pak. Saya sudah siap dari tadi.”
“Baik, saya segera sampai, tunggu di depan rumah saja!”
Mahendra kembali melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, sambil terus tersenyum sepanjang jalan. Menantikan pertemuannya dengan Intan, kekasih hati yang belum bisa dimiliki itu.
“Kamu pergi terus dengan Pak Mahendra, apa tidak jadi masalah nantinya, Ntan?”
“Entahlah, tapi aku juga butuh untuk santai, Rin. Aku benar-benar merasa pusing dan bosan dengan semua masalah yang sudah hadir ini. Tidak ada salahnya bukan kalau aku ini mencari kenyamanan?”
“Tidak salah sih, cuman waktunya saja yang belum tepat,” jawab Rina ragu-ragu.
“Iya aku paham, tapi tenang saja sebentar lagi semuanya akan selesai, kok.”
“Kuharap, semuanya akan baik-baik saja, Ntan. Jangan sampai mereka bisa menyakiti hatimu lagi.”
“Tidak akan aku izinkan untuk mereka bisa menyakiti aku lagi, Rin. Ya sudah, aku pergi dulu, ya. Nanti aku bawakan makanan untukmu.”
“Hei, tidak usah. Tak enak hati aku, setiap kali keluar bersama Pak Mahendra, kamu selalu saja bawa makanan untukku.”
“Tidak masalah. Aku yang beli kok, bukan Pak Mahendra.”
Intan pamit pergi dan melambaikan tangannya pada Rina yang sudah menutup pintu, bertepatan dengan mobil Mahendra yang sudah datang tepat di depan rumah. Bergegas wanita itu masuk ke dalam mobil dan melaju dengan kecepatan sedang.
Perjalanan menuju restoran, mereka memulai percakapan yang ringan tentang pekerjaan dan juga kehidupan sehari-hari. Mahendra memilih restoran yang cukup eksklusif dengan suasana yang tenang dan nyaman pastinya untuk mereka. Pria dingin itu ingin memberikan yang terbaik untuk Intan agar merasa nyaman.
“Aku harap, kamu suka dengan tempat yang aku pilih ini. Restoran ini, punya makanan yang enak dan juga suasana yang menyenangkan pastinya.”
“Tempat ini terlihat sangat indah sekali, Pak. Nyaman dan aman juga, terima kasih karena sudah mengajakku ke tempat yang indah seperti ini.”
“Sama-sama, apapun untukmu. Aku akan memberikan yang terbaik pastinya, Intan.”
Wajah Intan kembali memerah karena merasa malu, sejak tadi pria itu terus saja memuji dan membanggakannya, membuat hati wanita muda itu terus saja menghangat dan berdesir. Rasanya, baru kali ini diperlakukan sangat istimewa oleh seorang pria, karena memang suaminya tidak bisa memberikan perlakuan yang istimewa padanya.
Entah disengaja atau tidak, tiba-tiba pria itu menggenggam tangan Intan, membuat wanita itu merasa terkejut karena tindakan tiba-tiba tersebut. Mahendra terus menggenggam dan mengajaknya menuju meja yang sudah dipesan, wanita itu sendiri hampir saja tersungkur ke depan karena tak melihat jalan dan fokus pada tangannya yang digenggam oleh bosnya itu.
Kemudian, mereka duduk di kursi yang telah dipesan dan disediakan. Pelayan datang, memberikan menu makanan dan mereka mulai memesan makanan. Suasana di restoran begitu sangat damai, dengan cahaya lilin yang menambah kesan romantis. Sejak tadi, Intan hanya diam tanpa kata, pikirannya masih terpaku pada perlakuan lembut yang diberikan oleh Mahendra, tindakan begitu tiba-tiba tapi mampu membuatnya terkesan.
Intan pun merasa bahagia untuk yang pertama kalinya lagi, datang ke restoran yang begitu sangat indah sekali. Mahendra memang seakan menyiapkan semuanya dengan sangat baik sekali, mungkin memang tujuannya adalah membuat makan malam mereka menjadi sangat romantis.
“Intan, kamu suka?”
“Suka sekali, Pak. Sungguh, aku merasa sangat suka sekali.”
“Intan, bisa tidak kalau sedang berdua seperti ini, jangan memanggilku dengan sebutan Bapak? Kesannya aku sangat tua sekali,” gerutu Mahendra kesal, Intan justru terkekeh melihat wajah pria itu yang ditekuk.
“Lalu mau dipanggil apa?”
“Ya yang lebih akrab begitu, panggil Abang, Mas atau nama juga boleh deh. Eh, panggil Sayang juga boleh banget kok.”
Mata Intan melotot sempurna mendengar hal itu, bisa-bisanya pria dingin, otoriter, galak dan tegas itu bercanda hal konyol yang seperti itu? Kok bisa?
“Hah? Apa? Sayang? Berharap banget dipanggil sayang, Pak?”
“Iya tidak sih, tapi … ah sudahlah, tidak usah di bahas lagi.”
“Oh iya, Intan … aku tahu makan malam ini mungkin sedikit mendadak, dengan alasan yang kupikir itu masuk akal juga, merayakan karena proyek menang. Tapi, sejujurnya aku merasa sangat menghargai sekali loh kerja kerasmu selama ini. Kamu adalah salah satu karyawan terbaik yang pernah aku miliki.”
“Tapi, sebenarnya makan malam ini bukan mengenai tentang proyek, aku inisiatif sendiri untuk mengajakmu makan malam agar lebih merasa nyaman dan tidak lagi memiliki banyak beban.”
“Terima kasih banyak atas perhatian yang diberikan olehmu, Mahendra. Aku merasa tersanjung sekali dengan semua ini, apalagi selalu mendapatkan dukungan dan juga diberikan kenyamanan setiap kali merasa gundah. Terima kasih ya, kamu masih sama seperti, dulu.”
“Aku masih tetap seperti Mahendra yang kau kenal, Intan. Tidak akan pernah berubah menjadi orang lain tapi aku akan berusaha memberikan yang terbaik untukmu. Walaupun, saat ini kita hanya sebatas atasan dan bawahan saja, tapi tidak masalah bukan jika aku memberikan banyak perhatian padamu?”
“Hm … tidak. Lagi pula, aku tidak pernah mendapatkannya dari suami sendiri dan malah mendapatkan kebahagiaan darimu.”
“Hah … sabar ya dan maafkan aku, karena dulu ….”
“Tidak usah dibahas. Yang lalu, biarkan saja berlalu, kita hidup di masa depan, bukan masa lalu. Kubur dalam-dalam masalah dulu dan mulai bangkit dengan kehidupan yang baru.”
“Sebenarnya, aku juga sudah lama sekali ingin mengajak makan malam denganmu seperti ini, secara personal tanpa ada kaitannya dengan pekerjaan. Tapi, aku selalu merasa ragu akan waktu dan khawatir juga kau menolaknya, mengingat statusmu masih … istri Bima.”
“Haha, aku bahkan merasa lupa bahwa statusku ini adalah istrinya. Sampai saat ini, tidak pernah diperlakukan dengan sangat istimewa. Aku selalu mengutamakan dan menghargai mereka tapi rupanya, ini balasan atas semua yang aku berikan ….”
“Intan … maaf–”
“Sudahlah, tidak usah dibahas lagi.”
“Aku akan selalu ada untukmu sampai kapanpun, Intan.”
Intan tersenyum bahagia, merasa sangat tersentuh oleh kata-kata yang dilontarkan oleh pria itu. Dulu, hatinya selalu bahagia dan menghangat karenanya dan kali ini semuanya seakan kembali pada pemilik hati yang sesungguhnya.
“Terima kasih, ajakan makan malam ini benar-benar membuatku merasa bahagia. Beban yang ada di pundak, seakan hilang dan lenyap begitu saja.”
“Aku akan selalu membuatmu bahagia setiap waktu, tapi nanti jika kita sudah bersama,” jawab Mahendra yakin.
“Bersama?” cicit Intan, mengerutkan dahinya lalu memicingkan mata, menatap lekat pria itu penuh dengan tanda tanya.
“Ah sudahlah, tidak perlu di bahas lagi. Oh iya, aku lebih senang kamu memanggilku seperti dulu.”
“Mas Mahen?” cicit Intan dengan nada bertanya, pria itu mengangguk dan melemparkan senyuman manis.
Mereka berdua langsung tertawa bersama, sesekali membahas masa-masa indah dulu saat mereka belum menyelesaikan kisah cinta yang seharusnya berakhir bahagia. Suasananya pun mulai menjadi lebih santai dan tidak canggung seperti sebelumnya. Makanan sudah datang, mereka mulai menikmati hidangan sambil sesekali berbincang dengan penuh kebahagiaan.
“Mas, aku merasa penasaran akan sesuatu hal,” ucap Intan tiba-tiba menatap pria itu.
“Apa itu?”
“Aku sebenarnya ingin tahu lebih banyak hal tentangmu, bagaimana bisa menjadi seperti sekarang ini? Apa saja yang sudah kamu lalui selama ini, Mas?”
“Hah … perjalananya itu benar-benar sangat panjang sekali, Intan. Aku juga melalui banyak hal, jatuh bangun dalam keadaan yang tidak baik-baik saja, bahkan hancur berkali-kali pun sudah aku rasakan.”
“Aku memulai karierku dari bawah, memang banyak dan luarbbiasa sekali tantangan dan kegagalannya. Tapi, aku selalu berusaha belajar dari setiap pengalaman yang didapatkan dan terus berusaha untuk maju tanpa mengenal lelah dan putus asa.”
“Dan … lihatlah sekarang, aku berada di posisi saat ini, mungkin terlihat enak tapi tetap saja masih harus banyak belajar lagi, Ntan.”
“Aku sudah menduga, banyak yang sudah dilalui olehmu, Mas. Pasti, terasa sangat berat sekali bukan? Tapi, aku tahu kamu adalah pria yang tangguh. Aku tahu betul bagaimana pribadimu dulu dan aku bangga padamu, Mas. Semua yang terjadi padamu, mungkin bisa menjadi inspirasi bagiku untuk tetap berdiri kuat di kaki sendiri dan tak boleh putus asa.”
“Betul, karena jalan kita masih sangat panjang sekali,” tambah Mahendra, mencoba menyemangati wanita itu.
Mereka kembali berbincang mengenai banyak hal dan lebih dalam lagi, mulai membicarakan mengenai kehidupan pribadi masing-masing diantara keduanya. Sampai tak menyadari bahwa waktu begitu sangat cepat.
Setelah makan malam selesai, Mahendra pun mengantarkan Intan pulang. Perjalanan mereka pun diisi juga dengan obrolan ringan dan tawa yang bahagia. Terlihat jelas, keduanya merasakan kebahagiaan yang sebelumnya pernah dirasakan bahkan saat ini lebih bahagia dari sebelum-sebelumnya.
Saat tiba di depan rumah Rina, mereka berdua terdiam sejenak, merasakan suasana malam yang begitu terasa sangat damai sekali.
“Mas, terima kasih untuk malam ini. Aku benar-benar merasakan nikmat yang luar biasa dalam menghabiskan waktu bersama.”
“Aku juga sangat berterima kasih padamu, karena masih mau menerima ajakan makan malam ini. Terima kasih, sudah memberikan aku kesempatan untuk membuatmu bahagia.”
“Hei, seharusnya aku yang berterima kasih karena selalu dibuat bahagia olehmu.”
Intan berusaha membuka seat belt yang terasa sangat sulit sekali di buka, Mahendra berinisiatif membantunya. Keduanya saling memandang satu sama lainnya, pandangan mereka terkunci dan debaran jantung keduanya begitu terdengar keras.
Mahendra memandang wanita itu dengan tatapan penuh cinta dan kasih sayang, memajukan wajahnya tepat di depan wajah Intan tanpa sedikitpun celah yang memberikan jarak pada mereka. Refleks wanita itu memejamkan matanya dan mereka sudah mulai saling mematut bibir satu sama lainnya.
Awalnya hanya berupa kecupan lembut, perlahan namun pasti kecupan lembut itu berubah menjadi sedikit ganas. Dan akhirnya menjadi liar, keduanya sama-sama menyalurkan rasa rindu yang sebelumnya tak pernah hadir, tapi kali ini justru hadir dengan rasa rindu yang begitu sangat besar sekali.
Tangan wanita muda itu mengusap wajah Mahendra dengan penuh kelembutan sedangkan kedua tangan pria itu menekan kepala Intan agar keduanya sama-sama memperdalam kecupan mereka. Bertarung lidah di dalamnya dan terdengar suara lenguhan panjang yang merdu dari bibir Intan.
Tiba-tiba keduanya seakan tersadar sesuatu, sama-sama saling melepaskan diri dan merasa malu dengan apa yang barusan terjadi. Mahendra merutuki dirinya sendiri karena tidak bisa menahan dirinya sampai dengan lancang mengecup wanita itu.
“Maafkan, aku, Intan.”
“Tidak apa-apa, Mas. Aku juga yang salah, maafkan aku.”
Intan buru-buru keluar dari dalam mobil lalu melambaikan tangannya pada Mahendra sebelum masuk ke dalam rumah. Pria itu tersenyum dan merasa lega juga senang, malam itu bukan hanya tentang makan malam tetapi juga awal dari sesuatu yang lebih sangat berarti bagi keduanya.
Intan mempercepat langkah kakinya masuk ke dalam rumah Rina, sambil terus mengusap bibirnya yang masih terasa sangat basah karena ciuman liar mereka. Malu karena dengan bodohnya bisa terbuai dalam waktu yang singkat, tapi ia juga begitu sangat merindukan belaian yang diberikan oleh Mahendra.
Sedangkan Mahendra sendiri di dalam mobil merasa sangat bahagia, terus saja mengusap bibirnya dan bayangan mereka berciuman dengan sangat ganas, terus menari-nari di dalam pikirannya. Senyumnya seakan tak pernah pudar dari wajah tampan itu.
“Rasanya, masih sama seperti dulu, manis.”