Langit Tanpa Definisi

1791 Kata
Limousine milik Billy bergerak pelan meninggalkan pekarangan rumah Manggala. Dari area teras terlihat Richelle yang tak berhenti melambaikan tangan hingga ia tak lagi melihat mobil tersebut. “Rasanya aneh yah ninggalin Richelle di situ,” sahut Daniel memecah kesunyian yang sempat tercipta di antara mereka. Ucapan pria itu membuat Billy mengangkat wajah hingga dua pria itu bertatap mata. “Aku inget waktu kita mengantar Richelle masuk sekolah asrama saat SMP. Ekspresinya hampir sama seperti hari ini. Dari matanya seolah-olah Richelle bertanya-tanya kenapa kita meninggalkan dia di sana.” “Tidak juga.” Radit membantah. “Waktu SMP dulu, sejak awal Richelle memang menolak untuk ke sana. Makanya pada akhirnya dia hanya bertahan satu semester sebelum pindah sekolah. Tapi, kalau sekarang, dia yang memilih sendiri ke sana.” “Karena kebodohannya,” rutuk Haikal. “Dia asal menerima tawaran pegawai Ellison Corp.” “Richelle mungkin datang karena kebodohannya, tapi siapa yang tau kalau dia akan kesenangan tinggal di situ. Baru pertama kali melihat bosnya saja dia sudah mangap-mangap. Ah, sebenarnya mata Richelle genit juga, tidak bisa liat yang cakep sedikit langsung saja itu matanya jelalatan.” Radit terkekeh mengingat bagaimana ekspresi wajah Richelle saat pertama kali melihat pria nomor satu di Ellison Corp. itu. “Pak Manggala, dia sangat berbeda dari apa yang kita bayangkan tentangnya,” balas Billy. “Aku menyukainya,” cetus Radit. Pengakuan blak-blakan pria itu membuat ia disoroti dengan tatapan mata tajam oleh tiga temannya. “Maksudku dia ramah dan terlihat seperti pria baik-baik, makanya aku menyukainya.” Ia mengoreksi. “Hampir saja kupikir kau tak suka pada perempuan lagi sejak bertemu Pak Manggala,” balas Daniel dengan sedikit kekehan. “Bahkan aku pun menyukainya.” Billy pun turut mengaku. “Benar, ‘kan? Bukan aku saja yang merasa begitu?” “Dia memiliki aura yang membuat orang bisa merasa nyaman saat di dekatnya. Awalnya kupikir orang yang akan kita temui layaknya bos-bos mafia, ketua geng, atau bandar narkoba, tapi sangat berbanding terbalik dari semua itu, tidak ada aura kriminal di wajahnya.” “Bertahun-tahun di kepolisian sekarang kau sudah bisa membaca orang-orang yang punya aura kriminal,” ledek Haikal. “Jangan terlalu cepat percaya seseorang dari luarnya. Bisa saja dia terlihat baik di luar tapi ternyata itu hanya topeng,” lanjut pria itu. “Kau tidak mengatakannya karena dilanda cemburu, bukan?” Gantian Billy yang meledek. “Ck! Apa yang kau bicarakan?” “Kal, jujurlah, kau dan Richelle, kenapa bukan kau yang menikahinya?” tanya Daniel dengan penasaran. “Kau sendiri tau kalau Richelle menyukaimu. Kalau kau menggombalinya sedikit saja, perasaannya pada Ronald pasti akan lenyap.” Haikal mendengkus kecil, tapi ia memilih tak menjawab. Hanya seringaian kecil yang terbit di wajah pria itu sebelum Daniel kembali bertanya. “Kenapa? Kau tidak pernah mempertimbangkannya sebagai wanita?” “Tidak juga,” jawab Haikal. “Aku bisa saja menikahinya. Kupikir kalian pun sebenarnya bisa saja menikahi Richelle. Secara fisik, jujur saja Richelle tidak mengecewakan. Yah, kecuali kebodohannya itu,” lanjut Haikal sambil tertawa. “Tapi, tentu bukan itu alasanmu tidak menghentikannya menikah dengan Ronald, ‘kan?” Haikal hanya tersenyum tipis. Ia memilih tak menjawab. Memilih menyimpan salah satu rahasia kecil itu untuk dirinya sendiri. Kata siapa ia tidak berusaha menghentikan Richelle untuk menikah dengan Ronald? Mungkin memang tak seperti yang dibayangkan oleh teman-temannya kalau ia akan membuat onar atau sampai menculik Richelle. Tidak, Haikal adalah pria yang penuh perhitungan. Tiap hal dan tindakannya penuh pertimbangan. Prinsipnya adalah kalau ia bisa menghindari masalah, kenapa ia harus menerjunkan diri dalam masalah. Beberapa hari sebelum pernikahan Richelle dan Ronald digelar, ia menemui wanita itu secara pribadi. Bukan untuk menasehatinya agar Richelle mempertimbangkan ulang keputusannya. Tidak, ia datang untuk memastikan bagaimana perasaan Richelle yang sesungguhnya. Bukankah kata orang cinta pertama tak pernah mati? Malam itu ia temui Richelle di sebuah hotel seusai Richelle makan malam dengan Ronald. Ia memasan suite room dan menunggu Richelle di sana. Ia menunggu hingga kencan romantis Richelle dan Ronald selesai. Sekitar jam 10 malam waktu itu, saat Richelle datang ke kamarnya. “Sudah selesai dengan kencanmu?” “Sudah,” jawab Richelle dengan senyum penuh kebahagiaan. “Sebahagia itu?” “Iya, akhirnya aku menemukan pangeran berkuda putihku.” “Lantas mana kudanya?” balas Haikal dengan candaan. “Setahuku dia mengendarai mobil berwarna hitam ke sini.” “Kuda putihnya kan hanya perumpaan, Kal,” balas Richelle lagi seraya menunduk untuk melepas high heelsnya. Wanita itu berpegangan pada lengan Haikal karena tubuhnya agak kurang stabil. Sepertinya pengaruh wine yang sempat ia cicipi bersama Ronald saat makan malam. Ia terkekeh kecil saat berupaya menegapkan badannya lagi. “Kau minum?” “Iya, sedikit,” balasnya. “Kau memang tak pernah mau menurutiku.” Richelle mengabaikan omelan kecil pria itu. Ia malah kembali terkekeh. “Dia pangeran berkuda putih, kok. Kuda putihnya terbang di langit,” lanjutnya lagi, di ambang batas sadar dan tidak sadarnya. Ia mulai melantur, makanya ia memeluk pria itu lebih dulu atau lebih tepatnya menyandarkan tubuhnya karena ia merasa oleng. “Kenapa kau tidak datang dengan kuda terbang berwarna putih juga?” “Karena aku takut kamu terbang terlalu tinggi, Syel. Aku takut kamu terbang dan ….” Pria itu menghela napas. Alasan kenapa ia tak pernah senang dengan profesi Richelle sebagai pramugari adalah resiko dari pekerjaan wanita itu. Ia selalu berpikiran buruk bagaimana kalau tiba-tiba pesawat Richelle kecelakaan. Yang tentunya hal itu di luar kendalinya, ia tak bisa melindungi Richelle. Makanya yang ia mau adalah Richelle mengikuti jalan yang ia pilih. Hidup yang biasa-biasa saja, mungkin bekerja kantoran kalau Richelle ngotot mau bekerja. Atau sesuatu yang tidak membahayakan nyawa wanita itu. “Aku suka terbang, Kal,” rengek Richelle. Tubuhnya makin merosot karena kesadarannya makin berkurang. Makanya saat itu Haikal mengangkat tubuh itu, berniat membawanya ke tempat tidur. Richelle tertawa kecil. “Hihihi, aku terbang,” ujarnya. “Aku ingin terbang dengan bebas, ke mana saja sesukaku.” Tangannya mengepak-ngepak di udara saat ia berada dalam gendongan Haikal. “Aku mau melihat banyak warna-warni langit. Aku ingin itu, Kal.” “Apa ada hal lain yang kau inginkan?” “Aku ingin menikah,” jawabnya sambil meringkukkan badan setelah Haikal menurunkannya, satu tangannya menarik pria itu agar lebih dekat dengannya di tempat tidur. “Bagaimana kalau aku mengabulkan keinginanmu itu? Tapi, sebagai gantinya berhentilah jadi pramugari. Tinggallah di sisiku. Bagaimana?” Saat itu Richelle menggelengkan kepalanya. Bahkan di antara ambang batas kesadarannya, ia tetap menolak. Ia tahu apa yang ia inginkan, ia ingin kebebasan. Bukan mengikuti jalan hidup yang Haikal mau. “Seseorang menawarkanku untuk mendapatkan keduanya.” Richelle mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum mata itu terpejam. “Ta-tapi, kau hanya menawarkan salah satunya. Kau kalah, Kal.” Setelah itu, ia sudah mengorok. Sebenarnya ini bukan tentang Ronald atau Haikal. Tapi, tentang siapa yang lebih memberikan kebebasan pada wanita itu. Jika saja orang lain yang datang padanya menawarkan kebebasan, mungkin Richelle akan langsung jatuh cinta juga. Dan kebetulan waktu itu, Ronald yang datang padanya. Menawarkan warna-warni langit yang ia bungkus dalam badai panjang yang menghancurkan seluruh hidup Richelle. Malam itu adalah kali terakhir Haikal tidur berdua dengan Richelle sebelum wanita itu menikah. Keduanya memang sering kali tidur berdua bahkan setelah mereka dewasa. Tentunya hal itu menjadi rahasia kecil keduanya. Tidak melakukan apa-apa, hanya tidur saja. Dan hal itu bahkan tetap terjadi meskipun keduanya sedang terlibat hubungan dengan pasangan lain. Meskipun Haikal punya pacar atau Richelle juga punya pacar, tidur berdua seperti ini mereka lakukan tanpa merasa bersalah. Itulah alasan kenapa pada akhirnya Haikal membiarkan Richelle menikah dengan Ronald. Karena ia tak bisa memberikan pernikahan sekaligus kebebasan pada Richelle. Karena begitu wanita itu berstatus sebagai istrinya, wanita itu harus menuruti segala keinginannya. Salah satunya adalah menyerah untuk urusan karirnya, berhenti menjadi pramugari. Balik lagi ke Richelle yang kini sedang diarahkan oleh Miss Yonna mengenai tugas-tugas dan aturan-aturan yang harus ia penuhi selama bekerja di rumah orang nomor satu Ellison Corp. “Pegawai-pegawai Pak Manggala tinggalnya di gedung lain yang terpisah dari bangunan rumah utama. Tepatnya di belakang rumah ini.” Miss Yonna memaparkan sambil ia berjalan menuju rumah yang ia maksud. “Oh, ada semacam rumah khusus untuk para pegawai?” “Betul, Bu Richelle. Mari saya antarkan sekaligus Bu Richelle bisa berkenalan dulu dengan orang-orang yang tinggal di sana.” Begitu keluar dari rumah utama lewat pintu belakang, ia langsung menemukan keberadaan bangunan bertingkat tiga. Sepertinya inilah yang dimaksud oleh Miss Yonna sebagai rumah khusus untuk para pegawai. “Karena Bu Richelle sedang hamil makanya kami menyiapkan kamar yang berada di lantai 1.” “Wah, terima kasih.” “Tapi, kamarnya agak sedikit ke belakang karena kamar-kamar yang di depan semuanya sudah berpenghuni.” “Tidak masalah.” Ia mengatakan tidak masalah, tapi setelahnya ia agak mendumel dalam hati. Ternyata kamar yang katanya agak sedikit ke belakang letaknya jauh sekali. Ia harus berjalan hampir tiga menitan sejak ia keluar dari pintu belakang rumah utama. Kalau begini apa bedanya dengan tinggal di lantai dua atau lantai tiga? “Ini kamar Bu Richelle,” ucap Miss Yonna sambil membuka pintu kamar yang akan ditempati Richelle. Ruangannya jelas lebih kecil kalau ia membandingkan dengan kamar miliknya. Tapi, hal itu tak terlalu dipermasalahkan oleh Richelle. Ia bahkan pernah tinggal di kamar yang lebih kecil dan itu pun kamar beramai-ramai saat ia dulu masih mengikuti karantina masuk pramugari. Di dalam kamar tersebut ada ranjang, lemari, dua buah kursi dengan satu meja, serta kamar mandi dalam. Cukup nyamanlah menurut Richelle. “Oh ya, Miss Yonna, saya kan bertugas sebagai pramugari, apa selama penerbangan saya harus mengenakan seragam pramugari atau bebas saja karena ini pesawat pribadi milik Pak Manggala?” “Mengenakan seragam Bu Richelle, Pak Manggala menyukai sesuatu yang rapi. Pegawai kami nanti akan mengantarkan seragam pramugari untuk Bu Richelle.” “Oh ya, saya masih punya pertanyaan, jika saya sedang tidak memiliki jadwal penerbangan, apa yang harus saya lakukan? Apa saya punya tugas tambahan?” tanyanya sambil tersenyum. “Biasanya pegawai-pegawai perempuan yang tinggal di bangunan ini punya dua tugas, satu tugas utamanya sesuai posisi yang ditentukan atau dilamar pada saat rekrutmen, contoh Bu Richelle yang tugas utamanya adalah sebagai pramugari. Nah, tugas kedua adalah menemani Pak Manggala.” “Menemani?” ulang Richelle untuk memperjelas maksud dari Miss Yonna. “Iya, menemani. Pak Manggala biasanya memilih wanita-wanita di sini untuk menemaninya secara bergiliran.” Menemani? Secara bergiliran? Pikiran Richelle kok mulai tak enak. Ia sudah diliputi segala prasangka baik sejak ia melihat bagaimana tampang dari pria nomor satu Ellison Corp. itu. Tapi, kalau menyebutkan tentang wanita-wanita yang menemaninya dan dipilih secara bergiliran, kok sekarang Richelle jadi berpikiran buruk. Langit kali ini, aku tak punya definisi. Kupikir ia penuh warna-warni, nyatanya ia terselimjut awan tebal. Penuh misteri. Entah di balik awan itu ada warna-warni yang indah atau justru badai lain yang siap menghancurkanku lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN