Bab 8

1103 Kata
PURA-PURA BANGKRUT Part 8 Aku memperhatikan gerak gerik Dewi yang sedang mematut diri di depan cermin. Stelan kerja yang ia kenakan begitu pas di tubuhnya yang ramping. Rok span sedikit di bawah lutut, kemeja warna putih ditutupi blazer hitam yang warnanya senada dengan bawahan yang ia kenakan, makin membuatnya terlihat anggun dan berkelas. Aku cukup senang melihatnya yang begitu bersemangat untuk bekerja. Akan tetapi, itu dulu ketika aku belum mendengar cerita dari Meli yang mengatakan bahwa Dewi diantar seorang pria. Sebenarnya aku tidak ingin mempercayai ucapan wanita itu. Namun, entah mengapa hati ini mengatakan agar aku menyelidiki tentang istri keduaku ini. "Aku berangkat dulu ya, Mas." Suara Dewi menyentak diri ini dari lamunan. Memaksakan senyum, aku mengangguk sembari menghampirinya. "Hati-hati, Sayang. Jangan lupa makan siang. Mas tidak ingin kamu sakit karena terlalu lelah bekerja." "Pasti, Mas. Aku tidak akan mengabaikan kesehatanku sendiri." Dewi mengalungkan tangan di leherku."Malam Minggu nanti, bagaimana kalau kita makan malam di luar?" bisiknya di depan wajahku. "Makan malam di luar?" "Iya. Sudah lama kita tidak melakukannya. Aku kangen saat-saat romantis hanya berdua sama Mas," bisiknya lagi seraya mengusap rahangku. "Tapi, Sayang. Kamu kan tahu kalau kondisi keuangan Mas sedang buruk. Mas tidak bisa mentraktir kamu di Restoran mewah seperti biasanya." "Gak masalah. Kali ini giliran aku yang traktir." Ah, aku bingung apa harus mengiyakan atau tidak. Pasalnya, ini bukan hanya tentang uang. Aku menolak secara halus karena aku tidak ingin meninggalkan Inaya dan Syafa di rumah, sedangkan aku bersenang-senang dengan Dewi di luar sana. Jika sampai Inaya tahu akan hal ini, bisa saja ia makin menjauh karena kekecewaannya bertambah padaku. "Nanti kita bicarakan lagi, ya. Sekarang kamu berangkat saja, takutnya telat." Dewi mengangguk lemah. Aku merasa bersalah karena lagi-lagi membuatnya kecewa. Namun, entah bagaimana lagi aku harus bersikap. Jujur saja aku dibuat pusing karena ingin menjaga perasaan kedua istriku. "Aku mencintaimu, Mas Dipta. Percayalah, meski kondisi Mas tidak seperti dulu, tapi perasaanku tidak akan pernah berubah. Mas adalah satu-satunya pria yang berhasil membuatku tergila-gila." Wajah Dewi berubah sendu. Matanya mengembun ketika mengucapkan kalimat itu. "Mas juga mencintaiku, kan?" Entah ada apa dengan Dewi karena tiba-tiba berubah melow seperti ini. "Mas ...." "Ya, tentu saja Mas mencintaimu." Dewi tersenyum. Tangannya menyentuh bibirku dan mengusapnya lembut. "Rasanya, aku ingin kita seperti ini terus selamanya. Menikmati waktu berdua tanpa gangguan dari siapapun. Tapi aku sadar aku bukan hanya satu-satunya wanita di hidup Mas. Aku tidak boleh egois karena Mbak Inaya sudah lebih dulu mendampingi Mas." ***** "Lho, Nay. Kamu mau ke mana?" Aku terkejut melihat penampilan Inaya yang sudah rapi. Meski terkesan sederhana, tetapi Inaya selalu terlihat cantik di mataku. "Aku minta izinnya ya, Mas. Hari ini aku mau mengantarkan pesanan ke rumah pelanggan." "Pesanannya banyak?" "Alhamdulillah, cukup banyak." "Kalau begitu Mas antar saja." "Tidak usah," tolaknya cepat. "Sebentar lagi Mbak Meli ke sini untuk menjemputku. Dia sudah menyiapkan mobil dan akan membantuku mengantarkan pesanan ini." Aku menghela napas gusar. Lagi-lagi Inaya berhubungan dengan wanita genit itu. "Nay, bisa gak kalau kamu jangan terlalu dekat sama dia? Jujur Mas kurang suka." "Kenapa? Apa karena penampilannya?" Inaya memicing tajam. "Jangan menilai seseorang dari luarnya saja. Asal Mas tahu. Mbak Meli sudah banyak membantuku. Kalau bukan karena dia, belum tentu jualanku laris seperti sekarang ini." Inaya beranjak meninggalkanku menuju kamar. Dengan cepat aku mengejarnya karena tahu ia sedang marah akibat ucapanku tentang Meli. Kupeluk tubuhnya dari belakang. Ia memberontak, tetapi aku terus menguncinya. "Maaf kalau ucapan Mas membuatmu tersinggung. Mas hanya takut kehilanganmu. Mas takut kamu terpengaruh omongan ibu-ibu di luar sana yang tidak setuju dengan poligami. Jangan tinggalkan Mas ya, Nay. Mas tidak bisa membayangkan kalau harus hidup tanpa kamu dan Syafa," ujarku sembari mempererat pelukan. Inaya berhenti memberontak. Helaan napas kasar terdengar keluar dari mulutnya. "Buktinya sampai sekarang aku tetap di sini, kan? Aku tidak ke mana-mana." Ya, raganya memang di sini, tetapi aku yakin bukan karena aku ia bertahan, melainkan karena Syafa. Sakit sekali membayangkan hati istriku telah mati untukku. Andai saja bisa mengulang waktu, tidak akan aku lakukan tindakan ceroboh yang mengakibatkan hubungan kami makin merenggang. "Jangan tinggalkan Mas ya, Nay. Tetaplah di samping Mas apa pun yang terjadi." Inaya melepas tanganku yang melingkari pinggangnya. Berbalik, wajah cantik itu menyunggingkan senyum tipis. "Bukankah aku sudah pernah bilang? Aku akan berusaha untuk bertahan tapi entah sampai kapan. Pada saatnya nanti aku sudah mulai lelah, aku tidak tahu apakah masih mampu berada di sisi Mas atau tidak." "Jangan berkata seperti itu," selaku cepat sambil merangkum wajahnya. "Katakan apa yang harus Mas lakukan agar kamu tetap bersama Mas? Katakan, Sayang. Jangan membuat Mas takut," cecarku frustasi. Inaya mengelus rahangku. Aku memejamkan mata menikmati sentuhan lembut yang aku rindukan darinya. "Aku mencintai Mas Dipta. Aku akan bertahan dalam kondisi apa pun, sekalipun kita harus hidup di kolong jembatan. Tapi ada satu hal yang membuatku berpikir ulang. Bukan karena kemiskinan. Tapi aku tidak sanggup diduakan." Mata indahnya berkaca. Aku menggeleng lemah mendengar ucapannya. "Tidakkah Mas tahu kalau diduakan itu sangatlah menyakitkan? Setiap melihat kebersamaan Mas dengan Dewi, rasanya aku tidak kuat dan ingin pergi dari kehidupan Mas saat itu juga. Tapi aku kembali mencoba untuk tetap tinggal demi Syafa yang masih membutuhkan ayahnya. Aku tidak akan meminta Mas melepaskan Dewi karena aku tahu Mas tidak akan pernah melakukannya. Tapi, tolong penuhi satu permintaanku ini." "Apa itu, Sayang?" tanyaku sedikit was-was. Takut ia meminta aku melepaskannya. "Tolong jangan satukan kami dalam satu atap. Jika memang Mas belum mempunyai uang untuk mengontrak rumah, biar aku yang akan membayarnya." ***** Aku belum menjawab permintaan Inaya. Jujur saja aku keberatan jika harus berpisah dengannya beberapa hari saja di saat jatahku bersama Dewi. Jika kami tinggal satu atap, aku masih bisa bertemu dengannya setiap hari meski kami tidak selalu tidur bersama. Namun, bukan berarti aku tidak memikirkan perasaan Inaya. Ungkapan hatinya tadi pagi membuatku sadar betapa selama ini ia memendam kesakitan itu sendirian dan aku tidak menyadarinya. Untuk sementara, aku kesampingkan permintaan istri pertamaku dan akan kudiskusikan dengan Papa. Kali ini aku harus menyelidiki Dewi terlebih dahulu untuk membuktikan apakah apa yang disampaikan Meli waktu itu benar atau tidak. Di sini lah aku sekarang, di depan kantor tempat Dewi bekerja. Duduk di dalam mobil yang sengaja aku sewa. Satu jam lamanya aku menunggu, tetapi istri keduaku belum juga menampakkan batang hidungnya, padahal pegawai yang lain sudah keluar kantor sedari tadi. Aku gelisah. Aku takut apa yang Meli katakan benar. Dewi berselingkuh dariku karena kondisiku yang tidak seperti dulu. Setengah jam kemudian, Dewi terlihat keluar dari area kantor dengan tergesa. Di belakangnya, seorang pria berpakaian formal mengejar istriku sambil meneriakkan namanya. Dadaku panas. Hatiku rasanya terbakar ketika melihat pria itu menarik lengan Dewi hingga tubuh istriku jatuh ke dalam pelukannya. Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN