Hutan berdarah, mungkin ini sebutan yang pas untuk suasana saat ini. Bau amis menyebar terbawa oleh angin. Seseorang dengan pakaian serba hitam masih asik bermain dengan belatinya. Melangkah cepat, mengiris leher musuhnya hanya dalam hitungan detik. Bahkan tubuh orang-orang Snake Eyes tumbang bersamaan karena kecepatan gerakan si iblis cantik.
3 pemimpin Snake Eyes memang membuat Penelope mengeluarkan banyak gerakan, namun tidak dengan anggota Snake Eyes. Penelope bahkan tak perlu menjatuhkan keringat untuk membunuh mereka.
Sratt! Belati Penelope menyentuh leher anggota Snake Eyes yang terakhir. Detik berikutnya 3 orang jatuh bersamaan.
Seringaian iblis terlihat di wajah Penelope. Ia menaikan tangan, mengelap darah yang mengotori wajah cantiknya. Ia telah puas, puas menikmati pembantaian yang telah ia lakukan.
Besok, burung pemakan bangkai akan bernyanyi dengan merdu. Mereka akan berpesta pora.
Demitrio dan Ades menggigil kecil melihat aksi Penelope. Sementara Archezo, ia menatap Penelope dengan tatapan tenangnya. Seperti yang pernah Archezo dengar, ketua Black Eagle adalah pembunuh bayaran nomor satu. Wanita yang memiliki banyak julukan mengerikan. Wanita yang paling ditakuti dan disegani oleh para penjahat di benua West.
Archezo mendekat ke Penelope, pria itu melangkah tanpa rasa takut padahal besar kemungkinan nyawanya akan melayang. Sampai di belakang Penelope ia berhenti, menunggu Penelope untuk berbalik.
"Aku akan memberikanmu bayaran yang sama dengan yang Pamanku jika kau melepaskan aku." Archezo memulai.
Penelope menyimpan belatinya, membalik tubuhnya lalu menatap Archezo datar, "Aku sedang tidak bekerja, Tuan. Aku hanya mencari kesenangan." Target Penelope dari awal memang bukan Archezo melainkan orang-orang Snake Eyes. Ia sedang ingin membunuh banyak orang dan juga ingin menuntaskan dendam yang disimpan oleh orang-orang Snake Eyes padanya.
Jawaban Penelope membuat Ades dan Demitrio makin menggigil. Orang waras mana yang menjadikan pembantaian sebagai kesenangan.
"Tapi aku tidak suka berhutang." Archezo mengeluarkan sebuah tanda pengenal lalu melemparnya pada Penelope. "Kau pasti mengenalku. Datang padaku jika kau membutuhkan apapun."
"Seseorang yang berlindung dibalik sandiwara tak akan bisa membantuku, Tuan."
Archezo tak bisa tak mengagumi Penelope. Wanita ini bahkan tahu sandiwara yang telah ia bangun selama puluhan tahun.
"Tapi aku akan menyimpannya, mungkin saja suatu hari nanti ada yang bisa aku gunakan darimu." Penelope menyimpan tanda pengenal khusus milik pewaris tahta Asgaf ke dalam bajunya. Sebagai ganti benda yang dilemparkan Archezo tadi, Penelope melemparkan sebuah botol keramik kecil.
"Kau tak akan berguna bagiku jika kau mati." Yang Penelope berikan adalah penawar racun. Penelope sejujurnya tak begitu peduli dengan nyawa Archezo namun ia melihat seorang Archezo bisa ia gunakan suatu hari nanti. Pria itu lebih berguna dalam keadaan bernyawa.
Archezo memandang mata biru menenggelamkan milik Penelope yang juga menatap matanya dengan tenang. Perasaan aneh tiba-tiba merasuki hatinya. Membuat jantungnya berdegub lebih kencang dari biasanya. Detik itu juga ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan memberikan nyawanya jika Penelope menginginkannya. Wanita yang bahkan wajahnya tak bisa ia lihat sepenuhnya itu telah membuat rasa ingin memiliki yang tak pernah ia rasakan muncul ke permukaan. Wanita ini, apapun yang terjadi ia harus mendapatkannya.
"Terimakasih."
Penelope tak membalas, kakinya melangkah melewati Demitrio dan Ades yang sudah memberi jalan untuk Penelope.
Dua pria itu mendekati tuan mereka, "Pangeran, kenapa Anda memberikan tanda pengenal Anda? Wanita itu bisa menyalahgunakannya." Ades menatap tak mengerti. Tanda pengenal yang Archezo berikan bukan tanda pengenal biasa, dengan benda itu bisa memerintah seluruh prajurit yang berada di belakang Archezo.
Archezo tak menjawab, ia membuka tutup botol yang Penelope berikan. Lalu meneguk sedikit isi dari botol itu.
"Pangeran, apa yang Anda lakukan!" Demitrio ingin mencegah Archezo namun ia terlambat. Archezo sudah menelan cairan itu.
"Minumlah jika kalian ingin selamat!" Archezo memberikan botol itu pada Demitrio. Ia melangkah meninggalkan dua bawahannya yang menatap punggungnya dengan wajah tak percaya.
Ades dan Demitrio begitu mengenal majikan yang sudah ia ikuti sejak belasan tahun lalu. Dan selama itu mereka tahu bahwa tuan mereka tak pernah mempercayai orang lain. Namun kali ini, bukan hanya memberikan tanda pengenal kerajaan tapi tuan mereka juga meminum ramuan yang tak jelas apakah racun atau penawar. Baik Ades maupun Demitrio tahu bahwa ketua Black Eagle adalah dewinya racun, ia bisa membunuh dan menyembuhkan. Namun, sangat aneh jika wanita yang terkenal berhati iblis menolong tuannya.
Karena kesetiaan pada Archezo, Demitrio dan Ades meneguk penawar yang Penelope berikan. Mereka akan ambil resiko, jika Archezo mati maka mereka juga akan mati dan jika Archezo hidup maka mereka juga akan hidup karena obat penawar itu.
Setelah meneguk penawar racun, Ades dan Demitrio menyusul Archezo. Tuan mereka sudah duduk di bawah sebuah batang pohon besar, beberapa puluh meter dari mayat orang-orang Snake Eyes.
"Pangeran, apa alasan Raja ingin membunuh Anda?" Ades berdiri di sebelah kanan Archezo, menatap tuannya yang sedang memejamkan mata.
"Apakah ini masih tentang tahta? Bukankah Anda tidak pernah menyinggung apapun tentang tahta dan selama ini paman Anda juga terlihat tidak begitu menganggap Anda sebagai ancaman." Demitrio ikut berbicara. Ia tak mengerti kenapa paman Archezo ingin masih ingin melenyapkan Archezo padahal pria itu tak pernah menginginkan tahta sama sekali. Archezo adalah orang paling tak berguna di Asgaf, jadi untuk apa repot-repot membunuhnya.
"Pria itu masih ingin mengambil keuntungan dariku dengan membunuhku di tanah Apollyon. Dengan kematianku dia akan merusak perjanjian perdamaian antara 4 kerajaan terbesar di West. Paman selalu memiliki alasan kenapa dia membiarkan aku hidup." Archezo sudah sejak kecil mengetahui bahwa pamannya ingin membunuhnya. Oleh karena itu ia bertingkah seakan bodoh agar ia tetap hidup. Ia memang tak menginginkan tahta sama sekali namun hanya dengan fakta itu pamannya pasti tak akan membiarkannya hidup. Puluhan tahun, Archezo hidup sebagai manusia tak berguna. Ia lambat dalam segala hal dan lebih suka bermain daripada belajar.
Sama seperti Raja Asgaf yang memiliki alasan besar membiarkan Archezo hidup, pria ini juga memiliki alasan kuat untuk hidup. Ia ingin menemukan ibunya yang menghilang dari istana. Ratu Asgaf yang kabur ketika usia Archezo masih empat tahun.
Archezo yang sebenarnya adalah seorang jenius. Dalam kesendiriannya, ia selalu belajar tentang pemerintahan kerajaan. Ia juga belajar beladiri secara diam-diam. Ia melakukannya bukan untuk orang lain tapi untuk dirinya sendiri karena ia tahu bahwa nyawanya akan selalu terancam dan yang mengancamnya adalah orang yang mengaku paling menyayanginya, Pamannya sendiri.
Menemukan alasan kenapa pamannya ingin membunuhnya saat ini dan di wilayah Apollyon bukanlah hal sulit. Archezo mengenal watak pamannya yang gila kekuasaan. Pria rakus itu ingin menguasai Apollyon yang baik dalam semua segi. Entah segi ekonomi, wilayah kekuasaan ataupun tentara. Terlebih lagi, Pamannya memiliki dendam pada Pangeran Arega.
Alasan dari dendam itu sendiri juga diketahui oleh Archezo. Adik bungsu Pangeran Arega adalah alasan dari kebencian pamannya pada Pangeran Arega.
Diketahui bahwa hati Selir Axelly tak pernah dimiliki oleh raja Asgaf. Meski sudah memiliki satu putra dengan raja Asgaf namun hati Axelly tetap terpaut pada Arega.
Sebagai seorang pria, raja Asgaf tentu tak terima bahwa wanita yang ia nikahi mencintai pria lain. Hal ini juga terkadang yang menjadi alasan raja Asgaf sering memperlakukan Selir Axelly dengan buruk.
Untuk semua alasan itu, nyawa Archezo yang harus dikorbankan.
"Paman Anda sangat ingin memulai perang." Ades mendesis geram.
"Lalu, apa tindakan kita selanjutnya, Pangeran?"
Tindakan selanjutnya? Archezo mengulang pertanyaan Demitrio. Nampaknya sudah cukup ia membiarkan pamannya menduduki posisi raja. Sudah saatnya tahta kembali padanya.
"Beristirahatlah. Penawar racun akan menyiksa kalian malam ini." Archezo belum mau menjelaskan tindakan selanjutnya. Yang terpenting saat ini adalah kondisi mereka kembali ke semula.
Waktu terasa menyiksa bagi Archezo, Ades dan Demitrio. Mereka memintahkan darah hitam dari mulut mereka, lalu tersiksa untuk beberapa jam hingga akhirnya pagi ini racun telah berhasil dikeluarkan dari tubuh mereka.
Suara langkah berisik membuat mata Archezo terbuka begitu juga dengan dua penjaganya.
"Pangeran Archezo!" Suara tegas nan keras terdengar meneriakan nama Archezo.
"Jenderal Lyot." Ades mengenali suara itu.
Seketika senyum mengembang di wajah tampan Ades dan Demitrio, bantuan dari Perdana Menteri telah tiba. Mereka segera berdiri dengan semangat.
"Kami di sini!" Demitrio berteriak.
Langkah mendekat banyak orang semakin terdengar jelas. Seorang jenderal datang bersama dengan 50 pasukan Asgaf.
"Memberi salam pada Pangeran Archezo!" Jenderal Lyot memberi hormat begitu juga dengan pasukannya.
"Bangkitlah!"
Serentak pasukan berdiri. Sang jenderal maju mendekat ke Archezo yang sudah berdiri, "Maafkan kami terlambat menyusul Pangeran."
"Bagaimana dengan Paman? Apakah dia tahu kalian dikirim kemari oleh Perdana Menteri?"
"Raja berpikir kami sedang mengurus para pemberontak. Perdana Menteri menyamarkan kepergian kami dengan memerintahkan beberapa bandit menyerang desa." Jawab Jenderal Lyot. "Apakah Pangeran baik-baik saja?"
"Hm." Archezo menjawab dengan dehaman.
"Siapkan diri kalian, kita akan meneruskan perjalanan ke istana Apollyon!"
"Baik, Pangeran!"