Runa memiringkan kepalanya dengan posisi kepala masih tertunduk ke arah sang putri keluarga Barnett, melirik takut-takut dengan tatatap berbinar seolah dari kedua mata kecilnya itu mengucapkan salam perpisahan untuk selama-lamanya, mulutnya tertekuk muram dan bergetar.
Melihat ini, Anne menyipitkan mata dengan enggan. Kemudian, sebelah alis dan sudut bibirnya berkedut jengkel, seolah membalas kata-kata tak terucap Runa: Hegh! Sudah! Jangan berpikir yang tidak-tidak!
"A-ayah! Bukankah ayah sedang sibuk? Kenapa malah masih ada di sini?"
Anne berjalan ke arah ayahnya, meraih lengan kirinya dan menuntunnya menuju meja.
"Apakah putri ayah mulai penasaran dengan pekerjaan kekaisaran?" William tersenyum menggoda pada putrinya. Matanya melirik ke lantai sejenak, "berdirilah, Runa!"
Pelayan itu bergegas berdiri dengan posisi sigap. "Saya, tuan!"
"Tak biasanya ayah terlambat seperti ini ke tempat kerja. Ada apa?" ia duduk sembari mengamati ayahnya dengan saksama.
Runa dengan patuh menyiapka teh untuk tuan besar. Ia mengambil cangkir baru di kereta dorong dan menuangkan teh. Tangannya meletakkan teh itu di meja dengan hati-hati di depan sang pemimpin militer Kekaisaran Leclair. Sedikit gemetar, namun cukup stabil.
"Tehnya, tuan," ucapnya pelan.
"Terima kasih!" William tersenyum sejenak padanya, lalu ekspresinya berubah menjadi sedikit kaku ketika matanya bertemu mata putrinya.
"Ada apa, ayah?"
"Sebenarnya, ada yang ingin ayah bicarakan denganmu."
Runa yang memahami situasi itu, membungkuk sejenak dan berkata dengan nada setengah berbisik,
"saya keluar dulu, nona! Tuan!"
"Tidak! Tidak usah, Runa!" sergah William cepat, tangan kirinya terangkat di udara. "Tidak apa-apa kamu mendengar percakapan kami. Ini juga ada kaitannya denganmu!"
DEG!
Sekali lagi kedua perempuan itu membeku. Jantung berdebar keras seolah genderang yang ditabuh untuk menyemangati para pasukan untuk berperang.
Apakah ia tahu rencana mereka?
Anne dan Runa saling melempar lirikan mata, menelan ludah gugup nyaris bersamaan.
"Ada apa dengan kalian? Terlihat takut sekali seolah tengah menyusun rencana jahat!" sang ayah
tetawa pelan, ia meraih cangkir tehnya, dan menyesapnya dengan penuh kenikmatan.
"Aaa-ayah bilang apa, sih? Rencana jahat apa? Memangnya putri ayah sepintar itu?" Anne merendah dengan suara gugup.
"Tentu saja!" Ayahnya meletakkan cangkir dengan bunyi denting yang keras, kedua bahunya berdiri tegap mendominasi.
"A-AYAH?!"
"Maksud Ayah bukan begitu," lelaki itu menghela napas lelah, "Anne, ayah cemas jika kau terus seperti ini. Kita harus melakukan sesuatu untuk menambal kekuranganmu itu. Aku tak mengatakan kau bodoh atau apa pun, tapi kondisi lupa ingatanmu bisa menjadi kelamahan fatal. Tidak hanya untuk dirimu, tapi juga untuk Kekaisaran ini."
"Hah? Hahaha! Bukan kekaisaran ini, tapi kerajaan ini. Ayah ini bagaimana, sih?" Anne mengerutkan kening, mencoba mengoreksi perkataannya.
William berdehem beberapa kali, gerakan matanya terlihat gelisah tapi Anne tak memperhatikan ini, ia sibuk melirik diam-diam pada Runa yang kini bermuka pucat.
"Oh! Ya! Ya! Kerajaan kita maksudku! Termasuk Kekaisaran Leclair juga!" katanya dengan suara mantap kali ini. "Kau adalah putri bangsawan Barnett dari Kerajaan Devereux paling dihormati di antara semua kerajaan di Kekaisaran Leclair. Segala tindak tandukmu akan menjadi perhatian. Terlebih lagi ayah adalah pemimpin tertinggi militer di kekaisaran. Kau bisa menjadi kelemahan ayah, Anne. Otomatis menjadi salah satu kelemahan kekaisaran ini. Dan ayah tak yakin bisa melindungimu setiap saat."
Dalam hati, ia membenarkan perkataan ayahnya itu. Itu adalah beban yang selama ini berusaha Anne hindari, lari dari kenyataan dengan cara tenggelam dalam layanan manja di mansion itu. Siapa bilang menjadi orang bermartabat dan berstatus tinggi itu menyenangkan? Itu malah sangat melelahkan dan merepotkan!
"Lalu, apa yang akan ayah lakukan? Aku tak bisa mengingat apa pun. Dokter Marvin selama ini juga sudah sering memeriksaku untuk mengecek perkembangan yang ada. Hasilnya tetap saja nihil."
"Oleh karena itu ayah perlu membicarakn ini denganmu."
"Ya, ayah?" Anne setengah melongo mengucapkan ini.
"Sebentar lagi pesta dansa kekaisaran akan digelar."
"Apa aku wajib menghadiri pesta dansa itu? Aku masih ingat untuk berdansa. Tidak begitu mahir, tapi cukup lumayan," ia mengedikkan bahunya santai.
"Itu bukan perhatian, ayah. Di pesta dansa itu, banyak bangsawan besar yang akan hadir. Kondisimu yang seperti ini, bagi kami di mansion sama sekali tak masalah, tapi jika kamu sudah melangkahkan kaki luar mansion? Itu adalah hal yang lain."
"Tolong dipersingkat saja, ayah!" Anne menyipitkan mata dengan sebuah tebakan dalam hatinya.
"Ehmm.... Mulai minggu depan, setelah pesta rakyat 3 hari 4 malam digelar, ayah harap kamu bisa mempersiapkan diri untuk mengikuti kembali pelajaran privat tata krama bangsawan."
Baik Anne maupun Runa, sama-sama terkejut. Mereka saling pandang cukup lama hingga membuat William menyadari hal itu.
"Kenapa dengan kalian?
Perempuan itu mengamati Runa yang terlihat tak nyaman, spontan ia berkata dengan nada merajuk,
"jika aku mengikuti pelajaran privat itu, apakah Runa nantinya akan dipisahkan dariku? Aku ingin gadis ini yang menjadi pelayanku sampai batas waktu yang tak bisa kutentukan!"
Runa menegang mendengar ini, kepalanya tertunduk kaku. Mukanya suram dengan hati mencelos parah.
"Kamu hanya memikirkan hal itu?" tanya ayahnya dengan sebelah kening terangkat.
"Dan pada saat suatu hari nanti aku telah menikah. Aku ingin Runa tetap bersamaku!" Anne memajukan badannya dengan kesan terburu-buru.
Ayahnya tertawa mendengar pengakuan blak-blakan itu.
"Ayah kira ada masalah apa!" ia melempar pandang pada Runa, lalu tersenyum lebar, "tentu saja ia bisa berada di sisimu selama kamu mau, Anne. Tak lupa itu juga tergantung pada keinginan Runa sendiri."
"SA-SAYA BERSEDIA MELAYANI NONA ANNE SAMPAI SAYA MATI, TUAN!" sang pelayan tampak gugup dan berkata tanpa sadar. Detik berikutnya, ia menutup mulutnya dan berlutut di hadapan mereka, "MAAFKAN SAYA DAN MULUT LANCANG SAYA, TUAN!"
"Apa pelayanmu selalu bersikap berlebihan begini?" lirik William pada Anne, tampak tak enak hati.
"Ya... ayah.... Runa memang suka mendramatisir sesuatu..." ucap Anne dengan nada malas, mata menyipit lelah.
"MA-MAAFKAN SAYA YANG SUKA MENDRAMATISIR SESUATU, NONA! TUAN!" teriak Anne, dahinya benar-benar menyentuh lantai.
"Bangunlah. Lagi pula, bukan hanya putriku yang akan mendapat pelajaran privat. Kamu juga, Runa."
Kedua perempuan itu sama-sama terkejut.
Runa menegakkan kepala, kedua tangannya menapak ke lantai, "ke-kenapa begitu, tuan?"
William tersenyum kecil.
"Kamu adalah pelayan pribadi putriku. Sebentar lagi Anne akan berangkat ke istana kekaisaran, tentu saja kamu harus memperbaiki sopan santun dan tata krama-mu sebagai pelayan pribadi. Kualitas pelayan yang harus mendampingi Anne di istana kekaisaran haruslah nomor satu."
"Ayah! Apa maksudnya? Bukankah itu hanya pesta dansa biasa? Kenapa harus membawa pelayan?"
"Kamu bicara apa? Pesta dansa itu bukan pesta dansa biasa! Itu adalah pesta dansa saat semua kandidat calon istri pangeran akan memasuki istana untuk pertama kalinya! Pesta dansa itu akan diadakan selama seminggu penuh sebelum pemilihan calon istri pangeran ditetapkan! Apakah ibumu belum memberitahukan hal ini padamu? Kamu adalah salah satu kandidat itu, Anne!" William tampak terkejut, lalu ia menggerutu sendiri dengan nada berbisik, "apa yang dilakukan Calista selama ini, sih?"
Anne membeku.
Hawa dingin menjalar di punggungnya.
Mimpi buruknya yang selama ini hanya berupa dugaan seperti komik-komik kesukaannya tiba-tiba menjadi kenyataan bak petir di siang bolong.
Kandidat calon istri pangeran? Yang benar saja!