Area pemakaman selalu menjadi salah satu tempat yang paling menakutkan. Begitu juga bagi Jeremia Natasha Rodriguez. Namun itu dulu, sebelum dia kehilangan orang-orang yang disayanginya. Sekarang, tempat pemakaman bagi Jeremia biasa-biasa saja, tidak menakutkan sama sekali. Bukannya dia tidak memercayai adanya makhluk dari dunia lain, hanya saja rasa takut pada makhluk-makhluk itu sudah tertutupi oleh rasa sedihnya. Hatinya pun terasa membeku sekarang. Semua yang terjadi padanya dua belas tahun yang lalu mengubah semuanya. Nyaris tidak ada lagi Jeremia yang ceria, yang ada sekarang hanyalah seorang Jeremia Rodriguez yang gila bekerja.
Kecelakaan yang merenggut nyawa pemuda paling dicintainya dua belas tahun yang lalu nyaris membuatnya menutup diri. Ditambah kehilangan bayi laki-laki mereka sebelum bayi itu dilahirkan. Merupakan suatu keajaiban dia bisa bertahan dan berada di tingkat dirinya yang sekarang.
Jeremia tersenyum pahit. Masa lalunya yang penuh warna tidak akan pernah dia lupakan. Dia ingin terus mengenang semuanya, seperti kenangan dua orang laki-laki yang sangat disayanginya. Yang jasad mereka terbaring di bawah gundukan Tanak di depannya.
Jeremia menghela napas berat. Dadanya rasanya sangat sesak, sampai-sampai membuat matanya memanas. Tangan kiri Jeremia terangkat mengusap liquid di sudut matanya.
"Aku harus pergi sekarang," ucapnya serak. "Kalian berdua baik-baik di sana dan harus saling menjaga. Aku menyayangi kalian."
Air mata Jeremia jatuh tanpa dapat di tahan lagi, seiring dia membungkuk untuk meletakkan dua buah buket mawar putih pada masing-masing makam. Jeremia mengecup ukiran nama yang terdapat pada masing-masing nisan sebelum menegakkan tubuh kembali.
"Sampai bertemu sebulan lagi," ucap Jeremia sambil menghela napasnya yang semakin berat, kemudian berbalik meninggalkan tempat itu.
Jeremia tidak singgah ke rumah yang dulu ditempatinya. Sebelum ke pemakaman tadi dia sudah menyapa ayahnya yang masih mendiami rumah itu. Karena itu dia langsung kembali ke New York setelah mengunjungi makam Jordan dan putra mereka.
Begitu lulus dari SMU, Jeremia melanjutkan ke salah satu universitas yang berada di Kota New York. Lulus kuliah dia langsung bekerja di perusahaan yang dipimpin oleh Isabella Collins, ibu Jordan. Isabella tidak membiarkannya tinggal sendirian, saat kuliah dia tinggal di rumah keluarga Collins. Beberapa bulan setelah lulus kuliah barulah Isabella dan William Collins membiarkannya tinggal di apartemen. Padahal sejak awal menginjakkan kaki di kota tak pernah tidur itu Jeremia sudah memiliki apartemen, ayahnya yang membelikan. Hadiah karena dia berhasil masuk di salah satu universitas terbaik di dunia yang berada di Kota New York. Jadilah apartemen baru itu tanpa penghuni selama beberapa tahun.
Setelah lulus kuliah pun dia tidak bisa langsung menempati apartemennya. Perlu beberapa bulan untuk meyakinkan Isabella agar melepasnya. Dia sendiri juga sesungguhnya enggan berpisah dengan Isabella. Mereka sudah sangat dekat, seperti seorang ibu dan putri kandungnya. Namun dia tetap harus pindah, dia sudah memutuskan untuk mandiri.
Jeremia mengembuskan napas melalui mulut. Mata terpejam dengan punggung menyandar pada jok mobil beberapa saat. Selalu seperti ini kalau dia tiba di basement apartement. Jarak dari kota kelahirannya dengan kota New York lumayan jauh, lumayan melelahkan karena dia tidak berhenti barang sedetik pun di perjalanan tadi. Dia ingin cepat pulang ke apartemen dan beristirahat.
Jeremia mengusap air di sudut matanya sebelum membuka mata. Iya, dia memang menangis tapi tanpa dia sadari, air matanya keluar sendiri. Namun Jeremia tidak heran lagi. Bukan hanya lelah yang dia dapat setelah kembali dari kota kelahirannya, tetapi juga sesak di d**a. Bukan karena lelah melainkan karena kerinduannya pada dua orang laki-laki yang sangat disayanginya. Meskipun Jeremia tahu jenis kelamin bayinya tetapi dia tidak sempat melihat wajah bayi itu. Dia masih pingsan ketika bayinya yang sudah meninggal dikeluarkan dari perutnya.
Jeremia keguguran saat janin di perutnya sudah berusia dua puluh lima Minggu. Dia mengalami pendarahan setelah terjatuh dari tangga. Bukan sengaja jatuh, tapi dia terpeleset. Karena kecerobohannya itu dia harus kehilangan satu nyawa lagi. Jeremia sempat menyalahkan dirinya waktu itu. Beruntung Isabella meyakinkannya kalau itu semua tidak sengaja dia lakukan, dan dia tetap bagian dari keluarga Collins.
Jeremia meringis. Tangannya terulur, mengusap perutnya yang rata. Dan bulir-bulir bening kembali menuruni pipinya.
"Maaf ...," ucapnya lirih. "Maaf karena tidak bisa menjaganya. Maaf tidak bisa menjaga harta kita yang paling berharga. Maaf ... aku ... seharusnya aku juga ikut bersama kalian ... seharusnya kalian mengajakku."
Inilah hal yang paling ditakutkan oleh orang-orang terdekatnya. Jeremia tahu itu. Mereka takut kalau dia mengambil jalan pintas untuk bisa bersama Jordan dan bayi mereka. Kadang pikiran seperti itu pernah terlintas di kepalanya. Namun buru-buru dia membuangnya. Jeremia yakin Jordan tidak menginginkan hal itu. Dia kuat. Salah satu hal yang membuat Jordan memujanya adalah karena dia kuat. Kuat menghadapi segala cobaan yang diterimanya. Lagipula dia yakin, mereka bertiga pasti dipertemukan lagi di atas sana nanti.
Jeremia mengambil selembar tisu untuk mengusap air matanya.
"Aku kuat, Jordan," ucap Jeremia tanpa suara. "Aku selalu kuat. Kau pasti melihatnya kan dari atas sana?" Jeremia tersenyum lirih. "Tunggu aku, kalau sudah tiba waktunya kita pasti akan bertemu."
Jeremia membuka pintu mobil, melemparkan tisu pada tempat sampah terdekat dan keluar dari mobil. Melangkah cepat memasuki lobi apartemen. Tak lupa Jeremia membalas sapaan Irene, sang resepsionis, juga Pak Calpain, petugas penjaga apartemen.
Jeremia melempar tasnya begitu saja ke atas sofa di ruang tamunya. Beruntung karena apartemennya akan terkunci sendiri secara otomatis begitu mengenali suhu tubuh pemiliknya. Jeremia selalu lupa mengunci pintu apartemen setelah masuk, dia akan langsung menuju dapur ataupun kamar tidurnya yang berada di lantai dua. Seperti sekarang, perempuan berusia tiga puluh tahun itu sudah berada di depan lemari pendingin. Tangannya dengan terampil mengambil sekotak s**u dan beberapa potong roti. Percayalah, dia sangat lapar.
Jeremia membawa roti dan s**u menuju kamar tidurnya. Sebelumnya dia ke ruang tamu dulu, mengambil tas tangan yang tadi diletakkannya di sana. Memang terdengar ribet, tapi jeremia sudah terbiasa. Kotak s**u digigit, tangan kanan memegang roti, dan tangan kiri memegang tas sekaligus membuka pintu kamar. Meletakkan tas di atas meja kerja, Jeremia sekaligus duduk di sana. Bukan ingin bekerja atau menyelesaikan pekerjaannya yang tertunda, dia hanya ingin duduk dan memakan rotinya di sini.
Suara ponselnya yang berdering mengagetkan Jeremia, meski tidak membuatnya berjengit. Jeremia mengerutkan alis melihat nama si penelepon. Philip Myers. Sahabatnya sejak menimba ilmu di universitas. Sekarang mereka sama-sama bekerja pada Collins Corps. Philip adalah sekretarisnya. Namun, Jeremia yakin kalau Philip meneleponnya malam-malam begini bukan untuk membicarakan masalah pekerjaan. Mereka sudah sepakat untuk membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan mencari uang cukup pada jam kerja saja. Di luar jam kerja dia tidak akan menanggapinya.
Namun meskipun tahu tidak penting, Jeremia tetap menjawab panggilan itu. Jari manisnya yang tanpa cincin menyentuh tombol hijau dan menggulirnya ke atas.
"Ada apa malam-malam menghubungiku?" tanya Jeremia setelah menelan roti yang tadi memenuhi mulut. Ponsel menempel di telinganya.
"Apa kau sudah kembali ke apartemenmu?"
Pertanyaan dari Philip membuat Jeremia memutar bola mata. Philip sudah tahu semua tentang dirinya. Persahabatan mereka yang sudah lama membuat Jeremia terbuka pada pria berusia tiga puluh dua tahun itu. Sikap Philip yang selalu menerima dan mendengarkan membuat Jeremia betah berteman dengannya. Philip juga tidak cerewet, dia seorang pendengar yang baik sehingga Jeremia tak segan untuk berbagi.
"Aku baru tiba," jawab Jeremia. "Ada apa?"
"Aku tahu kau masih lelah, tapi apa kau mau bergabung dengan kami di sini?"
Jeremia tahu dengan maksud kami itu, pastilah Philip sedang bersama dengan kekasihnya. Dari ramainya suara di belakang mereka, Jeremia yakin kalau pasangan yang tengah dimabuk asmara itu sedang berada di sebuah klub. Mungkin klub langganan mereka. Jeremia memang beberapa kali pergi ke klub, tapi dia tidak melakukan hal-hal gila seperti yang orang lain lakukan. Dia sangat menjaga dirinya. Tidak minum terlalu banyak alkohol adalah yang selalu diterapkannya setiap dia pergi ke mana pun.
"Aku tidak tahu, Phil." Jeremia menyandarkan punggung ke belakang. "Tapi, kurasa aku akan tetap di rumah saja," tolak Jeremia halus.
Ini bukan pertama kali Philip mengajaknya keluar, dan bukan pertama kali juga dia menolaknya. Ingat, dia pernah pergi ke klub tapi hanya beberapa kali. Dia lebih tertarik menghabiskan waktu istirahatnya di rumah daripada pergi ke tempat lain lagi yang hanya akan menambah ke penatnya.
"Baiklah."
Dan seperti biasa Philip selalu mengerti dirinya. Jeremia tersenyum seorang diri. Philip hanya menawarkan, tidak pernah memaksa untuk menuruti setiap ajakannya. Philip Myers adalah seorang sahabat yang pengertian.
"Tapi kalau kau berubah pikiran aku dan Gabe berada di klub biasa."
Jeremia mengangguk. Tangannya terangkat memencet pangkal hidung. Namun begitu sadar kalau Philip tidak bisa melihat anggukannya, segera Jeremia menjawab.
"Iya," sahut Jeremia. "Kalian bersenang-senanglah!"
"Baiklah, Jeremia, sampai nanti hari Senin."
Jeremia mengangguk lagi. "Iya, sampai nanti."
Jeremia memutuskan sambungan panggilan Philip setelah mengatakan itu. Melemparkan ponsel ke atas tempat tidur sementara dirinya menuju kamar mandi. Jeremia yakin lelahnya akan berkurang kalau dia mandi tapi tidak berendam. Dia ingin tidur lebih awal malam ini, di atas tempat tidur bukan di dalam bathup.
Hanya memerlukan waktu lima menit Jeremia sudah keluar dari dalam kamar mandi. Jeremia melangkah menuju lemari untuk mengambil piyama. Dia tidak terbiasa mengenakan lingerie dan sejenisnya. Dia merasa lebih nyaman menggunakan piyama daripada gaun-gaun tidur terbuka.
Jeremia mengambil ponsel kemudian duduk di atas tempat tidur dengan bersandar pada kepala ranjang. Satu kebiasaannya sebelum tidur yang tak pernah bisa dihilangkan sampai sekarang, memeriksa ponsel sebelum tidur. Siapa tahu ada pesan penting masuk atau bahkan panggilan.
Dugaan Jeremia benar, ada beberapa pesan yang masuk ke ponselnya selagi dia mandi tadi. Ada dari Sharon dan Brittany, kedua sahabatnya sejak kecil itu mengajaknya untuk bertemu besok. Bagi Jeremia tidak masalah, dia tidak memiliki kesibukan di akhir pekan kali ini. Besok dia bebas. Jari-jari ramping Jeremia bergerak lincah mengiakan ajakan Sharon dan Brittany. Lagipula mereka sudah cukup lama tidak berjumpa, dan Jeremia merindukan mereka.
Seharusnya mereka berempat bersama Katherine. Namun katanya Katherine tidak bisa ikut berkumpul akhir pekan ini. Dia harus menemani putri kecilnya yang sedang sakit. Sebenarnya sudah dua hari yang lalu Jeremia mengetahui tentang kabar itu, tapi dia masih belum memiliki waktu untuk menjenguk. Mungkin besok dia akan menyempatkan diri untuk menjenguk Cassie, putri Katherine dan Tim yang baru berusia empat tahun.
Di antara mereka berempat, hanya Katherine yang sudah menikah. Tim memaksanya untuk menerima lamaran ketika mereka baru lulus dari sekolah menengah, dan sekarang mereka sudah memiliki dua orang anak. Justin yang berusia enam tahun dan Cassie, empat tahun.
Sementara Sharon dan Brittany masih belum menikah. Meskipun Robert dan Gareth sudah beberapa kali meminta tetapi mereka tetap menolak. Sharon yang sekarang seorang dokter bedah di salah satu klinik terbaik di kota New York tidak mau menikah sebelum berusia tiga puluh tiga tahun. Brittany yang memiliki sebuah butik pun sama, tidak akan menikah sebelum lebih dari tiga puluh tahun.
Jeremia mengembuskan napas melalui mulut dengan pelan. Sepertinya hanya dirinya yang tidak akan menikah selamanya. Dia memutuskan untuk menghabiskan sisa hidupnya sendiri bersama kenangan Jordan daripada harus mengubur kenangan itu dan memulai hidup baru bersama pria lain. Sungguh dia tidak tertarik dengan pria mana pun yang berusaha mendekatinya. Dia akan memasang tembok besi yang tebal apabila ada yang berusaha melakukan itu. Setiap kali. Hatinya sudah tertutup untuk menjalin hubungan dengan pria yang lain. Hanya Jordan yang akan menjadi cinta pertama dan terakhirnya.
Jeremia mendongak. Matanya mengerjap beberapa kali mengusir liquid yang mulai menggenangi mata indahnya. Matanya selalu saja berair setiap kali dia mengingat Jordan, walau kenangan terindah mereka sekalipun. Jeremia menggigit bibir, bersama Jordan selalu sangat indah baginya. Kenangan yang sangat membahagiakan sekaligus paling menyakitkan. Sangat-sangat menyakitkan.
Jeremia mengulurkan tangan menggapai nakas, meraih sesuatu dari atas sana. Menatap foto lama berusia tiga belas tahun yang terpampang di sebuah pigura yang tadi diambilnya. Foto Jordan dan dirinya saat mereka di sekolah, di lapangan basket indoor. Jack yang mengambil foto atas permintaan Jordan. Senyum manis menghiasi bibir pucat Jeremia, membuat dua titik air mata jatuh membasahi kaca pigura. Disusul titik-titik berikutnya.
Jeremia mengusap wajah Jordan di foto itu, mengeringkan air matanya pada kaca pigura menggunakan ujung jari telunjuk dan jari tengah. Jeremia mencium foto itu beberapa kali sebelum membawa ke dadanya. Jeremia kembali mendongak, membuka mulut hanya untuk mengeluarkan udara dari sana. Dia sangat merindukan Jordan, selalu merindukan pemuda itu. Tidak pernah setiap hari dia tidak merindukannya, apalagi saat malam seperti sekarang ini. Mungkin semua orang di luaran sana menganggapnya menyakiti diri sendiri tapi dia tidak peduli. Baginya justru sebaliknya. Jordan adalah penyemangat kehidupannya. Setiap kali dia mengingat senyum lelakinya, setiap itu juga dia kembali bersemangat menjalani hidup.
Jeremia memejamkan mata, membayangkan Jordan tersenyum manis padanya. Air matanya memang semakin deras, tapi dia bahagia.
I miss you so much!