Bab 6. Hadiah

1018 Kata
"Van, bisa ngobrol bentar, nggak?" tqbya Arkan masih enggak duduk. "Buruan, ngomong aja. Aku lagi ada keperluan, lagian. Gomong di telepon juga bisa kan?" tanya Vanesa. "Keluar dulu, yuk. Aku janji sebentar, kok. Ada yang aku mau omongin sama kamu, penting," rengek Arkan. "Kalau soal perasaan lagi, aku sudah muak Arkan. Dah berapa kali aku bilang, kita nggak akan pernah bisa bersama selagi masih kuliah. Aku mau fokus kuliahku dulu, lagi aku risih di ganggu silvi cuma gara-gara kamu doang." Vanesa memalingkan wajahnya. "Van, beri aku kesempatan untuk dekat denganmu. Oke, soal silvi biar aku yang menanganinya. Kurang apa sih, aku ini?" Arkan tak habis pikir dengan cara respon Vanesa. "Semakin kau mendekat denganku, maka aku akan semakin jauh denganmu. Bukannya membuat aku tertarik ke kamu, justru membuatku ilfeel. Bisa nggak, semua ini jalan apa adanya. Kau cukup kagumi aku dengan diam, jangan memaksaku untuk dekat. Perasaan orang nggak ada yang tahu, Arkan. Kau boleh menyukaiku, tapi jangan memaksaku untuk memiliki rasa yang sama juga. Mengertilah! Jika suatu saat rasa itu masih ada, tepatnya keluar kuliah, kau boleh tagih janji itu." Vanesa menghela napasnya. "Kita lihat, cinta itu akan memudar atau enggak. Kita ikuti alurnya." Mendengar perkataan Vanesa, si Arkan hanya mampu tersenyum tanpa membalas satu patah kata apapun. "Arkan, maafkan aku. Aku selama ini tak pernah memberi harapan apapun ke kamu, jadi aku mohon jangan seakan-akan menyakitimu karena suatu harapan yang aku berikan. Kau mau membenciku silakan atau mencintaiku tak masalah. Cukup kau dan Tuhanmu yang tahu akan rasamu. Jika Tuhan mengizinkan, maka jalan apa yang akan diberikannya pada kita, bakal kita trima apa adanya." Vanesa merasa tak enak hati padanya. "Iya, Van." Arkan meraih kotak kecil dari dalam saku hoodienya. "Buat kamu, anggap aja itu hadiah dariku. Jika suatu saat kita bersama, itu adalah suatu doaku yang dikabulkan oleh sang Maha Kuasa. Namun, jika takdir kita suatu saat tak saling sapa, aku meminta Allah, agar kamu menjadi kenangan terindah selamanya." Vanesa pun meraih kotak itu dari tangan Arkan. Dia mencoba membendung air matanya agar tak menetes di hadapan pria yang selama ini memperjuangkannya. Bukan keinginannya bersikap seperti ini, namun keadaan yang menuntunnta untuk melakukan hal yang tak pernah ia kehendaki. "Simpan yang baik, ya. Maafkan aku yang selama in egois sama kamu, semoga kamu baik-baik saja. Aku pulang dulu, ya," ujar Arkan, sembari melangkah menuju pintu utama. Vanesa hanya mampu melihat Arkan pergi tanpa bermaksud mencegahnya. Arkan melangkah pergi dari rumah itu dengan sejuta luka. Keputusan Vanesa tak mampu ia ganggu gugat, sebab hati dia tak dapat ia paksa untuk merasakan hal yang sama. Dia hanya tak ingin bersama orang yang terpaksa mencintainya karena rasa kasihan atau bagaimana. Dia masuk ke dalam mobilnya, lalu melajukan mobilnya secara perlahan menjauh dari sana. Air mata yang sedari tadi ia tahan, saat ini tak kuasa ia bendung lagi. Bulir bening berjatuhan dari sudut matanya. d**a terasa sesak dan hati pun tersayat hingga menorehkan seribu luka yang mendalam. Saat itu, ponsel Arkan kembali berdering. Dia meraihnya, namun nama Silvi justru yang tertera di sana. Kali ini, dia berinisiatid untuk menjawabnya. "Halo." Arkan menjawabnga dengan begitu ketus. "Kamu di mana, Arkan?" tanya Silvi di sebsrang telepon. "Bukan urusanmu, kenapa?" Arkan berbalik bertanya. "Bukannya hari ini, kamu ada tanding basket? Aku dari tadi, kok nggak lihat kamu di lapangan," ujar Silvi. "Tiba-tiba nggak enak badan, hari ini aku nggak ikutan dulu. Males aku, dahlah." Arkan tanpa menunggu Silvi menjawabnya, dia bergegas memutuskan panggilannya terlebih dahulu. Sedangan Vanesa, dia kembali menuju lantai atas. Dia duduk di sofa, sembari menatap kotak kecil pemberian Arkan. "Arkan, entah apa yang aku rasa kepadamu. Kau terlihat begitu tulus untuk meperjuangkanku, tetapi ...." Vanesa menggantung ucapannya. Perlahan dia membuka kotak kecil itu. Terlihat di dalamnya berisi kalung berinisialkan namanya. Dia menatap kalung itu dengan mata yang berkaca-kaca. "Arkan ... Arkan. Mau tahu, seserius apa kamu denganku. Sampai bertemu di akhir nanti, sesuai takdir yang ditentukan oleh sang Maha Kuasa. Cintamu yang memudar atau cintamu yang akan memenangkan itu." Vanesa tersenyum. Ponsel Vanesa terdengar berdering. Kali ini bukan dari Arkan, namun Silvi yang memanggilnya. Wajah Vanesa seketika berubah kala melihat nama itu di layar ponselnya. "Huft, mau apa lagi, sih?" gumamnya sebelum menelepon. "Apaan?" jawab Vanesa saat telepon itu tersambung dengannya. "Heh, cewek gatel. Bisa nggak, lu nggak usah dekat-dekat Arkan, hah?" hardik Vanesa. "Hahaha. Gua gatel? Lah, elu macam apa kawan? Bukannya elu yang gatel sama Arkan." Perkataan Vanesa memang benar adanya. Dia yang selama ini selalu menghindar dari Arkan, tetapi di mata Silvi seakan-akan dia yang mendekatinya. "Heh, mulutnya di jaga!" gertak Silvi yang merasa tak terima dengan ucapan Vanesa. "Hahaha. Nggak ada kaca di rumah, lo? Ih, nggak mampu beli, ya. Ntar gua kasih, gratis buat elo," jawab Vanesa seraya menyeringa di balik teleponnya. "Vanesa!" teriak Silvi. "Ulu, iya sayangku. Kangen, ya. Ih," ejek Vanesa. Silvi yang merasa kesal sehingga memutuskan panggilannya. Vanesa pun menyeringai. "Hahaha. Kesel pasti ya, Mbak? Nggak usah masuk ke kandang macan kalau nggak mau diterkam." Vanesa meletakkan ponselnya. Kemudian, merebahkan tubuhnta di atas kasur sembari menunggu mamanya pulang. ☆☆☆ Silvi melempar ponselnya saat mendengar perkataan Vanesa, sehingga ponselnya mati secara otomatis. "Vanesa!" ujarnya. Silvi yang saat ini duduk di depan meja rias, lantas memukul kaca yang berada tepat di depannya. Dia seperti orang yang kesetanan. "Kenapa, harus Vanesa, Arkan! Apa yang kau suka dari cewek judes macam dia?" Tok! Tok! "Silvi, buka pintunya!" suara ketukan dari pintu kamarnya. Terdengar suara perempuan yang terdengar khawatir dengan keadaannya. Silvi beranjak dari tempat duduknya, kemudian membuka pintu itu secara perlahan. Mata wanita itu langsung tertuju ke tangan kanan Silvi. Darah bercucuran dari kepalan tangannya. Bahkan, serpihan kaca masih ada yang tertancap dengan kuat di kulitnya. "Ya Allah, Nak. Kamu kenapa?" tanya Wanita itu. Silvi menangis meraung bak seorang bayi yang kehilangan mainannya. Merengkuh tubuh wanita yang cantik namun mulai menua seiring berjalannya waktu. "Ma, aku mau Arkan. Kenapa dia tak bisa memiliki perasaan yang sama denganku? Apa aku kurang cantik?" tanta Silvi. Dia yang eglis, berpikir semua hal mampu ia dapatkan dengan mudah, termasuk hati orang yang ia sayangi. "Ya Allah, hanya karena laki-laki kau seperti ini? Jangan bodoh sayang." Mamanya melepas pelukan Silvi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN