Bab. 11. Seenaknya saja

1005 Kata
Baju Vanesa di tarik dengan kuat oleh seseorang yang berada di belakangnya. Krak!! Tarikannya yang sangat kuat mampu membuat bajunya koyak. "Heh, apa-apaan, sih?" Vanesa memegang robekan bajunya, seraya menatap wajah orang itu dengan sorot matanya yang tajam. Orang yang melakukan itu tentunya si Silvi, orang yang tak pernah tenang jika melihat Vanesa dan Arkan dekat. Dia membawa dua temannya sebagai pembela atas semua tingkahnya. "Lo, buat apa ngedeket ke Arkan, hah? Gatel banget jadi cewek." hardik Silvi. Vanesa mengernyitkan dahinya. "Bentar, gua gatel? Lo apa?" Plak!! Tamparan keras mendarat di pipi Vanesa. Silvi yang mulai, dia juga yang emosi. "Dasar sampah! Mendekat dengan cara menyingkirkan. Kau tak mampukah bersaing dengan cara sehat. Takut si laki lebih memihak ke gue? Kasihan Lo, Mbak. Bacot! Ups, keceplosan gue." Vanesa menyeringai saat menatap ke arah Silvi. "Vanesa!" teriak Silvi merasa tak terima dengan apa yang dikatakan oleh Vanesa barusan. "Uluh, apa, sih? Salah ya gue ngomongnya atau nggak terima?" tanya Vanesa. " Dahlah, ladenin elo sama aja ladenin orang gila. Sama cowok kok ngejar, ya dikejar dong. Murah banget harga dirinya." Vanesa melangkah pergi setelah mengejek dengan perkataan yang cukup pedas ketika di dengar. "Huh, Vanesa! Nggak akan tinggal diam gue dengan apa yang kau utarakan kepadaku. Kau sama saja menghinaku." Silvi terlihat begitu kesal saat ini. "Dahlah, Silvi. Lawanmu salah sepertinya, Vanesa bukan sembarang orang. Semakin kamu mencoba menyingkirkan, semakin dia nantang kamu. Nggak capek apa seperti itu terus? Toh, cowok masih banyak," ujar salah satu teman Silvi yang mencoba menasehati. "Kalau lo lebih memihak ke Vanesa ya silahkan." Silvi meninggalkan temannya dengan cara berjalan terlebih dahulu. Silvi jatuhnya salah paham terhadap temannya sendiri. Padahal niatnya menasehatinya, tetapi justru dimusuhi. Memang Sikvi sudah dibuat boddoh oleh rasa cinta yang tak pernah mendapatkan balasan itu. "Silvi, kok malah kamu salah paham sama aku, sih. Bukan begitu maksud aku. Kami tuh sayang kamu, agar tak berlarut dengan rasa itu. Coba kamu lihat cowok selain Arkan, mereka bisa saja ada yang menyayangimu. Kamu itu, cantik. Nggak mungkin, jika dari mereka tak ada yang menyukaimu," bujuk temannya lagi. "Silvi, tapi bener juga, deh. Coba kamu jangan seperti ini, siapa tahu justru Arkan yang mengejarmu nantinya. Belajar bodo amat aja. Yuk bisa, yuk," bujuk teman lainnya. Silvi yang keras kepala memilih tak menggubris obrolan kedua temannya. Dia terlalu egois untuk menentukan semua pilihannya. Dia hanya mikir, apa yang dia inginkan harus menjadi miliknya sampai kapanpun itu. Silvi melangkah semakin jauh dsri teman-temannya. "Dahlah, biarin si Silvi sendiri. Dia sudah dewasa biar merubah sedikit pola pikirnya yang terlalu kaku." Kedua teman Silvi memutuskan tak mengejarnya. Mereka menganggap jika apa yang dilakukan memang sudah benar. Tak semua yang diinginkan akan menjadi miliki kita. Mereka memilih untuk berjalan yang tak searah dengan Silvi saat ini. Sedangkan Silvi, hanya meracau seenaknya sendiri. "Gue nggak butuh kalian. Toh, tanpa gue kalian bukan siapa-siapa," gumamnya. Dia berjalan menuju parkiran. Dia tak akan pernah mau terkalahkan oleh siapapun. Dia melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi tanpa tahu ke mana arah dan tujuannya. "Aku nggak akan tinggal diam dengan apa yang kamu perbuat kepadaku." Silvi berhenti tepat di depan ruko. Dia meraih ponselnya, lalu menghubungi tak tahu siapa itu orangnya. Dia telepon sesekali menyeringa seakan-akan memiliki niat buruk yang terpendam. "Oke, next gue kabari," ujar Silvi sembari memutuskan panggilannya. ☆☆☆ Arkan melajukan mobilnya secara perlahan menuju rumah Vanesa. Dia sumringah dengan sendirinya, karena tak jarang Vanesa memerlakukan dia seperti ini. Bahkan, dia menduga jika Vanesa sudah membuka hati untuknya. Sesampainya di depan rumah Vanesa, terlihat Vanesa sudah menunggu di teras rumah. Terlihat dia berjalan saat mobil Arkan berhenti di sana. "Maaf, ya. Dah nunggu lama?" tanya Arkan sembari membukakan pintu untuk Vanesa. "Makasih, ya." Vanesa masuk mobik terlebih dahulu. Lalu, di susuk oleh Arkan. "Aku juga barusan nyampek, kok. Jadi tenang aja, nggak lama nunggunya." "Kita berangkat sekarang, ya. Atau mungkin, mau mampit ke mana dulu?" tanya Arkan lagi. "Nggak usah, kita ke pantai aja." Vanesa menatap ke arah Arkan. "Ehm, Arkan. Oke, aku ngoming sekarang aja, ya." Arkan menoleh ke arahnya. "Iya, kenapa?" "Gini, aku mutusin untuk oke kita dekat mulai hari ini. Aku nggak akan menghindar dari kamu, tapi aku nggak bisa janji untuk membalas rasa yang sama denganmu. Kita ikut alur, jika aku bisa menghadirkan rasa itu maka aku akan beritahu kamu," jawab Vanesa. Arkan hanya tersenyum saat itu. "Aku bingung Arkan, kayak merasa egois banget kala seperti ini. Aku memintamu untuk menjauhiku, tapi di sisi lain aku dekat dengan yang lain. Kita bersahabat terlebih dahulu, ya. Takdir Tuhan tidaj ada yang tahu." Vanesa tetap menatap ke arah Arkan yang sesekali menoleh ke arahnya. "Iya, nggak apa-apa." Arkan memaksakan senyumnya. Wajahnya tersenyum, namun hatinya terasa tersayat. Dalam benaknya berkata, "Kamu nggak akan pernah mengerti rasa sakit yang aku rasakan. Rasa yang pernah ada, tak akan mungkin sirna saat kita selalu dekat dan akan sakit bila kita menjauh. Mulutku bisa mengiyakan permintaanmu untuk mengenyampingkan rasaku, tetapi hatiku tidak. Aku menginginkan lebih, tapi sadar jika aku dihadirkan saat kau membutuhkanku. Aku badut yang mampu menghiburmu, namun menangis di balik topengku." Arkan dan Vanesa terdiam hingga beberapa saat. Hingga tak berselang lama mereka pun dampai di tempat yang dituju. "Arkan, maaf ya. Sebenarnya aku cuma mau sampain itu aja, sih. Cuma aku ingin, persahabatan kita di mulai dengan cara baik-baik. Aku harap juga akan mendapatkan hal yang baik," ujar Vanesa saat ini merasa tidak enak hati. "Iya, nggak apa-apa, kok. Aku ngerti maksud kamu," jawab Arkan. Arkan dan Vanesa saat ini memilih duduk di tepian pantai. Mereka terdiam menikmati sapuan air laut yang mengenai kaki. Angin seakan-akan berbisik tak membiarkan keheningan terjadi. Sinar matahari yang terik tak membuat mereka mengurungkan niat untuk duduk bersama, melepas rasa yang terpendam dalam jiwa. "Terkadang aku konyol, ya. Kenapa aku memaksakan untuk kau membalas rasaku, padahal aku sendiri tak mampu membalas rasa ke ornag yang mencintaiku," gumam Arkan. "Hah, Silvi maksud kamu?" tanya Vanesa. "Iya, tahu sendiri dia seperti apa mengejarku, tetapi aku malah sibuk mengejar cinta yang lain. Bahkan cinta yang kukejar menunjukan bagaimana aku sendiri berperilaku. Acuh dan bahkan seakan-akan sulit kugapai."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN