MY SWEETIES BOY ~ 04

1530 Kata
Hmmmmm, wangi. Dari aroma yang tercium sih sepertinya .. blackforest! Tak sadar hidung gue mengendus~ngendus bagaikan anjing pelacak. PLAK! Mendadak seseorang menjitak kepala gue. Spontan gue membuka mata. Pibi berdiri di depan gue dengan membawa seloyang blackforest. "Elo itu asli rakus akut! Meski lagi tidur, bisa aja lo terbangun gegara cium aroma makanan." Gue memang tertidur di meja belajar dan Pibi yang jutek ini sengaja membangunkan gue dengan umpan kue blackforest. "Ehmm Pibi, lo enggak kebanyakan tuh makan blackforest itu sendirian?" pancing gue. Siapa tahu gue mendapat jatah blackforest yummy itu. "Gimana ya, gue bisa simpan nih kue di kulkas. Kapan aja gue mau bisa gue ambil." "Enggak fresh, tau! Udah bau kulkas berhari~hari," cemooh gue. "Atau coba gue pikir dulu. Gue bisa sharing kue ini sama siapa?" Gue menatap si Pibi dengan puppy eyes gue, berharap dia mengetahui isyarat gue. Astaga, gue sangat menginginkan kue blackforest itu! "Oh, gue tau mau kasih siapa ..." Ucapan Pibi sengaja digantung hingga membuat gue semakin penasaran. "Siapa?" "Si Kuncung. Kasihan gak ada yang perhatiin dia!" ucap Pibi sok baik hati. "Taik, lo! Kasih gih tuh ke yayang lo, si Kuncung," sindir gue pedas. Si Pibi sedikit menyengir, tapi gue tak yakin. Secara dia hampir tidak pernah tersenyum, bawaannya cemberut melulu. "Ya udah, nih buat elo. Abisin! Awas kalau ada sisa! Abis itu gak usah ngiler lagi kalau ditawarin kue sama orang. Bikin malu aja!" Dia membanting blackforest itu di meja belajar gue! "Asikkkk!" Saking bahagianya, sontak gue memeluk Pibi erat~erat! Dia membelalak dan langsung mendorong kepala gue untuk menjauhkan darinya. "Jangan sentuh gue! Gue curiga lo cowok m**o ya?!" Mata Pibi memicing, mengamati wajah gue dengan seksama. "Enggak! Gue normal kok." Dia menatap gue seakan tak percaya. "Suwer!" kata gue menegaskan sambil mengangkat dua jari keatas. Ck, jangan sampai dia menganggap gue cowok m**o, nanti gue bisa di-bully! Gue jadi grogi karena dia memperhatikan gue dengan seksama. Untuk menutupi perasaan itu, gue segera duduk dan mencomot kue blackforest itu langsung dengan tangan. "Ck! Jorok," cemoohnya saat melihat gue mencomot kue dan makan memakai tangan langsung. Gue sengaja menjilat krim blackforest yang tersisa di jari gue dengan gaya s*****l. Bahkan gue mengulum jari dengan nikmat seperti tengah memakan lolipop. "Hm yummy,"desah gue. "Lo sengaja godain gue lagi?" kata Pibi marah. Mengapa dia marah? Gue melirik Pibi dan melihat tatapannya yang aneh. Wajahnya mupeng habis. "Jangan kata lo nepsong ngelihat gue," goda gue. "Ngomong ngawur gue kebiri lo!" bentak Pibi kasar. "Lho, memang gue melihat wajah lo mupeng. Lo pengin kue ini, kan?" tanya gue sambil menyodorkan sepotong kue blackforest yang gue comot langsung dengan tangan gue. Pibi melihat tangan gue dengan tatapan jijik tapi mupeng. "Gue gak suka manis~manis," sergahnya sembari melengos. "Lo gak suka gue, dong. Hehehehe, secara gue kan manis banget," kekeh gue narsis. Sekilas Pibi tersenyum. Eh, itu senyum apa nyengir, sih? Aneh sekali! HEEEEKKKK!! Tak sadar gue bersendawa, kenyang banget, euy. Tapi blackforest gue masih ada seperempat loyang. "Pibi, ini harus abis saat ini juga?" "Hemm." Pibi yang tengah bersiap~ siap mencukur janggutnya cuma berdeham mengiyakan. "Gue masukin kulkas boleh? Ntar malam kalau gue lapar..." "Enggak boleh! Ntar bau kulkas! Harus habis saat ini juga!" Cih, dia meniru jurus gue! Tidak kreatif sama sekali. "Gue bagiin dikit ke Ahlun ya, dikiiiit aja." "Nggak boleh! Itu gue beli buat elo! Bukan buat yang lain!" Seandainya Pibi berbicara dengan lembut, gue pasti melting. Tersanjung episode seratus. Tapi ini pakai acara membentak segala! Tak ada manisnya sama sekali. "Buruan abisin! Abis itu lo nyukurin janggut gue, Jongos!" "Iye,iye." Bawel! sambung gue dalam hati. Dia adalah teman sekamar yang sungguh menyebalkan. Pantas tak ada yang betah sekamar dengannya! Selesai memakan sisa~sisa blackforest itu dengan mengerahkan ilmu nafsu makan membara, gue menghampiri Pibi yang telah menyiapkan semua peralatan cukurnya. "Tangan lo udah dicuci?" Dia melirik tangan gue, sangsi. "Udah." "Bersih?" "Yaiya lah, masa lo gak percaya gue?" "Enggak. Lo jorok, sih. Sini gue cium dulu ada baunya kagak." Gue menyodorkan kedua tangan gue dan dia mengendusnya bagaikan anjing pelacak. "Ih, bukan begitu cium tangannya," usil gue kumat. Gue merangsek maju lalu menempelkan tangan gue ke hidungnya yang mancung dan tangan satunya ke bibirnya yang macho. "Whhhhtttt," protesnya saat berasa gue bekap. Gue tertawa terbahak. Duh, tampang Pibi lucu sekali! Namun kemudian tawa gue berhenti saat Pibi melihat gue dengan tatapan mupengnya. Apa yang dia inginkan sekarang? Baru gue menyadari posisi kami yang terlalu intim, bahkan kini gue telah duduk di pangkuannya sambil menutup hidung dan mulutnya dengan tangan gue. Spontan tangan Pibi memegang pinggang gue erat~erat. Bisa membayangkan? Kami terlihat semacam couple in action! Sontak gue melompat. Dan nyaris jatuh kalau tak dipegang lengan Pibi. "Lo godain gue lagi?" tanyanya sinis. "Narsis! Udah gue bilang gue normalllll!" bantah gue. Gue meniup poni untuk menutupi grogi gue. Lagi~lagi Pibi melihat gue dengan tatapan mupengnya. Apaan, sih? Mengapa gue menjadi jengah?! "Mana pisau cukur lo?" tanya gue untuk menutupi suasana canggung diantara kami. Si Jutek menunjukkan tempatnya. Untung gue sering mengamati ketika Pibi mencukur jenggotnya, jadi gue lumayan tahu caranya. Gue mengoleskankrim cukur ke dagu dan bawah hidungnya, lalu gue mencukur kumis dan jenggot Pibi dengan teliti. Selama gue melakukannya, mata Pibi mengikuti gerakan gue dengan intens. Mungkin dia tak mempercayai kemampuan gue. Wih, rapi juga kerjaan gue. Bersih kok. Terakhir, gue memberi cairan penyegar di wajah Pibi. Sekarang dia terlihat segar dan rapi. Dan seksi dengan bekas cukuran yang samar kehijauan. Mirip bule saja. Eh, memang dia memiliki darah blasteran. Gue tersenyum puas melihat hasil kerjaan gue. "Gue perhatiin lo gak pernah cukur, tapi kok gak ada jenggot dan kumis yang tumbuh di wajah lo?" Jleb! Pertanyaan Pibi membuat kewaspadaan gue naik seratus persen. "Ehmm, gue cukur kok. Tapi jarang. Secara kan gue termasuk cowok yang berbulu halus dan jarang." Gue menunjukkan bulu~bulu di tangan gue untuk memperkuat argumentasi gue . "Tapi gue gak pernah lihat lo cukur," tegas Pibi. "Gue cukurnya di kamar mandi." Noted, next gue musti action bercukur didepan si Jutek ini! Pibi menatap gue misterius. Jangan lengah Bianca. Next lo mesti lebih hati~ hati. Tunjukkan lo laki~laki! *** Sore hari ini gue lagi jenuh di kamar. Kegiatan belajar sudah selesai gue lakukan. Apa yang akan gue lakukan? Gue mengamati Pibi yang sedang bobok ganteng. Idih, dia sangat hobi tidur! Gue pun berjingkat~jingkat keluar kamar. Di kebun belakang, gue bertemu dengan Ahlun. Dia asyik menyamil manisan mangga sambil duduk di bangku kayu panjang. "Bagi dong. Thankyou, Lun." Tanpa menunggu persetujuan si Culun, gue mencomot manisan mangga dari tepak di pangkuannya. "Itu namanya ngerampok,bukan minta,"gerutu si Culun, tapi sambil tersenyum geli. "Bagiin dong bubuk cabenya." Lagi~lagi gue menyocol potongan mangga itu ke bubuk cabe yang dipegang Ahlun tanpa permisi, lantas menelannya. Hm, segarnya. Ahlun cuma geleng~geleng kepala melihat kelakuan gue. "Mana majikan lo?" tanya Ahlun tiba~tiba. "Bobok ganteng." "Pantes lo bisa berkeliaran. Kenapa lo enggak buruan balik? Ntar dia bangun tidur pasti cari jongosnya tuh." "Ngusir ye? Takut gue abisin manisan mangga lo?" sindir gue. Ahlun tertawa kecil. "Lo lucu. Lo unik Boy. Mungkin gegara itu si Pibi nyaman ama elo. Gue lihat dia gak ngebully lo sesadis jongosnya yang lain." "Masaaah?" Mata gue membola. Apa iya Pibi memperlakukan gue berbeda dari yang lain? k*****t! Si Culun membuat gue kegeeran nih. "Kockie. My sweet Kockie," panggil seseorang ceria. Huh, siapa lagi kalau bukan Johny. Bisa saja dia mengendus keberadaan gue, terutama ketika tak ada Pibi di samping gue! Eh, ada si Aji, si rambut ombre. Dan si rambut jabrik Ismael. Mereka adalah Trio kwek~kwek yang menyebalkan! "Lo masih idup?" sindir gue kejam. "Masih, Sayang. Gue hidup hari demi hari demi elo," gombal Johny. Jayus amat. "Gue bernapas juga demi elo, Kockie," tiru Aji. "Gue makan, gue kentut, juga demi lo Kockie," ucap Mael yang menirunya hancur~hancuran! "Plagiat!! Plagiat!! Lo orang gak kreatif amat, sih!" omel Johny sambil menjitak kepala dua sohibnya. Gue tertawa cekikikan mendengar celotehan mereka. Kadang mereka lucu dan konyol. Lumayan menghibur hati. "Kockie tawa lo indah banget. Kalau bisa pengin gue bungkus dan gue simpan di hati gue," racau Johny sok romantis. "Ngegombal gak usah alay, Bung! Kebanyakan makan gombal, kali." "Ih, betulan Kockie. Itu isi hati gue yang sebenarnya. Andai aja elo bukan pacar si Pibi.." "APAAA!!" Terdengar suara menggelegar memotong ucapan si Johny. Mampus!! Pibi melotot didepan gue sambil berkacak pinggang. "Lo ngaku~ngaku jadi pacar gue?!" tudingnya ke gue. Tuhan, tolong gue. Terbangkan gue ke Kutub Utara! Gue harus menjawab apa? Lima pasang mata menunggu jawaban gue. Keringat dingin mulai keluar membanjiri peluh gue. "Pibi, gue jelasin di kamar ya. Please," ucap gue memohon. "Gak perlu!! Lo jangan berani dekat~dekat gue kalau lo gak mau cari perkara! Gue jijik ama cowok kayak lo!" Pibi meraup bubuk cabe yang dipegang Ahlun dan menaburkan di kepala gue! Pibi mendecih sinis dan meninggalkan gue dalam kenestapaan. Rasanya sakit, entah sakit dimana. Air mata gue meleleh, entah karena pedasnya bubuk cabe itu atau yang lain. "Tabah ya, Boy. Abis ini lo pasti di bully abis~abisin. Gue cuma bisa bantu doa, moga lo bertahan dalam penderitaan lo." Ucapan menghibur Ahlun malah bikin gue nelangsa. Dia berniat menghibur atau menakut~nakuti, sih? Masa Pibi sekejam itu? Tapi dia...Pibi. Pshyco Boy! Apakah setelah ini gue akan mengerti kenapa dia menyandang nama itu?? Mama, tolong gue... Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN