BAB 2 Ignored

1224 Kata
"Ayah, Ibu" Ayah dan Ibu menjawabku dengan gumaman tanpa menoleh sedikit pun. Mereka tetap melahap sarapan dengan semangat. "A.. anu.. bisakah salah satu dari kalian datang ke sekolahku pagi ini?”, tanyaku. Ibu menatapku dengan tatapan seolah berkata 'apa yang kau perbuat'. Aku berdeham mengurangi rasa gugupku. Aku merogoh surat pemberian Bu Imelda dari dalam tas ransel dan memberikannya kepada Ibu. Lalu dengan cepat ibu membuka dan membaca surat tersebut. Ayah menatap Ibu dengan tanda tanya. Ibu menghela nafas jengah dan memberikan surat itu kepada Ayah. "Apa semua siswa mendapat surat itu?”, tanya Ibu ketus. "Ku rasa tidak”, jawabku pelan. "Lalu kenapa kau bisa sampai mendapatkan surat pemanggilan ini, Azzura? Jangan mempermalukan kami di depan semua orang”, gertak Ayah. Aku mengepalkan tangan dibalik meja untuk mengurangi rasa takut. "Aku.. aku tidak bermaksud begitu, Ayah. Sungguh. Hanya saja aku..." "Hanya saja kau terlalu bodoh untuk meningkatkan prestasimu”, potong Kak Adera. "Kakak kok bicara seperti itu?”, lirihku. Kak Adera hanya mengangkat bahunya cuek dan melemparkan surat tersebut ke tengah meja. "Lalu? Kau mau Ayah dan Ibu lakukan apa?”, geram Ayah. "Ti.. tidak bisakah salah satu di antara kalian da.. datang ke sekolahku, sebentar saja Yah, Bu.. aku yakin Bu Imelda akan menger.." "Ayah tidak bisa, ada penerbangan ke Singapura pagi ini dan akan stay di sana 4 hari”, potong Ayah. "Ibu juga tidak bisa, Ibu harus mendampingi kakakmu ke asrama barunya hari ini”, lanjut Ibu. "Bi Asti!", panggil Ibu. Bibi Asti yang tengah mencuci piring di belakang berjalan menghampiri kami. "Iya Nyonya, ada yang bisa saya bantu?”, tanyanya. "Tolong Bibi bersiap sekarang, dan ikut Azzura ke sekolahnya memenuhi panggilan gurunya. Kami sibuk, katakan saja kau akan menyampaikan kepada kami”, perintah Ibu. Bi Asti memandangku dengan sedikit terkejut. Aku menundukkan kepala. "Baik, Nyonya. Saya permisi untuk bersiap”, jawab Bi Asti "Dan Azzura. Ayah harap ini panggilan pertama dan terakhir. Jangan meribetkan kami dengan urusan tidak penting seperti ini", tegas Ayah. Aku mengangguk pelan. Tidak penting. Ulangku dalam hati. "Ya sudah, ayo Dera. Nanti kau terlambat, sayang”, ajak Ibu. Sayang. Aku berusaha mengingat kapan terakhir kali Ibu dan Ayah berbicara dengan lembut seperti itu terhadapku. "Ayo, Bu”, jawab Kak Adera. "Ayah juga berangkat ya, Ayah tidak mau ketinggalan pesawat”, saut Ayah seraya mengecup kening Ibu. Dan secepat itu pula ruang makan kembali hening. Tidak ada satu pun yang berbicara kepadaku. Mereka meninggalkanku begitu saja. Aku melipat kedua tanganku di atas meja makan dan menumpukan kepalaku di atasnya. Mengeluarkan air mata yang sejak tadi tertahan. Tiba-tiba aku merasa sebuah tangan yang membelai rambut berantakanku dengan lembut. "Nona Zura, sudah ya jangan menangis. Mungkin Tuan dan Nyonya memang benar-benar sibuk. Biar bibi yang menemui Bu guru ya, sayang?" Tangisku semakin pecah. Hanya Bi Asti yang selalu berkata lembut dan sayang kepadaku. Kenapa keluargaku tidak pernah melakukan hal itu kepadaku? Bibi menarikku ke dalam dekapannya. Nyaman. Pasti akan lebih nyaman jika Ibu yang memelukku seperti ini. Ibu.. aku ingin Ibu.. Aku mengurai pelukan Bi Asti setelah tangisku reda. "Ayo berangkat, Bi" Rasanya seperti deja vu. Selama bertahun-tahun Bi Asti lah yang mengambil rapor sekolahku. Ia sudah seperti wali bagiku di sekolah. Ayah dan Ibu tidak pernah menyempatkan mengambil raporku karena mereka lebih memilih mengambil rapor Kak Dera yang letak sekolahnya jauh dari sekolahku. Dan setelahnya, mereka mengajak Kak Dera bertamasya, memberinya hadiah, dan kembali ke rumah dengan raut wajah penuh kebanggaan. Ah sudahlah, aku sudah lelah untuk berpikir. *** Terdengar Bu Imelda menghela nafasnya menahan rasa kesal karena Ayah dan Ibu tidak memenuhi panggilan sekolah. "Boleh saya tau ke mana orang tua kandung Azzura, Bu Asti?", tanyanya ke Bi Asti. "Tuan dan Nyonya sedang sibuk, Bu Imelda. Jadwal mereka begitu padat sehingga tidak bisa datang memenuhi panggilan sekolah yang cukup mendadak. Jika Ibu Imelda tidak keberatan, Ibu bisa memberitahukan kepada saya permasalahan yang dialami Nona Azzura. Nanti saya akan menyampaikan kepada orang tua Nona Azzura”, jawab Bi Asti dengan tenang dan tegas. Semua orang pasti tidak akan menyangka kalau Bi Asti adalah seorang asisten rumah tangga jika mendengar jawaban cerdas yang dilontarkannya untuk Bu Imelda. Dan tentu saja, hanya Bi Asti yang memahami perkembanganku di sekolah. "Baiklah, Bu Asti. Ini adalah laporan indeks prestasi siswa. Indeks prestasi siswa itu adalah.." "Saya paham apa itu indeks prestasi siswa, Bu”, sela Bi Asti. "Baik, bisa Anda lihat grafik prestasi belajar Azzura tidak pernah naik sedikit pun. Ia selalu berada di peringkat terendah. Ini tidak bisa dibiarkan begitu saja, apakah orang tua Azzura tidak bisa menyewa guru privat untuk Azzura? Saya tau mereka adalah orang-orang yang sangat sibuk. Tapi sesibuk apa pun orang tua harusnya bisa memberikan perhatian terhadap prestasi belajar anaknya”, jelas Bu Imelda. "Nona Azzura adalah gadis yang cerdas. Ia tidak bodoh seperti yang Anda bilang. Ia hanya butuh jam belajar ekstra dan dibantu oleh tutor yang bisa mengajarkan Nona Azzura dengan baik. Bukan dengan ucapan sinis yang membuat semangat belajarnya tidak ada" Oh Tuhan, kau benar-benar mengirimkan penolong untukku. Ku lihat Bu Imelda menyipitkan matanya tak terima. "Maksud Anda, kami yang tidak becus sebagai pengajar dan tidak berhasil meningkatkan prestasi Azzura? Jika itu yang ingin Anda katakan, maka harusnya semua siswa akan mengalami hal yang sama dengan Azzura. Saya cukup terkesan dengan kepintaran Anda mengingat Anda adalah seorang asisten rumah tangga. Tapi, dalam hal ini Azzura-lah yang bermasalah. Mungkin Anda bisa mengatakan pada orang tuanya untuk berkonsultasi dengan psikolog mengenai kemampuan belajar Azzura secara psikologis" Rasanya aku tak kuat lagi mendengarnya. Aku? Bermasalah? Kuatkan aku, Tuhan. Jangan biarkan air mata ini keluar sekarang. "Terima kasih atas pujian Anda terhadap saya. Tapi Nona Azzura tidak membutuhkan psikiater mana pun. Ia tidak bermasalah. Anda pasti lebih paham dari saya bahwa setiap otak anak berkembang dengan cara yang berbeda-beda. Saya akan pastikan Nona Azzura akan meningkatkan prestasinya di tahun terakhir ini”, balas Bi Asti. "Saya menunggu perkembangan baik itu, ingat. Tahun ini ia akan masuk universitas, jika prestasinya masih tetap seperti ini maka saya tidak bisa menjamin Azzura bisa melanjutkan sekolah di universitas bagus" "Baik, terima kasih. Kami permisi. Selamat pagi" Bi Asti menarik tanganku untuk keluar dari ruangan Bu Imelda. Aku tau ke mana arahnya. Toilet. Sesampainya di toilet, Bi Asti menutup pintu dan menatapku dengan sedih. "Menangislah, Non. Jangan ditahan”, lirihnya. Pecah sudah bendungan yang kujaga sejak tadi. "Aku takut Ayah dan Ibu akan marah, Bi",isakku. "Tenanglah, Non. Bibi yakin Nona Azzura bisa meningkatkan nilai-nilai nona" "Tapi bagaimana caranya? Aku sudah berusaha sekuat tenaga belajar tapi hasilnya nihil, Bi",elakku. Bi Asti menggeleng. "Tidak. Pasti ada jalan untuk nona bisa mendapatkan nilai bagus. Bibi yakin. Sangat yakin" Aku jadi sanksi mendengar ucapan Bi Asti. "Bibi jangan terlalu memberiku harapan seperti ini. Aku tidak mau semakin hancur jika aku gagal nanti”, rengekku "Tidak Nona, bibi yakin nona pasti bisa. Bibi akan membantu nona Azzura. Bibi akan bilang pada Tuan dan Nyonya bahwa panggilan hari ini hanya bersifat mengingatkan bahwa tahun ini siswa akan masuk universitas, jadi nona jangan takut dimarahi Tuan dan Nyonya ya?" Aku terperangah mendengar penuturan Bi Asti. Benarkah ia seorang asisten rumah tangga biasa? Akhirnya aku mengangguk lemah. Ia tersenyum. "Nah.. begitu dong, sudah.. sekarang nona masuk kelas. Bibi akan menjemput nona sepulang sekolah dan mengajak nona ke suatu tempat"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN