Keesokan paginya, aku menemukan Adrian sudah siap di meja makan. Dia masih meminum kopinya sambil menungguku siap. Ayah dan ibu tidak ada di meja, pasti sudah di beranda sambil menikmati minuman mereka dan menungguku pamitan ke sekolah seperti biasa.
“Tidak perlu diantar. Nanti repot.” Aku membuka percakapan dan berusaha untuk tidak diantar ke sekolah.
“Kenapa? Kamu malu kalau kalau saya antar?” tanya Adrian dengan kalem sambil memandangku dengan penuh selidik.
“Yang malu bukan aku. Tetapi kamu. Yang notabene seorang yang kaya dan berpengaruh akan jalan dengan orang yang notabene bukan siapa-siapa.” Aku menantangnya, karena anggapannya dahulu masih sangat membekas.
“Aku tidak ada masalah. Ayah yang menyuruhku untuk lebih dekat denganmu. Salah satu jalannya adalah dengan mengantarmu ke sekolah. Itu tidak sulit, sekarang aku lagi senggang.”
“Kenapa aku mesti harus dekat denganmu. Bukannya pandanganmu terhadapku begitu hina. Kenapa mesti dekat? Aku rasa tidak ada gunanya.” Aku menimpalinya dengan memakan sarapanku tanpa memandangnya. “Aku rasa pandanganmu terhadapku belum berubah? Jadi kenapa mesti harus dipaksakan kita harus dekat. Aku rasa kita cukup dengan hanya akur saat ada ayah dan ibu saja.”
“Kenapa kamu sangat enggan aku antar?” pertanyaan dengan nada menuduh terlontar dari Adrian dengan ketus.
“Bukankah sudah jelas. Kau tidak menyukaiku jadi untuk apa dibuat seakan kita ini dekat. Tidak perlu menambah beban dipundak untuk dapat dekat denganku. Tidak penting.”
“Kau memiliki kekasih dan kau sembunyikan dengan kami?”
Lontaran pertanyaan menuduh dan tidak menanggapi jawabanku yang menurutku masuk akal dimana dia tidak menyukaiku, membuat aku mengangkat kepala dan memandangnya dengan heran. Kenapa orang ini? Apakah perintah ayahnya sangat penting sehingga harus bersusah payah melaksanakannya. Dia bisa saja membuat alasan, mengingat ia baru saja datang semalam. Atau ada maksud tersembunyi darinya.
“Seandainya aku punya kekasihpun itu bukan urusanmu. Selama aku tidak mempermalukan keluarga ini.” Aku menjawab tanpa memandangnya dan berusaha secepat mungkin menghabiskan sarapanku.
“Aku antar. Biar ayah dan ibu tidak khawatir apakah kita sudah berdamai atau belum.”
Aku tidak menjawab ultimatumnya. Percuma saja berdebat jika hasilnya tetap sama. Alasan yang kubuat dianggap angin lalu. Atau mungkin juga ada hal lain yang perlu dia selidiki tentang diriku ini di sekolah.
Setelah aku selesai sarapan dan mengambil tas sekolah, aku keluar untuk pamitan kepada ayah dan ibu. Kak Adrian mengekor dibelakang dengan membawa kunci mobilnya.
“Ayah, Ibu. Vio berangkat dulu.” Aku mengambil tangan mereka untuk mencium tangan masing-masing.
“Iya. Hati-hati di jalan.” Jawab ayah yang mewakili mereka berdua.
Kak Adrian sudah menunggu di samping mobilnya, aku berjalan mendekat dan membuka pintu belakang mobil.
“Mau nagapain kamu?” kata Adrian dengan heran.
“Masuk ke mobi.” jawabku polos, tanpa memirikan apa dampak dari perbuatanku.
“Memang aku sopir, duduk di depan.” Kata Adrian sewot.
“Kalau aku duduk di depan nanti kakak malu dilihatin orang.” Aku beralasan.
"Aku atau kamu yang malu duduk di depan? aku tidak banyak kenal dengan orang-orang disini mengapa aku harus malu?"
"Kali saja, kakak malu antar aku."
“Duduk di depan.” Kak Adrian sedikit membentak dan masuk ke mobil memutuskan perdebatan dan tidak mau di bantah.
Dengan wajah pasah, aku membuka pintu depan mobil dan masuk untuk duduk di sampingnya. Aku akhirnya menurut untuk diantar dengan Kak Adrian agar ayah dan ibu percaya bahwa kami baik-baik saja.
Aku akhirnya berangkat ke sekolah dengan di antar menggunakan mobilnya, setelah perdebatan yang membuat ayah dan ibu tersenyum geli karena perdebatan kami.
__*__
Perjalanan kami lalui dengan sepi, karena jarak antara rumah dengan sekolah tidak jauh. Sepuluh menit kemudian sudah sampai di sekolah. Kak Adrian menghentikan mobil di dekat pintu gerbang sekolah. Aku membuka pintu mobil dan langsung berjalan keluar untuk masuk ke lokasi sekolah dan akan segera berlalu, saat ada suara di belakangku memanggil.
“Vio...”
“Hai, Nang. Ada apa?” aku berbalik dan melihat Nanang berjalan mendekat ke arahku.
“Diantar siapa?” dia bertanya setelah sampai di sebelahku.
“Oh...Kak Adrian.” Jawabku sambil menunggu penjelasannya lagi.
Melihat aku yang menunggu dan tidak bergerak, Nanang memasang senyum grogi membuka tasnya dan mengeluarkan buku cetak yang kemarin ingin aku pinjam.
“Ini buku yang mau kamu pinjam.”
“Oh...makasih banyak. Ga apa-apa kalau aku copy?” kataku sambil mengambil buku tersebut dari tangannya.
“Tidak apa-apa.” Sebelum Nanang berbicara lebih lanjut tanpa aku sadari Kak Adrian sudah keluar dari mobil dan mendekat ke arahku.
“Ada apa Vi?” aku kaget mendengar suaranya yang dekat dengan telingaku. Dan spontan berbalik untuk melihat raut wajahnya yang tidak terlalu ramah.
“Tidak apa-apa kak. Vio hanya pinjam buku teman.” Jawabku sekenanya.
“Kamu tidak punya bukunya?” dia menaikan alisnya lagi.
“Tidak beli, bukunya mahal. Ini Vio mau pinjam dan copy nanti.” Melihat dia yang akan membantah dan berdebat kembali aku cepat-cepat menyela. “ Vio masuk dulu kak. Assalamu’alaikum.”
Aku berbalik cepat-cepat dan memasuki gerbang sekolah tanpa menunggu tanggapan darinya, bahkan aku meninggalkan Nanang yang masih berdiri dekat dengan kami tadi.
Aku mendengar sambil berjalan dengan cepat Nanang pamit dengan Kak Adrian yang tidak di jawabnya. Saat sudah jauh dari gerbang yang kebetulan banyak taman yang ada di halaman sekolah membuat aku bisa tersembunyi dari luar, aku berbalik dan mengintip kearah Kak Adrian berdiri tadi. Aku berjalan menuju kelas setelah Kak Adrian berbalik dan melajukan mobilnya untuk pulang.
Violet hari itu melanjutkan kegiatannya seperti biasa di sekolah, dan melakukan aktifitas yang biasa yang sering dia jalani.
Sementara itu, Adrian yang pulang dari mengantar Violet ke sekolah memacu mobilnya ke perusahaannya. Dia memulai hari dengan sikap yang lebih dingin dari biasanya, terutama sekretarisnya yang biasa menghadapi sikapnya yang dingin sudah hafal dan tidak kaget lagi. Mengapa aura Adrian menjadi lebih dingin dibanding hari biasanya, ini menandakan bahwa dia memiliki masalah.
Sekretarisnya hanya tidak tahu masalah apa yang sedang dihadapi bosnya ini. Saat dia menjadi sekretaris ayahnya dulu, kondisi perusahaan lebih santai walaupun kemajuan perusahaan tidak terlalu signifikan. Setelah dipegang oleh Adrian kondisi perusahaan lebih efektif dan efisien, kemajuan perusahaan juga terlihat lebih pesat.
“Bu Nadya, ke ruangan saya sekarang.” Adrian memberikan perintah kepada sekretarisnya. Dia memanggil sekretarisnya dengan sebutan Ibu Nadya berbeda dengan pegawai yang lain, karena Adrian sudah mengenalnya sejak dia masih sekolah dasar dulu. Walaupun dia menjadi bawahan Adrian, tetapi dia tetap hormat selayaknya kepada orangtua. Namun untuk urusan pekerjaan, sikap itu tidak berlaku.
Nadya menyusul Adrian ke ruangannya, dengan membawa notes yang selalu menjadi andalannya dalam mencatat apa saja yang harus dia siapkan untuk bosnya ini yang sudah seperti keponakannya.
“Ada apa, Pak?”
“Kamu tahu buku cetak apa saja yang dipakai anak SMA kelas tiga sekarang?”
Mendengar penuturan bos yang aneh membuatnya mengernyit tidak paham, mengapa bosnya tiba-tiba bertanya tentang buku pelajaran anak SMA. Karena penasaran akhirnya ia bertanya.
“Untuk siapa pak?”
“Untuk adik tiri saya. Dia tidak bisa membelinya karena sudah habis.” Adrian memberi alasan yang masuk akal, agar sekretarisnya ini tidak terlalu curiga.
Adrian juga tidak tahu, mengapa dia tiba-tiba menjadi kesal dengan kejadian tadi pagi. Dia juga semalam sudah bertanya dengan ayahnya dengan memberi sedikit alasan agar dapat lebih dekat dengan adik tirinya itu, seperti apa kehidupan Violet dan berapa uang saku yang diberikan ayahnya.
Dia juga terkejut, ayahnya hanya memberikan uang saku bulanan untuk jajan saja. Ayahnya juga sudah mengatakan bahwa jika Violet butuh apa-apa untuk keperluan sekolahnya tinggal minta, tidak boleh sungkan. Selama ini, hanya uang saku itu saja yang diberikan oleh ayahnya dan tidak ada sekalipun Violet meminta lebih.
Setelah diam agak lama Adrian akhirnya bertanya kembali kepada Bu Nadya. “Ibu tahu tidak dimana bisa membelinya?”
“Kalau beli buku cetak, di toko buku yang besar saja pak. Biasanya lengkap, tinggal bapak tanya saja kepada adiknya buku cetak terbitan apa yang dipakai di sekolahnya.”
“Memang ada berapa banyak buku cetak?”
“Jaman sekarang, setiap sekolah memilih terbitan buku yang berbeda-beda, walaupun isinya tidak jauh beda. Tetapi tetap ada perbedaan dan juga sebagai pelengkap biasanya ada juga kumpulan soal-soal ujiannya.”
Adrian menganggukan kepalanya, sebenarnya dia bukan tidak tahu. Tetapi dia sedikit blank setelah ditinggal Violet yang marah kepadanya, dan juga rasa tidak sukanya kepada teman Violet yang memberikan pinjaman buku tersebut.
“Oke. Terima kasih.” Adrian memberikan seulas senyum yang berarti dia sudah memutuskan langkah apa yang harus dia lakukan. “Skadul, hari apa saja?”
Terkejut dengan topik, yang tiba-tiba berupa. Bu Nadya segera membuka notesnya dengan segera dan membacakan jadwalnya hari ini.