“Kinara!! Cepat turun!!”
Gadis yang saat ini tengah sibuk mengerjakan tugasnya yang menumpuk itu mendengus, kenapa sih hidupnya tak pernah tenang sekali saja? Apa Mama nya tidak tau kalau sekarang Kinara tengah mengerjakan tugas?
Meski dengan berat hati gadis itu keluar dari kamarnya dan melongok ke bawah dimana Mama nya berada. Papa belum pulang, hari ini lembur. Bukan hanya Papa, bahkan Kayana juga belum pulang sedari tadi pagi. “Ada apa sih, Ma? Kenapa suka banget teriak-teriak?”
“Kayana belum pulang, Mama khawatir banget sama dia.”
Kinara menyipitkan matanya, tumben sekali. Tidak biasanya Kayana pergi sampai selarut ini. “Memangnya dia nggak kasih kabar ke Mama?”
Mama Intan menggeleng, air mata sudah menggenang di pelupuknya membuat Kinara jadi tidak tega. Rasa kesalnya terhadap Mama langsung lenyap seketika saat bulir bening itu merembes keluar dan pecah di lantai. "Kayana kamu kemana sih, Nak. Kenapa nggak kabari mama dulu" ucap Mama Intan sebari terisak.
Netra Kinara melirik jam yang menempel di dinding, pukul sembilan malam dan Kayana belum pulang.
“Ma, udah jangan nangis. Biar Kinara keluar cari Kayana, Mama jangan nangis tapi.” gadis itu mendekat dan mengelus bahu Mama Intan.
“Mama khawatir, Nar. Kay nggak pernah telat pulang sampai selarut ini.”
“Nara tau, Ma.”
Kinara memeluk sang Mama, membawanya menuju sofa. Mereka berdua duduk, "Udah ya, Nara bakalan keluar cari Kayana. Mama tunggu disini, Nara janji akan bawa pulang Kay" jemari lentik milik Kinara mengusap air mata sang Mama dengan lembut.
"Cepat cari dia, Nar. Mama tunggu.."
Kinara mengangguk, setelah menenangkan Mama Intan, Kinara berpamitan untuk mencari Kayana. Tentu nya dia tidak sendiri, meski malu tapi Kinara butuh teman. Akhirnya gadis itu menuju rumah Jovan, tetangga barunya yang super ganteng, tapi menyebalkan. Mulutnya itu loh, suka sekali nyinyir.
Memencet bel, tak lama kemudian suara sendal terdengar.
Jovan berjalan keluar, dia membuka gerbang dan mendapati sosok Kinara yang berdiri di depan rumahnya. “Ngapain lo mencetin bel gue malem-malem gini?” tanya cowok itu sok ketus seperti biasa.
Kinara menahan diri untuk tidak membalas kelakuan Jovan karena dia butuh cowok itu sekarang, kalau Jovan ngambek kan yang rugi Kinara juga. “Gue mau minta tolong sama lo--"
“Gue sibuk” sela Jovan dengan seenaknya.
“Tapi ini urgent, Jo.”
“Jo??” pekik cowok itu, “Lo tau nama gue dari mana?”
“Di kasih tau Mama.” Kinara mengibaskan tangannya di depan wajah Jovan, dia tak punya waktu untuk berbasa basi sekarang. “Temenin gue ke sekolahan nya Kayana, dia belum pulang.”
Jovan menyipitkan mata, mencoba menyelidiki kebenaran dari ucapan Kinara. “Ini bukan modus lo biar bisa jalan sama gue kan?”
“Pengen banget gue sleding nih cowok" gumam Kinara, tak berani mengatakan langsung. Dia harus bisa mengambil simpati Jovan agar cowok itu mau menolongnya. "Enggak kok, gue beneran Kayana belum pulang sedari tadi pagi. Dan sekarang Mama lagi nangis dirumah soalnya anak kesayangannya belum pulang."
“Beneran??”
“Iyaaaa, Jovaaan.”
“Yaudah tunggu disini, gue ambil motor dulu.”
Syukurlah Jovan mau, meski harus dengan beradu bacot terlebih dahulu. Perasaan Nara tidak enak, biar bagaimanapun Kayana adalah kembarannya, mereka memiliki ikatan yang sangat kuat. Bahkan sangking kuatnya, ketika salah satu dari mereka berbohong maka rasa takut akan ketahuan itu bisa mereka berdua rasakan secara bersamaan.
Suara motor matic Jovan terdengar, cowok itu meluncur keluar dari garasi rumahnya. “Tutup tuh gerbang gue.” pinta Jovan seenaknya. Kinara menurut, dia menutup gerbang dengan sabar. Setelah permintaan Jovan dia kerjakan tangan cowok itu terulur untuk memberikan helm bogo ke Kinara yang langsung menerimanya. Motor matic yang di kendarai oleh Jovan membelah gelapnya malam, udara dingin menusuk tulang karena Kinara hanya memakai kaos lengan pendek.
“Lo boleh peluk gue kalo kedinginan, hanya sekedar menawarkan btw, jadi nggak usah baper.” ucap Jovan sampai di telinga Kinara, kali ini dia tak menolak lantaran sudah sangat kedinginan. Kedua lengan nya melingkari perut Jovan, dia merapatkan tubuhnya pada punggung cowok itu.
Kinara tak merasakan apapun, karena memang dia tidak menyukai Jovan. Ingat, Kinara sudah punya pacar.
“Oh ya, ngomong-ngomong tadi pagi gue ketemu sama kakak lo, siapa tuh namanya, Kayana ya?”
Kinara mengangguk, Jovan kembali melanjutkan ucapannya. “Sombong banget sih orangnya, lebih suka dorong motor padahal gue udah nawarin tumpangan, eh malah di tolak sama dia.”
“Kayana emang agak menyebalkan orangnya, sama kayak lo sih sebenernya.”
“Enak aja! Gue nggak menyebalkan. Dan kalo ada yang menyebalkan itu elo orangnya.”
“Lah, kok malah nyalahin gue??”
“Gue nggak nyalahin lo ya”
“Terus tadi—“
“Ini kemana?? gue nggak tau sekolahan nya Kayana.”
Kinara menghentikan bacotan nya, dia menatap ke arah depan, “Lampu merah belok kanan.”
“Lampu merah mah berhenti, neng. Masa gitu aja nggak tau sih.”
“Gue sebenernya pengen banget bales sikap lo yang menyebalkan itu, Jo. Tapi gue tahan karena prioritas gue saat ini adalah Kayana.”
Jovan tak menjawab, dia kembali menjalankan matic nya setelah lampu menyala hijau. Kendaraan roda dua itu berbelok kanan, dan sekolah Kayana langsung terlihat jelas. Jovan menghentikan motornya di depan pos satpam, mereka berdua turun dan menghampiri penjaga sekolah yang tampak terkantuk-kantuk di kursinya.
“Malam, Pak”
“Malam, Neng. Ada yang bisa bapak bantu?”
“Em, saya mau tanya apa di sini sedang ada kegiatan ya? Soalnya kakak saya belum pulang dari tadi pagi.”
Kinara melirik ke arah name tag penjaga sekolah itu, tertulis nama SURAYA disana. “Jam segini udah nggak ada kegiatan, Neng, anak-anak osis juga udah pulang selepas maghrib tadi”
mendengar jawaban Pak Suraya membuat bahu Kinara merosot, dimana Kayana sebenarnya berada? “Pak, saya boleh masuk nggak? Saya mau ngecek siapa tau kakak saya masih ada di dalam sana. Siapa tau dia ketiduran atau pingsan, atau apalah pokoknya, Pak."
Pak Suraya mengerutkan kening mendengar perkataan Kinara yang tidak jelas barusan. “Maaf, Neng, tidak bisa” kata Pak Suraya lagi sembari melirik ke arah Jovan. Sektika Kinara tau apa yang ada dipikiran penjaga sekolah itu. Enak saja, dia pikir Kinara itu gadis apaan yang mau macam-macam di sekolah?
“Pak, Mama saya nangis loh di rumah karena anaknya belum pulang. Bapak pasti punya anak kan? kalo anak bapak belum pulang sampai jam segini apa bapak nggak khawatir?”
“Jelas saya khawatir lah, Neng, saya bakal cari anak saya sampai ke lubang cacing sekalipun.”
“Nah, makanya. sebagai sesama orang tua seharusnya bapak mengerti perasaan mama saya. jadi tolong izinin kami masuk, bapak juga ikut masuk deh sekalian ya?”
Pak Suraya tampak menimbang sejenak, sementara Jovan yang sedari tadi hanya diam mengakui kecerdasan Kinara dalam membujuk seseorang. Dia menarik sudut bibirnya singkat, netra Jovan kembali fokus ke arah Pak Suraya yang akhirnya menyetujui.
Mereka bertiga masuk ke dalam sekolahan. Tujuan pertama pastilah kelas, suara langkah kaki mereka menggema di koridor, Kinara mengusap bahunya lantaran merasa angin menyapu kulit putihnya. “Horor banget nih sekolah kalo malem-malem.”
“Emang horor, Neng, saya sering lihat yang begituan” timpal Pak Suraya, dia bukan bermaksud menakuti, Pak Suraya hanya mengatakan yang sejujurnya.
“Begituan? Hantu maksudnya pak?”
Bukan Kinara yang menyahut melainkan Jovan, Pak suraya hanya mengangguk. “Mau saya ceritakan sedikit nggak?”
“JANGAN!”
“IYA!”
Kinara dan Jovan saling melemparkan tatapan tajam. Jovan itu tipikal manusia kepo, meski pada akhirnya dia tidak tertarik tapi setidaknya dia harus tau. Beda dengan Kinara yang sudah jelas-jelas takut dengan hal yang berbau mistis.
Pak Suraya tiba-tiba berhenti, dan menoleh sebari menyorot wajahnya menggunakan senter. Kinara yang kaget langsung bersembunyi di balik punggung Jovan sembari menjerit ketakutan. “Ah, si eneng ini ketakutan. Saya nggak jadi cerita deh” katanya, tangan Pak Suraya mengeluarkan sebuah kunci, lantas memasukan kunci tersebut ke lubang pintu.
Terdengar bunyi klik, Pak Suraya membuka pintunya dan masuk lebih dulu untuk menyalakan lampu. Kinara dan Jovan menyapukan pandangan, mencari kalau-kalau Kayana tergeletak di lantai. Tapi nihil, tidak ada Kayana disana.
"Kosongkan, Neng?"
Kinara mengangguk lesu, mereka bertiga keluar dan Pak suraya kembali mematikan saklar lampu serta mengunci pintunya, “sekarang kemana, Neng? di kelas nggak ada.”
“Perpus, pak” usulku, Pak Suraya tak menolak. dia langsung membimbing mereka berdua menuju perpus. Kinara melirik sekilas ke arah Jovan “Lo tumben diem banget dari tadi, biasanya ngebacot terus”
“Setan disini pada nggak suka kalo ada yang berisik malem-malem.”
“Eh” pekik gadis itu sedikit kaget, “Lo, bisa lihat mereka??”
Jovan hanya mengangguk singkat, “Nggak banyak orang yang bisa ngendaliin kelebihan seperti itu” sela Pak Suraya yang ternyata ikut mendengarkan pembicaraan mereka berdua. “Bapak kenal beberapa siswa yang bisa melihat ‘mereka’ dan biasanya mereka selalu bilang ke saya buat nggak dekat-dekat sama gudang atau toilet sekolah. Ada juga yang bilang jangan patroli di daerah ruang guru dan kepala sekolah.”
Jovan hendak berucap, tapi dia mengurungkan niat. Dalam hati cowok itu meneriakan kata-kata 'Jangan ikut campur urusan orang lain, biarkan saja.'
Langkah kaki mereka bertiga tiba di perpustakaan, lagi-lagi hasilnya nihil setelah di cari-cari. Kinara masih belum menyerah, dan kali ini dia mengusulkan untuk pergi ke UKS. “Kalau setelah ini nggak ada, saya udah nyerah, Neng. Mendingan cari besok aja, atau siapa tau kakak nya eneng udah nggak ada disini.”
Kinara paham, dia mengangguk saja. Sekarang sudah hampir pukul sepuluh malam. Dia berdoa semoga Papa nya sudah sampai dirumah dan bisa menemani Mama Intan yang tengah menangis sendirian dirumah.
“Biasanya kakak lo kemana setelah pulang sekolah?”
“Gue mana tau”
“Lah?”
“Gue sama Kayana beda sekolah, dan kalaupun gue sampe di rumah dia udah anteng bantuin Mama masak buat makan malam.” jawab Kinara jujur, Pak Suraya membuka pintu UKS, tak lupa menyalakan lampu.
Kinara menyusuri setiap bilik, tirai bilik tidak ada yang tertutup, mereka semua keluar dari UKS dengan penuh kekecewaan. Kayana tidak ada di sekolah, lantas dia dimana?
Pak Suraya kembali mengunci pintu, mereka memutuskan untuk kembali.
“Kalian ngapain?”
Suara lirih itu membuat tengkuk mereka bertiga jadi merinding. Bulu kuduk spontan meremang, dan entah kenapa udara jadi semakin dingin. Kinara tak sadar langsung meraih lengan Jovan, “Jo, co-coba lo cek. Di belakang ada si-siapa” bisik Kinara, dari suaranya bisa dipastikan kalau gadis itu tengah ketakutan sekarang.
“Lo merem aja.” pinta Jovan yang langsung di turuti oleh Kinara. Dadanya berdetak lebih cepat, nggak mungkin kan ada setan??
Jovan menoleh, dan dia menjerit “WAAA!!” Kinara yang tidak tau apa-apa spontan ikut menjerit nyaring. Pak Suraya menyorot senternya ke arah gadis yang berdiri dengan rambut acak-acakan dibelakangnya.
“Neng Kayana??”
“Pak Suraya?”
Kinara membuka mata, dan spontan dia menoleh saat mendengar nama kakak nya disebut. “Kay!!” pekik gadis itu, dia berlari menghambur ke pelukan kayana. “Lo dari mana aja sih?? Mama khawatir sama lo!”
Kayana melepaskan pelukannya, “Gue.., gue..”
“Kalian pelukannya nanti aja, mendingan sekarang kita keluar dulu dari sekolah ini. Horor banget” sela Jovan, Kayana menatap cowok itu tanpa ekspresi. Mereka berempat memutuskan untuk segera keluar.
Sampai di depan pos satpam Jovan merutuki kebodohannya karena membawa motor. Lantas, bagaimana dia akan membawa dua gadis ini pulang?
“Ini gimana kita pulangnya, Jo?” tanya Kinara.
Jovan menggaruk kepalanya, “Gue lagi mikir nih.” netra cowok itu menatap Kayana “Motor lo mana?”
Kayana menunjuk ke arah bengkel yang ada di seberang jalan, bengkel itu sudah tutup. “Kalian masih ada perlu apa? Kenapa nggak segera pulang?”
“Em, anu, Pak. Ini gimana caranya kita pulang bertiga gini?”
Pak Suraya menghela nafas, “Nih, bawa aja motor bapak. Besok pagi biar neng Kayana yang bawa motornya kesini, ya neng?”
Kayana hanya mengangguk lemah, dia tak punya tenaga sama sekali. Gadis itu masih blank, dia tak menyangka kalau perjalanan nya kali ini akan memakan waktu selama ini. “Lo bawa motor sendiri nggak papa kan? biar gue yang boncengin kakak lo”
Kinara mengangguk, dia menerima kunci motor Pak Suraya.
Kayana naik ke atas motor matic Jovan, tanpa permisi dia menjatuhkan kepalanya di pundak cowok itu. Kayana tak memakai helm, Jovan berdoa semoga tidak ada polisi yang akan menilang mereka. “Lo kalo ngerepotin orang emang nggak pernah tanggung-tanggung.”
“Berisik.”
(^_^)(^_^)
Sudah bisa dipastikan siapa yang paling dramatis saat mendapati Kayana menginjakan kaki dirumah. Tentu saja dia adalah Mama Intan, wanita itu langsung memeluk putrinya dengan sangat erat serta mengucapkan kata-kata yang penuh kekhawatiran.
Terbesit rasa cemburu di hati Kinara saat melihat adegan di depan matanya, tapi buru-buru dia tepis. Kinara tidak ingin menabur kebencian karena rasa iri, dia selalu bilang ke diri sendiri kalau tidak boleh iri dengan Kayana. “Mama nggak akan maafin kamu kalo kamu ngulangin hal serupa.”
“Iya, Ma..” jawab Kayana lirih.
“Kamu udah makan? Baju kamu lusuh banget, kamu pasti capek, mama buatin teh anget ya?” berbagai tawaran dilayangkan, Mama Intan menggiring Kayana masuk ke dalam rumah meninggalkan Papa Rey, Jovan dan Kinara yang masih di luar.
“Papa masuk dulu ya, makasih Jovan udah bantuin Kinara buat cari Kayana.”
“Sama-sama, Om”
Kinara hanya menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan. Bahkan Mama dan Papa nya tidak mengucapkan kata terima kasih atas jasa Kinara yang sudah membawa Kayana pulang. Ah, mungkin mereka lupa karena sibuk dengan Kayana. Tidak apa-apa, Kinara bisa paham.
Setelah Papa Rey masuk kini tinggal dua manusia yang masih ada di luar, Jovan menangkap gelagat aneh Kinara. “Cie anak tiri..” ledeknya.
“Apaan sih!” balas Kinara yang akhirnya kembali jutek, “Sana-sana, pergi lo”
“Dih, nggak tau terima kasih banget.”
“Bodo!”
“Enak ya jadi Kayana, di sayang sama tante Intan dan Om Rey—“
Kinara sudah ancang-ancang hendak melepaskan sandalnya untuk dilempar ke arah Jovan yang langsung lari terbirit-b***t. “Awas lo, Jo!!” teriak Kinara kesal.
“Good nite, Nara!!!” balas Jovan sebelum menutup gerbangnya.
Kinara memakai kembali sendalnya sebelum dia melangkah masuk ke dalam rumah.