“Pergi!!” dia terisak, menutupi wajahnya menggunakan kedua telapak tangan, semarah itukah Herrin kepadaku? “Jangan temui aku lagi!! Pergi!!” tangis gadis berambut panjang itu semakin keras membuat hatiku ngilu. Aku tidak suka melihat Herrin menjatuhkan air matanya, apalagi karena ulahku sendiri. Sungguh, aku merasa begitu bodoh sekarang.
“Herrin, aku minta maaf..”
Saat aku hendak memegang bahunya, Herrin langsung menepis tanganku. Dia menatapku dengan sorot mata yang tajam, menarik ingus, srot! “Maaf?? Hanya kata maaf saja?? Itu tidak cukup untuk mengobati rasa sakit hatiku karena ulahmu, Moon Min Jun!” dia berbicara dengan nada yang tinggi, aku terdiam tak tau harus berkata apa lagi.
“Kayana bukan siapa-siapa, dia hanya temanku, sama seperti—“
“Sepertiku?!” sela dia, menerjang ke depanku, aku spontan mundur, kaget lantaran mendapatkan serangan tiba-tiba seperti itu. “Jadi selama ini kau hanya menganggapku sebagai teman?! Begitukah?!”
Ya tuhan, aku tidak pernah tau kalau perempuan bisa seganas ini apabila tengah marah. Kalau tau begini jadinya, aku tidak akan lagi membuat manusia berjenis kelamin betina marah lantaran sangat seram. Herrin terduduk, dia kembali menangis. “Aku menyukaimu sejak dulu, berusaha untuk tidak melibatkan mu dalam setiap masalah yang aku punya karena aku tidak ingin kau merasakan apa yang aku rasakan, Min Jun. Tapi..”
Dia menghentikan ucapannya, mendongak menatapku yang berdiri di depannya, dengan mata berkaca-kaca Herrin menghujamku lewat tatapannya.
“Tapi kau malah menganggapku hanya sebagai teman, apa kau tidak sadar kalau selama ini aku menyukaimu, hah?? Aku yang membantumu mengerjakan tugas, aku yang membantumu menyusun skripsi bab satu sampai bab tiga, aku yang selalu ada disaat kau mengeluh bosan, aku yang selalu mendengarkan cerita tentang betapa menjengkelkan nya Pak Yuno ketika bimbingan, aku yang selalu berusaha menutupi tingkah malasmu didepan kedua orang tuamu, apa semua itu tidak ada artinya buatmu, Min Jun?!”
Perasaanku mulai tak enak, keringat dingin mulai bermunculan saat Herrin kembali berdiri, berjalan perlahan ke arahku, semakin lama semakin dekat. “Apa yang harus aku lakukan agar kau tau kalau aku menyukaimu, Min Jun? Ciuman? Aku akan melakukannya sekarang.” masih terus merangsek mendekat, aku menelan silva susah payah, mencoba terus melangkah mundur. Tapi sialnya, ada tembok dibelakangku. Herrin menyeringai, aku menutup mata..
“Hah.. hah..” Perlahan aku membuka mata, merasakan tubuhku dibanjiri oleh keringat. Dadaku berdebar, jantungku detaknya sudah tidak normal. Bukan karena rasa cinta melainkan karena rasa takut. “Untunglah cuma mimpi..” aku mencoba mengatur nafas, menarik nafas dalam-dalam lantas menghembuskannya perlahan. Aku menyeka keringat yang menggantung di dahi, tak sengaja indra penciumanku menangkap aroma lezat sup daging, aromanya sungguh nikmat.
"Oppa sudah bangun?”
Aku menoleh, mendapati Kayana bersandar di tembok dengan tangan yang dilipat di depan d**a, tubuhnya dibalut celemek, itu tandanya dia tengah memasak. Kayana berjalan mendekat ke arahku dan duduk di sebelahku lantas mengacak pelan rambutku, ya tuhan, melihat wajah innocent Kayana mengingatkanku pada mimpi tadi.
Rasanya begitu nyata, dan jujur saja aku takut kalau Herrin benar-benar menyukaiku dan dia cemburu saat tau aku kencan dengan Kayana semalam. Aku tidak ingin kehilangan Herrin sebagai..teman. "Kenapa tidur di luar, hm?" tanya dia dengan santai. Aku diam, memang nya dia berharap apa? Aku tidur bersama dengan dia? Mana mungkin aku melakukan itu.
"Mian, semalam aku menginap tanpa meminta izin kepadamu" ucapku tak enak, Kayana mengembangkan senyum dan mengangguk. Dia menarik lengan ku dan mengajakku masuk ke ruang makan, benar saja disana sudah banyak menu sarapan yang kelihatannya menggugah selera banget. Kayana menarik kursi untuk ku duduki, entah datang dari mana perasaan geli ini. Aku merasa jadi suami yang tengah di layani oleh istrinya.
Tak tanggung-tanggung, Kayana juga menyiapkan semangkuk sup dan semangkuk nasi untukku, lengkap dengan lauknya, lantas menuang s**u ke dalam gelas. Netraku baru menyadari kalau makanan yang terhidang bukan hanya makanan Korea, aku menatap menu-menu itu, rasanya sesuatu yang aneh merasuki pikiranku.
“Kay, apa itu?” tanyaku, berbasa-basi.
“Yang warna kuning namanya opor ayam, terus yang itu rendang daging.”
“Pork?”
“No, daging sapi.”
Aku mengangguk, “Makanan Indonesia ya?”
Gantian Kayana yang sekarang mengangguk, "Kay, udah cukup. Agak berlebihan sebenarnya" kegiatan Kayana yang tengah menciduk kuah kuning ke dalam mangkuk kecil untuk ku terhenti, dia menatapku dengan sendu membuat hatiku tak enak juga. "Oppa tidak suka aku layanin seperti ini?"
"Bukan, bukan seperti itu. Hanya saja, ini terlalu berlebihan. Aku bisa mengambil nya sendiri nanti"
"Yasudah, sekarang Oppa bisa sarapan. Hari ini ada jadwal bimbingan skripsi lagi?”
"Oh iya, soal skripsi--"
"Udah aku beresin, Oppa makanlah dulu"'
Akhirnya aku menuruti keinginan Kayana, segera menyantap masakan dia yang ternyata sangat enak, apalagi saat aku mencicipi Opor dan rendangnya, ugh, mantap sekali. Bumbunya bisa meresap dan dagingnya juga sangat empuk, kalian jangan iri ya. Kayana juga makan dengan lahap, sesekali aku menangkap dia tengah memandangiku.
Ada kupu-kupu yang berterbangan disana, entah perasaan macam apa ini. Fyi, aku belum pernah pacaran sama sekali seperti yang sudah aku bilang semalam, jadi jangan heran kalau aku tidak berpengalaman. Tak ada pembicaraan di tengah acara makan kita.
Selang beberapa menit, aku menyadari akan hal yang ganjil. Menatap Kayana yang tengah sibuk menghabiskan nasi di mangkuk kecilnya. "Kapan kau mulai mengerjakan ini semua? Bukankah semalam kau tertidur?"
Senyuman indah milik Kayana timbul, senyuman yang sedari tadi aku harapkan kemunculannya. "Rahasia, aku tidak bisa memberitahukannya ke Oppa" gadis itu berdiri lantas berjalan masuk ke dalam kamar, tak lama dia kembali dengan skripsi ku bersama nya.
"Ini" Aku menerima sodoran skripsi itu, menaruh sumpit, menghentikan kegiatan menyantap sarapan lantas sibuk mengecek isi skripsi, siapa tau ada yang salah dan aneh.
Awalnya lambat, lama-lama semakin cepat aku membuka setiap lembar yang ada, masih belum percaya kalau Kayana si gadis remaja berusia 18 tahun itu bisa menyelesaikan skripsiku dengan baik dan benar seperti ini. Hatiku melambung, perasaanku bagus kali ini, aku yakin Pak Yuno tidak akan menolak bab empat dan lima serta beliau pasti akan langsung meluluskan ku. Dan setelah itu aku akan sidang, graduate bersama Herrin dan mencari kerja bersama seperti janjiku dulu kepadanya.
Kayana menatapku dengan senyum manisnya, sekarang aku mulai terbiasa di suguhi oleh senyum manis itu, Kayana seperti seorang owner yang merasa puas akan hasil dan tanggapan customer nya. Padahal kan aku belum mengeluarkan sepatah kata apapun, masa iya dia juga bisa baca pikiran dan ekspresi seseorang?
"Aku yakin Oppa nggak bakal revisi lagi"
"Kay--"
"Berterima kasihlah, Oppa"
Aku diam sejenak, kemudian mengembangkan senyum, menatap Kayana dengan intens "Terima kasih"
(^_^)(^_^)
-Author Pov-
Herrin baru saja selesai mengurus keperluan sidangnya hari ini, mood gadis itu sedikit membaik karena urusannya tidak berbelit. Andaikan dia dipersulit saat hendak sidang sudah dipastikan gadis itu akan ngamuk-ngamuk. Mata sembab, wajah kusut, serta bibir kering membuatnya mirip seperti zombie yang paling cantik. Herrin menghentikan langkah kakinya, entah kenapa hatinya masih saja sesak saat mengingat kejadian kemarin malam.
Gadis itu menepuk pipinya, “Apa yang kau harapkan dari dia, Herrin?” gadis itu mulai bermonolog. Dia melangkahkan kaki menuju vending machine, dia butuh yang segar-segar. Otak dia tengah keruh saat ini.
Memasukan koin, tak lama terdengar bunyi kaleng yang terjatuh. Jemari Herrin meraba lantas keluar dengan sekaleng minuman soda. Membukanya, lantas meneguknya hingga sisa setengah.
“Ya, Herrinie!”
Panggilan itu membuat atensi Herrin tersita, seorang cowok ber-outer biru tengah berjalan dengan senyum mengembang ke arahnya, Herrin mendengus malas. “Aku punya kabar baik untukmu!” Min Jun merampas kaleng soda milik Herrin, meneguknya hingga habis membuat sang empu melotot, itu kan, bekas dia! Spontan Herrin memukul bahu Min Jun dengan kesal. “Kenapa kau malah merampas minumanku!”
“Eh(?)” Min Jun nyengir tanpa dosa, tapi tak lama cowok itu memegangi kedua bahu Herrin dengan erat membuat gadis bermarga Kim itu tersentak. “Lupakan soal minuman itu, Herrin. Aku punya kabar baik,..” Min Jun menyipitkan mata, menatap Herrin dengan tatapan itu. “AKU LULUS SKRIPSI!!!”
Herrin segera menepis kedua tangan Min Jun, tanpa meminta izin dia langsung memeluk cowok itu. Min Jun terdiam, masih dengan sisa senyuman di wajahnya. “Wow! Min Jun-a! Selamat, kita akan graduate barengan, yey!!” tak apa, Min Jun tidak akan marah di peluk sembarangan oleh Herrin. Dia lantas membalas pelukan itu singkat.
“Aku tau kau pasti bisa melakukannya” lanjut Herrin bersemangat.
Min Jun mengangguk, tangannya digunakan untuk mengacak rambut gadis yang ada didepannya. Tapi lagi-lagi Herrin segera menepis tangan Min Jun, entah kenapa dia tidak suka dielus kepalanya. Mungkin banyak gadis yang menyukai itu, tapi tidak dengan Herrin. “Ya, Herrin-a”
“Em?”
“Mianhae.”
“Untuk apa?”
Tiba-tiba saja Min Jun memeluk Herrin, membuat sang empu terdiam kaku di tempatnya. “Herrin-a, kita teman kan? Kita saling sayang sebagai teman bukan sebagai seorang kekasih kan? Mianhae, semalam aku pergi dengan Kayana karena dia yang mengajakku. Sama sepertimu, dia juga temanku, hanya saja sekarang rasaku pada Kayana berubah jadi cinta. Kamu tidak marah kan?”
Herrin melepaskan pelukan Min Jun, dia menatap cowok yang ada di depannya dengan tatapan tak nyaman. Mencoba tersenyum semanis mungkin, Herrin meyakinkan dirinya sendiri untuk tidak meraung-raung di depan Min Jun sekarang.
“Min Jun-a, sejak kapan kau berubah jadi pria dewasa yang mulai tertarik dengan seorang gadis?” masih dengan mempertahankan senyumnya, “Aku tidak akan marah hanya karena kau mencintai seorang gadis bernama Kayana itu, sebagai seorang teman aku akan menghargai privasimu dan selalu mendukungmu.”
Mendengar jawaban yang diberikan oleh Herrin membuat Min Jun tersenyum bahagia sekaligus lega. “Berhubung aku lagi senang, sepertinya nanti malam aku akan mengadakan pesta di atap, kalau kau tidak sibuk, datanglah.”
Herrin mengangguk, “Kalau ingat”
Min Jun berjalan pergi meninggalkan Herrin yang masih berdiri di depan Vending Machine, senyum yang tadi muncul perlahan menghilang, seperti dihujam ribuan pisau, rasanya begitu perih. Herrin terlalu munafik, dia selalu bersikap seolah baik-baik saja padahal sebenarnya dia hancur. Kedua orang tua yang berpisah, sering bertengkar satu sama lain, mental Herrin belum benar-benar sembuh.
Dan sekarang ditambah dengan hati nya yang patah karena Min Jun menyukai gadis lain disaat dia tengah mengharapkan pemuda itu. Satu-satunya alasan kenapa Herrin masih ingin bernafas saat banyak masalah keluarga yang menerjangnya adalah Moon Min Jun, tapi sekarang dia malah membuat Herrin terluka. Setelah ini, apakah gadis itu masih mampu untuk tetap bertahan di dunia yang kejam ini?
(^_^)(^_^)
"Wohooowww!!!"
"Min Jun-a, apa yang terjadi? Apa yang membuatmu terlihat se senang itu?
Pemuda itu berhenti di ruang makan saat mendapati kedua orang tuanya tengah berada di sana, dia ikut bergabung, menatap Papa dan Mama nya yang tengah menunggu dengan tatapan penuh tanda tanya. "Min Jun lulus tahap skripsi, Ma, Pa!! Sebentar lagi Min Jun akan sidang lalu wisuda!!!!"
Kedua orang tua itu saling melempar tatapan, lantas sama-sama mengembangkan senyum. Ternyata ucapan anaknya semalam sepertinya benar kalau tidak pulang lantaran lembur mengerjakan skripsi, dan pulang-pulang membawa berita bahagia seperti itu. Orang tua mana yang tidak ikut bahagia coba?? “Syukurlah, Appa sudah mengharapkanmu untuk bergabung diperusahaan.”
Senyum di wajah Min Jun luntur, “Tapi, Pa. Min Jun tidak ingin bekerja di perusahaan—“
“Min Jun—“
“Sudah, sudah, masalah ini bisa di bicarakan nanti-nanti saja. Lebih baik sekarang kau masuk kamar dan mandi ya, Jun” Mama melerai dengan penuh pengertian. Min Jun menatap Papa nya sejenak sebelum bangkit. Saat langkah kaki cowok itu sampai di anak tangga, suara Mama kembali memasuki indera pendengarannya. “Jun,”
“Iya, Ma?”
“Gimana sama Herrin?”
Min Jun menepuk jidatnya, dia lupa. Tapi,.. “Dia baik-baik aja kok, Ma. Tadi Min Jun juga udah ketemu sama dia di kampus.”
“Yasudah, Amma khawatir dia kenapa-kenapa.”
(^_^)(^_^)
Malam ini, mereka berempat mengadakan acara keluarga kecil-kecilan yang hanya didatangi oleh Amma- Appa Moon Min Jun dan juga Herrin sebagai tamunya, mereka melakukan acara bbq-an di atap rumah sembari menikmati angin malam dengan ditemani cola yang menyegarkan. Tiba-tiba saja, Min Jun teringat akan Kayana, kenapa tadi dia tidak mengundang gadis itu juga untuk datang ke acara nya ya? Duh, Min Jun lupa.
"Pa" panggil Min Jun saat Appa baru saja datang dengan botol cola besar di tangannya, pria itu duduk di kursi samping anak laki-lakinya, menunggu sang istri dan Herrin yang sedang membakar sosis. "Em, aku ingin tau bagaimana cara Appa memberitahu Amma, kalau Appa menyukai Amma" lanjut ucapan anaknya membuat sang Papa mengerutkan kening, kenapa Min Jun tiba-tiba bertanya seperti itu? Apa dia tengah menyukai seorang gadis?? Tapi siapa? Mereka tidak pernah tau kalau Min Jun tengah dekat dengan seorang gadis kecuali Herrin, atau jangan-jangan yang Min Jun maksud itu adalah Herrin, ya?
Pria berkaca mata tipis itu menerawang ke atas sebentar sembari menggosok dagunya, pura-pura mengingat, padahal dia tengah memikirkan kira-kira gadis mana yang Min Jun sukai. "Tentu saja Appa langsung bilang ke Amma kalau Appa menyukainya, dan kebetulan Amma mu juga suka sama Appa. Setelah itu kita berkencan"
"Semudah itu, Pa?"
Tangan kekar sang Appa menepuk pundak anaknya dua kali, lantas bibirnya berceletuk. "Jangan membuat sesuatu yang mudah menjadi sulit, Min Jun. Kalau bisa dilakukan dengan cara sederhana, kenapa harus memilih cara yang rumit? Hidup tidak melulu soal tantangan" mendengar petuah sang Appa membuat Min Jun terdiam, angin malam menerpa wajah tampan cowok itu.
"Kau tengah tertarik dengan seorang gadis?" pertanyaan yang baru saja di lontarkan oleh sang Papa membuat Min Jun jadi kelimpungan sendiri, dia belum terbiasa mendapatkan pertanyaan semacam ini lantaran Min Jun belum pernah pacaran dan dekat dengan gadis manapun, yah lagi-lagi kecuali dengan Herrin. Melihat wajah anaknya yang kebingungan membuat sang Papa malah terkekeh, pria itu lantas menoleh kearah sang istri. "Yeobo! Min Jun sudah dewasa, dia tengah tertarik dengan seorang gadis!"
"Appa!" peringatan Min Jun yang tak diindahkan oleh Appa nya.
Herrin yang saat ini tengah menata sosis di piring menghentikan kegiatannya, Amma yang melihat hal itu langsung berjalan mendekati Herrin. Merangkul pundak gadis itu, berempati. “Kau tidak apa-apa, Herrin?"
“Tidak apa-apa, Ahjumma"
“Kalau boleh Ahjumma tebak, kau menyukai Min Jun, benar?"
Kali ini gadis itu tak langsung menjawab, dia menghembuskan nafas lelah, lantas mengangguk. Kali ini saja, biarkan Herrin jujur akan perasaannya. Dia tak sanggup menutupi segala hal sendirian. Amma Min Jun mengelus rambut gadis cantik itu, lantas berkata.
"Ahjumma selalu ada pihak Herrin, jadi kalau kau benar-benar menyukai Min Jun, jangan menyerah ya?" setelah mengucapkan kata itu, Amma Min Jun meraih piring berisi sosis, mengajak Herrin untuk gabung bersama anak dan suaminya. "Wah, sungguh? Kenapa kau tidak mengenalkannya kepada kami?"
"Jangan percaya, Ma. Appa berbohong"
"Ah, masaa??"
Yah, begitulah kehidupan sederhana seorang Moon Min Jun, mahasiswa semester akhir yang menyerahkan tugas skripsi nya pada seorang gadis remaja bernama Kayana. Hingga tak sadar, bukan hanya skripsi saja yang diserahkan, melainkan hatinya juga, seorang Moon Min Jun jatuh cinta kepada Kayana, gadis pembuat skripsi yang misterius.