28 - KISAH DUA ALAM

1035 Kata
Malam harinya, Bhanu tengah keluar mengurus tugasnya sebagai raja, sementara Elin hanya berdua bersama Manggala saja di kamar. Entah kenapa suasana malam ini terasa lebih dingin dan sepi dari biasanya. Di sepanjang lorong ini hanya ada kamarnya saja, selebihnya adalah ruangan-ruangan pribadi yang digunakan Bhanu untuk merenung atau berlatih ilmu mandiri. Bhanu sengaja memilih tempat ini agar Elin jauh dari kerumunan yang berpotensi membuatnya tak nyaman, Bhanu telah memperkirakan semuanya. Saat ini Elin sedang menyusui anaknya, Manggala terus menghisap sumber makanannya dengan nikmat. Sesekali Elin merasa kantuk luar biasa, ia memejamkan mata sejenak lalu membukanya lagi. Diliriknya Manggala yang masih asyik menyusu, Elin tidak tega jika harus menghentikan kegiatan anaknya itu. Hari ini cukup menguras tenaga, Elin juga ingin tidur dan beristirahat setelah anaknya selesai. “Manggala cepat besar ya, nanti main sama Ibunda.” Elin mengajak ngobrol anaknya untuk menghilangkan kantuk dan suasana sunyi. Anak itu merespon dengan menarik-narik helai rambut sang ibu, Manggala cukup tampan dengan hidung yang mancung, alis tebal dan bibir tipis. Jika anak itu dewasa nanti, Elin yakin bahwa putranya menjadi primadona para gadis. Ibu satu anak itu mengusap sudut bibir anaknya yang belepotan, selama ini Elin berusaha menjadi orangtua yang baik dan tanggap, ia mempelajari bagaimana sigap dalam segala keadaan. Setengah jam berlalu, sepasang mata itu akhirnya terpejam dengan perlahan seiring dengan hembusan angin malam. Manggala tertidur dengan kenyang, ia juga melepaskan sumber ASI ibundanya. “Selamat tidur, anak gantengnya ibunda.” Kecupan hangat mendarat di dahi anak itu. Elin bangkit berdiri dari duduknya, lalu meletakkan Manggala dalam boxnya. Setelahnya wanita itu meregangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku, rasa kantuknya juga semakin datang menyerang. Namun, belum sempat Elin kembali pada ranjang, pintu kamarnya diketuk dari luar. Wanita itu menautkan keningnya bingung, siapa yang datang ke kamarnya? “Siapa?” tanya Elin dengan suara yang ia keraskan. Tidak ada jawaban, tapi ketukan masih berlanjut. Tak mungkin suaminya karena Bhanu pasti akan langsung masuk tanpa mengetuk pintu. Jika pun pelayan, mereka juga pasti bersuara. Ia dilanda kebimbangan, satu sisi ingin membuka pintu, di sisi lain ia takut jika ada orang jahat di sana. Menimbang-nimbang agak lama, sepertinya ia harus membuka pintu dan memeriksa ke sana saja daripada suara itu terus saja terdengar. Pelan-pelan langkah kaki Elin mengarah pada pintu, ia membasahi bibirnya yang kering. “Siapa di luar?” tanyanya. Lagi-lagi tak terdengar balasan. Elin memegang handel pintu, setelahnya dengan cepat membukanya. Kosong! Tidak ada siapa pun di depan pintu kamarnya. Kepala Elin menoleh ke kanan dan kiri, sepanjang lorong ini tak ada tanda-tanda keberadaan satu orang pun. Raut wajah Elin suram seketika. “Siapa yang ingin mempermainkanku?” Ia ingin berbalik badan, tapi terdengar suara yang memanggil namanya. “Nyonya Elin, tolong saya.” Suara rintihan minta tolong terdengar bersumber dari salah satu ruangan. Elin mengikuti instingnya untuk mendekat ke sumber suara, ia tidak tega saat suara itu merintih meminta pertolongan darinya. “Sakit, tolong.” Rintih permintaan tolong disusul dengan suara cambukan yang menyayat hati. Segera Elin menambah kecepatan langkahnya agar segera sampai di ruangan itu, sesampainya ia di depan salah satu pintu, Elin menempelkan telinganya di sana. “Jangan menyakitiku, aku kesakitan.” “Siapa di sana? Ada apa denganmu?” Elin bersuara, ia sedikit ragu kenapa di lorong ini ada orang lain? Bukankah tempat hukuman ada di lorong seberang sana. Perasaan Elin tidak enak, tapi kembali mengingat rintihan suara wanita yang kesakitan membuatnya tidak tega. “Nyonya Elin, datang ke sini bantu saya.” Mata Elin membelalak, orang itu benar-benar membutuhkan pertolongan. “Aku akan menolongmu, tunggu sebentar.” Elin berusaha membuka pintu tapi gagal. Ia mencobanya sekali lagi dengan sekuat tenaga mendobraknya, dan ya berhasil! Elin cepat-cepat masuk ke dalam, ruangan itu sangat gelap dan berdebu. Ia sampai terbatuk-batuk karenanya, matanya memindai di gelapnya ruangan. “Kamu ada di mana?” tanyanya. Minimnya cahaya membuat Elin kesulitan mencari sumber suara. Bunyi bedebum keras membuatnya berjengkit, pintu tadi tertutup dengan sempurna. Elin kepayahan, ia menggedor-gedor pintu tapi tidak berhasil. “Ya Tuhan, ada apa ini?” Elin merasakan hal yang tidak beres. Setelah ia masuk ke sini tidak ada suara terdengar lagi. “Permisi, kamu ada di mana?” Elin tetap berpikir positif. Kakinya terus melangkah masuk semakin dalam, ia sudah tak bisa keluar lagi. Ada sebuah tangan yang muncul dari kegelapan, menyentak bahunya hingga wanita itu terkejut. “Hah, siapa kamu?” Elin berbalik, ia juga menyentuh bahunya sendiri. Tidak ada siapa pun di belakang tubuhnya, bulu kuduk Elin mulai meremang. Sekitarnya juga berputar-putar hingga kepalanya pusing, kaki Elin yang berpijak pada dinginnya lantai pun terasa goyah. “Kamu siapa dan apa yang kamu inginkan dariku?” Elin berteriak nyaring. Sekarang ia mulai paham, ada seseorang yang sengaja mempermainkannya dan menjebaknya di sini. “Manusia rendahan tak punya harga diri, kamu tidak pantas berada di sini.” Suara asing terdengar menggema, Elin mendongak ke segala arah untuk menemukan siapa si pemilik suara, tapi matanya tak bisa menangkap apa pun. Semuanya gelap total. “Kamu adalah hama pengganggu yang pantas untuk dimusnahkan.” Lagi, suara itu terus muncul seakan membawa teror dan ancaman. Elin menutup telinganya dan menggelengkan kepalanya, ia tak mau mendengar apa pun. Setitik cahaya api muncul di sudut ruangan, Elin memfokuskan penglihatannya pada obyek. hingga lama kelamaan titik cahaya menjadi bulatan api yang membesar. Ya, api berbentuk bola itu terbang mengarah pada Elin. Seketika wanita itu syok dan kaget luar biasa, tubuhnya merinding hebat. Banaspati, masyarakat pedesaan menyebutnya seperti itu. Hantu berwujud bola api yang bisa terbang. Tak hanya itu saja, muncul lagi sosok hitam nan tinggi, rambutnya panjang hingga menyentuh lantai. Sela-sela bibirnya mencuat taring yang tajam, lalu geraman kasar mengalun. “Astaga, apa lagi itu?” Elin mengacak rambutnya dengan frustrasi, ia berlari menuju ke pintu, sayangnya masih terkunci dengan erat. “Jangan mendekat, pergi kalian.” Elin memekik mengusir dua hantu itu, tapi mereka justru semakin mendekat. Elin sudah menangis, seumur hidupnya ia tak pernah mengalami hal-hal menyudutkan sebelum mengenal sang suami. “Bhanu suamiku, tolong aku.” Bola api beserta sosok legam itu sudah berada di hadapannya, keduanya bersiap untuk menerkam Elin dengan secepat kilat. Wanita itu langsung menutup tubuhnya dengan tangan sebagai perlindungan. Teriakan Elin terdengar terakhir kali, wanita itu pun lemas merasakan rasa sakit luar biasa dalam dirinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN