Elin meregangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku, ia berjalan menuju ke ranjangnya. Pukul Sembilan malam, ia harus tidur karena besok pagi-pagi sekali harus bangun dan berkutat dengan roti-rotinya lagi.
Permintaan dari pembelinya cukup banyak, ia akan membuat persediaan roti dua kali lipat dari sebelumnya. Wanita itu menaiki kasur bersiap untuk tidur, ditariknya selimut untuk melindungi tubuhnya dari hawa dingin.
Tak lupa Elin juga mematikan lampu kamar, menggantikannya dengan lampu tidur.
Perlahan-lahan mata wanita itu tertutup seiring dengan helaan napasnya yang teratur, tapi dalam tidurnya ia berusaha untuk sigap. Elin yakin bahwa Bhanu pasti akan datang menemuinya, ada banyak hal yang ingin ia bahas.
Benar saja, tak lama setelah Elin tertidur, Bhanu muncul disela-sela remangnya ruangan itu. Ia bisa melihat sang istri yang sudah terhanyut dalam tidurnya, sama seperti sebelumnya ia juga membawa Manggala dalam gendongannya.
“Kita bertemu dengan ibundamu lagi, Putraku.” Diusapnya kening sang anak dengan penuh kasih sayang.
Tanpa disadarinya, jari-jari tangan Elin yang bersembunyi di balik selimut pun gemetar. Ia tidak benar-benar tidur dengan pulas, Elin berusaha untuk sigap dan mendengarkan sepelan apapun suara yang terdengar di kamarnya.
Deru napas Elin berbalik menjadi tak beraturan, ia mendengar suara dari suaminya—Bhanu. Jujur saja ia merindukan pria itu, ada setitik rasa untuk bangkit dan menghambur ke pelukan Bhanu, tapi Elin masih terlalu mementingkan egonya.
Suara langkah kaki Bhanu yang mendekat pada Elin pun terdengar jelas di telinga wanita itu. Semakin Bhanu mendekat, semakin pula tubuh Elin gemetaran.
Elin berusaha untuk tenang, ia harus berpura-pura terus terlelap agar mengetahui apa yang sebenarnya dilakukan oleh suaminya itu.
Bhanu melakukannya seperti malam-malam lalu, Elin juga masih terjaga, ia berusaha setenang mungkin agar tak membuat Bhanu curiga bahwa dirinya tidak sungguhan tidur.
Pria itu merapalkan kalimat-kalimat panjang lalu meniupkannya ke wajah sang istri. Meskipun begitu, Elin masih tetap tersadar dan tak terpengaruh oleh ajian milik suaminya, itu karena ketika mendapat ajian tersebut Elin dalam keadaan bangun.
“Maaf, aku tidak bermaksud melecehkanmu.” Bhanu selalu mengatakan kalimat itu ketika membuka kancing baju serta bra milik istrinya. Tujuannya hanya untuk mendapatkan ASI bagi Manggala, bukan karena ingin menyalurkan hasratnya.
Tubuh Elin meremang kala jari-jari Bhanu bersentuhan dengan kulitnya. Sebenarnya ia juga merindukan sentuhan dari suaminya, tapi apa daya.
Bhanu memposisikan Manggala agar berada dipangkuan sang ibu, setelahnya Manggala benar-benar melahap cepat sumber makanannya, hati Elin terasa berdesir, jadi seperti ini rasanya memberikan ASI secara langsung pada buah hatinya?
Selama Manggala menyusu padanya, Elin hanya terus berpura-pura seakan dirinya tetap tidak sadarkan diri. Ia juga merasakan usapan lembut pada keningnya yang berkeringat, Bhanu sigap mengelap kening Elin yang terdapat titik-titik keringat.
“Aku selalu mencintaimu dan selamanya akan seperti itu. Elin, biarkan aku berusaha untuk mendapatkanmu lagi, tolong jangan menolakku.” Bhanu berujar, tangannya terus mengusap wajah istrinya dengan sayang.
“Maaf karena berbohong mengenai jati diriku, ini ku lakukan karena terlalu cinta padamu. Tidak apa-apa jika saat ini kamu masih marah padaku, perlu kamu ketahui bahwa aku selalu ada disetiap detikmu, aku menjagamu istriku.”
Elin benar-benar tidak kuat mendengar penuturan Bhanu, pria itu sangat tulus mencintainya.
Terdengar kekehan pelan dari pria itu. “Ahh, Manggala sudah kenyang hmm?”
Elin merasakan pergerakan Bhanu yang mengambil alih Manggala dari pangkuannya, detik itu juga ia merasa kehilangan. Sejak melahirkan Manggala ia sama sekali belum pernah memangku ataupun memeluknya, Elin ingin sekali mendekap tubuh mungil itu.
Manggala menangis saat Bhanu menjauhkannya dari jangkauan Elin. Bhanu terlihat kebingungan, ia melirik pada Elin lama.
“Manggala masih rindu sama ibunda? Baiklah, kita akan di sini sebentar, sambil menjaga tidur ibundamu.” Bhanu membereskan semuanya, ia juga mengatur posisi Elin untuk kembali berbaring di ranjang.
Manggala diletakkan tepat di samping Elin yang tengah memejamkan mata, ia harap kedekatan antara ibu dan anak ini bisa membangun pertalian darah agar lebih kuat lagi.
Seutas senyuman muncul di bibir Bhanu, ia bahagia melihat kedekatan Manggala dan Elin. Sepasang mata kecil itu menatap Elin dengan antusias, Manggala merasa nyaman karena berada didekat sang ibu.
Semalaman penuh Bhanu duduk di pinggiran ranjang, menemani Elin dan Manggala yang sedang tidur pulas. Ia menatap lekat wajah ayu Elin, berharap suatu hari nanti istrinya bisa menerima ia dan Manggala dengan seutuhnya.
Hingga pagi hari menjelang, Elin mengerjapkan matanya dengan pelan. Seketika itu ia memproses kejadian semalam, wanita itu bangkit dari tidurnya dan menatap ke sekeliling.
Tidak ada siapapun di kamar selain dirinya, Elin menepuk kedua pipinya dengan pelan. Dirinya tak bermimpi semalam, Bhanu datang kepadanya, bahkan sang putra pun turut tidur tepat disampingnya.
Elin meraba ranjang sampingnya dengan cepat. “Hangat? Ya, ini berarti Bhanu dan Manggala benar-benar datang.”
Elin mengelus ranjang bekas tempat tidur anaknya, hatinya terenyuh membayangkan kejadian semalam. Ia meraba miliknya yang semakin hari terasa semakin ringan saja, tidak sesesak sebelumnya.
Tidak seperti awal dulu, kini Elin justru berharap agar bisa menyusui putranya secara langsung, tanpa harus diam-diam.
“Benar apa yang dikatakan Venda, ketika aku mencoba menerima putraku, hidupku terasa tenang. Bagaimana pun juga ia lahir dari rahimku, kami pernah berbagi nyawa dan tubuh yang sama. Manggala putraku, ibunda berjanji akan menerima dan merawatmu dengan penuh kasih sayang.” Mata hati Elin sudah terbuka, ia sudah bisa menerima keadaan sang putra yang berbeda darinya.
Hari ini Elin lebih ceria dari sebelumnya, ia juga semakin bersemangat menjajakan dagangannya. Satu persatu pembeli datang untuk memborong roti-roti miliknya, Elin bersyukur karena rotinya selalu habis terjual.
Seorang wanita berusia duapuluh enam tahunan mengintip dari celah-celah pagar, ia mengetatkan rahangnya dengan sempurna saat mengetahui roti milik Elin laku keras dibanding miliknya.
“Lancang sekali orang baru itu mengambil pembeli-pembeliku,” gumamnya dengan nada sengit.
Ya, itu adalah orang yang dimaksud Bu Endah beberapa hari lalu. Namanya Anggini, sudah sekitar enam bulan ia membuka toko roti dan tempatnya selalu sepi. Elin yang baru beberapa hari berjualan sudah laris manis membuatnya iri dengki, Anggini merasa tersaingi.
Elin tak sengaja menatap ke arah Anggini, bibirnya terulas senyuman.
“Mari mampir,” ucapnya.
Anggini sama sekali tidak membalas senyuman ramah Elin, justru bibirnya semakin tertekuk masam. Pikirnya, Elin sedang menertawakan usahanya yang sepi.
Emosi Anggini semakin meradang, buru-buru ia berjalan menghampiri Elin yang masih berkutat membereskan etalasenya.
“Hei kamu orang baru, enak yang ngerebut pembeli orang.” Anggini langsung menghardik Elin.
“Maaf, aku sama sekali tidak merebut pembeli siapapun.”
Anggini menggebrak etalase hingga berbunyi bedebum, membuat Elin terlonjak kaget.
“Halah jangan pura-pura kamu. Baru dagang berapa hari udah ramai aja pembelinya, pakai guna-guna apa, penglaris?” Anggini terus melontarkan kalimat-kalimat tak mengenakkan.
Bola mata Elin melebar dengan kaget, kenapa tiba-tiba wanita itu menuduh dirinya yang tidak-tidak?
“Mbak Anggini jangan menuduhku yang bukan-bukan, datang ke rumah orang sambil marah-marah, di mana sopan santunnya? Aku nggak pake penglaris, daganganku laris karena emang udah dikenal sama pembeli.”
“Mana ada baru dagang berapa hari udah laris, tcih!” Anggini berdecih.
“Roti Bu Sri punya mendiang ibuku, aku melanjutkan apa yang diwariskan beliau, pembeli-pembeli murni datang karena mereka udah langganan lama sama ibu. Tolong ya jangan asal menuduh, nggak baik.” Elin tidak habis pikir dengan segala tuduhan yang dilayangkan oleh Anggini.
Anggini bersedekap tangan, muak dengan segala alasan yang diucapkan oleh Elin.
“Kenapa harus berjualan di sini? Kamu tau kan kalau aku sudah lebih dulu punya toko roti, dibandingkan kamu.”
“Sudah ku katakan, aku hanya melanjutkan apa yang diwariskan oleh ibu. Mendiang ibu memintaku untuk berjualan roti, meneruskan usahanya, apa salahku? Lagipula sebelum ada roti Mbak Anggini, roti milik ibuku lebih dulu berjaya bahkan melegenda dihati pembeli-pembelinya.”
Anggini menipiskan bibirnya, wanita usia duapuluh lima tahun itu terlihat sangat kesal.
“Awas ya kamu.” Setelah berkata demikian, Anggini pun melenggang pergi dari sana.
Elin hanya melihat kepergian Anggini dengan gelengan kepala, zaman sudah canggih seperti ini masih percaya sama pesugihan?
“El, kenapa ribut-ribut?” Bu Endah melongokkan kepalanya dari gerbang rumah, ibu rumah tangga itu terlihat penasaran.
“Anggini melabrak saya, dikira saya pakai penglaris untuk berjualan.”
“Ck, Anggini emang orangnya suka iri dengki, hatinya kotor.”
Elin hanya mengangguk sebagai jawaban.
Ia tidak mau meladeni orang-orang yang berniat buruk padanya, lebih baik fokus untuk berjualan demi kelangsungan hidupnya.
Setelah membereskan etalase dan menyapu halaman, Elin masuk ke dalam rumah untuk mengistirahatkan tubuhnya. Bibirnya terulas senyuman lebar, syukur lah hari ini rotinya habis tak tersisa.
Semoga saja selalu seperti ini, ia ingin memperbesar toko roti ini hingga membuka cabang-cabang ke seluruh penjuru kota.