Setelah memastikan sekitarnya aman, malam-malam larut Bhanu akhirnya keluar dari area istana menuju ke alam manusia, ia ingin menyampaikan beberapa hal penting pada istrinya.
Bhanu langsung memasuki rumah sang istri dengan ilmunya.
Di dalam kamar, Elin harus terbangun dari tidurnya dikarenakan tangisan Manggala. Wanita itu bangkit dari ranjang lalu menenangkan sang anak dengan menimang-nimang bayi itu. Sesekali Elin juga memandangi wajah anaknya dengan sayang, semakin hari Manggala sungguh seperti bayi manusia pada normalnya.
Pintu kamar Elin sedikit terbuka, Bhanu memerhatikan istrinya yang tengah menenangkan putra mereka, Elin sangat telaten dan sifat keibuannya sangat lembut. Ini lah yang Bhanu inginkan sejak dulu, memiliki keluarga yang utuh dan harmonis.
“Permisi, El? Ada yang ingin ku katakan padamu.” Bhanu mengetuk pintu sembari memanggil istrinya.
Elin terkesiap langsung berbalik menatap pintu, ia langsung menghampiri Bhanu yang berada di ambang pintu.
Senyuman merekah dari bibirnya. “Kamu kembali?”
Bhanu mengangguk sebagai balasan, ia langsung masuk ke dalam kamar itu saat Elin membuka lebar pintunya.
“Apa Manggala menyusahkanmu? Ia memang sering terbangun di tengah malam,” ujar Bhanu.
Elin menggeleng pelan. “Nggak kok, Manggala anak baik, sudah sewajarnya bayi akan terbangun di tengah malam dan aku menikmati masa-masa ini.”
Bhanu salut mendengar jawaban Elin, istrinya ini memang bisa diandalkan.
“Ohh ya, apa yang ingin kamu katakan?” Elin duduk di pinggiran ranjang, sedangkan Manggala sudah kembali terlelap dipelukan sang ibu.
Bhanu ikut duduk di samping sang istri, matanya menatap sang anak cukup lama sebelum mengatakan tujuannya datang. Baru beberapa hari pisah dengan Manggala, rasanya Bhanu sangat merindukan darah dagingnya itu.
Elin setia menunggu suaminya untuk bercerita, nampak sekali jika Bhanu sedang tertekan oleh suatu masalah.
“Besok istana alam gaib akan mengadakan acara pergantian kepemimpinan, yang mana aku diangkat secara sah menjadi penerus kerajaan. Ketika aku menjadi raja, maka waktu ku untuk kalian semakin terbatas saja, tapi aku sedang berusaha mencari cara untuk memasukkan mu dan Manggala ke sana.” terang Bhanu.
Elin menautkan kedua alisnya bingung, Bhanu berniat membawanya dan Manggala ke sana, bagaimana mungkin?
“Bagaimana caramu untuk membawa kami ke sana?” tanya Elin.
“Aku akan berusaha semaksimal mungkin meyakinkan rakyat bahwa dirimu adalah wanita satu-satunya yang aku cintai selamanya. Mereka pasti akan menerimamu dan anak kita,” jelas Bhanu.
Elin sangsi bila rakyat akan menerima dirinya, mengingat bahwa di mata para makhluk gaib, manusia adalah makhluk yang kejam dan suka merusak alam mereka.
“Aku paham dengan keinginanmu, aku juga menginginkan kita bisa bersama lagi. Tapi aku berpikir bahwa akan sulit meyakinkan mereka, kamu sudah melanggar peraturan.” Ia tidak ingin membawa Bhanu dalam masalah, tidak apa-apa jika mereka harus mengalami hubungan jarak jauh yang terpenting adalah keselamatan Bhanu.
“Belum lagi mengenai Arya Sengkali, bukankah ia adalah saingan beratmu? Dia bisa menggunakan alasan ini untuk menggulingkan pemerintahanmu nantinya.” Elin tidak ingin egois dengan merampas hak dan kewajiban suaminya. Bukan dirinya saja yang membutuhkan pria itu, para rakyat Bhanu di sana juga membutuhkan sosok kepemimpinannya.
“Kamu tahu tentang Arya?”
“Ya, aku meminta Damar untuk menjelaskan permasalahanmu di sana.” balas Elin.
“Rupanya kalian sudah akrab.” kekeh Bhanu.
“Aku tahu kamu memiliki tugas yang sangat penting. Bukan hanya aku yang membutuhkanmu, rakyat-rakyatmu lebih butuh kehadiranmu sebagai pemimpin mereka, aku tidak ingin egois dengan menahanmu di sisiku.” Elin sudah menerima jalan takdir kisah rumah tangganya.
Ini juga bentuk pertanggung jawabannya dulu, andai saja saat itu Elin tidak meminta Bhanu untuk pergi.
“Apa ini Elin istriku? Ehem, kamu tampak lebih dewasa dibandingkan sebelumnya.” Bhanu sedikit melempar candaan pada sang istri.
Elin mencebikkan bibirnya, dari yang sudah ia alami baru-baru ini membuat wanita itu menjadi lebih dewasa dan berpikir sebab akibat dari perbuatannya.
Bhanu menangkup tangan Elin yang bebas, ia mengusapnya dengan penuh kelembutan.
“Maafkan aku karena belum bisa menjadi kepala rumah tangga yang baik, aku lebih banyak meninggalkan kalian, aku suami dan ayah yang buruk.” Bhanu menundukkan kepalanya dalam, merasa bersalah karena waktunya ia habiskan untuk mengurus kerajaan dibandingkan berkumpul bersama anak dan istrinya.
Elin meletakkan Manggala ke boxnya, setelahnya ia menghampiri Bhanu dan memeluk erat suaminya.
“Kamu adalah ayah terbaik, kamu melakukan kewajibanmu dengan baik. Tidak peduli rintangan apa ke depannya aku akan tetap bersamamu, percaya lah!” Elin memberikan anggukan mantap.
“Aku selalu berterima kasih pada Tuhan karena telah mempertemukan kita. El, aku tahu kamu pasti mencemaskan ku perihal pelanggaran aturan, tapi aku akan tetap berusaha untuk mengambil simpati rakyat. Kamu adalah istri sahku dan berhak menjadi ratuku di istana, aku tidak ingin posisi itu kosong.” Bhanu berniat memberikan Elin haknya sebagai ratu yang mendampingi masa baktinya sebagai raja.
“Dengan cara apa? Aku tak mau kamu mengambil risiko, ditambah lagi Arya yang selalu siap menusukmu.”
“Aku akan membahasnya dengan ayahanda. Masalah Arya akan menjadi tanggung jawabku, kamu yang khawatir.”
Elin hanya bisa mengiyakan saja, ia tak mau menyurutkan semangat suaminya yang telah dibangun susah payah. Bhanu melakukan hal ini juga karena demi dirinya, sudah kewajiban Elin untuk mendukung Bhanu.
Tiba-tiba saja Elin teringat dengan perlakuan Anggini padanya, masih diingatnya dengan segar bahwa wanita itu kedua kalinya melabrak dirinya bahkan sampai menghina putranya.
“Kenapa terlihat kebingungan, hm?” tanya pria itu.
Elin melepaskan tautan keduanya, ia berdiri menghadap ke arah jendela.
“Aku sudah mengetahui orang yang mengirim santet padaku, dia bahkan melabrakku hingga dua kali.” Elin mulai membuka mulut perihal Anggini.
Awalnya ia tidak berniat memberitahukan masalah ini pada suaminya, hanya saja Anggini sudah berani membawa-bawa Manggala dalam hal ini, untuk itu Elin takut jika suatu saat nanti putranya menjadi target selanjutnya.
“Siapa?!” Nada suara Bhanu terdengar tidak enak, mata pria itu berkilat-kilat merah.
“Masih tetanggaku, rumahnya ada di ujung sana.”
“Apa motifnya, kenapa dia melabrakmu dua kali?” Bhanu belum sempat menyelidiki sendiri masalah santet yang dialami istrinya, karena akhir-akhir ini ia memang disibukkan dengan urusan internal.
“Dia iri karena toko rotiku lebih laris dibandingkan miliknya. Pertama ia melabrakku, aku bersikap biasa saja dan masih menganggapnya wajar. Tapi dengan santet serta makhluk mengerikan yang menggangguku malam itu, aku semakin yakin bahwa Anggini memang berniat mencelakaiku. Lalu yang kedua, ia melabrakku lagi dan juga menghina Manggala.” Elin memelankan suaranya di akhir kalimat.
Ia tahu bahwa Bhanu akan mengamuk jika anaknya terkena hinaan oleh orang lain.
“Akan ku berikan pembalasan setimpal.” Benar saja, Bhanu mulai tersulut emosinya.
Entah dengan membinasakan, mengirimkan santet balik, ataupun membuat Anggini gila. Semua itu bisa Bhanu lakukan!
“Dia sudah tahu mengenai latar belakangku, termasuk dengan statusmu dan Manggala.”
“Ada dukun yang memberitahunya, makhluk yang mengganggumu kemarin termasuk peliharaan dukun itu. Anggini melakukan perjanjian gaib dan selamanya akan terikat oleh bangsaku, kelak ketika ia mati maka jiwanya akan menjadi budak.” jelas Bhanu.
“Aku takut jika dia kembali berbuat jahat padaku dan Manggala.”
“Aku akan mendatangi rumahnya dan memberikan pelajaran.” Bhanu bangkit berdiri dari duduknya, tapi Elin lebih dulu menghentikannya.
“Jangan, aku nggak mau kamu menyakiti orang lain. Pasang saja ajian pelindung untuk rumah ini sebagai penolak santet dan ilmu-ilmu hitam sejenisnya.” Meskipun kesal dengan Anggini tapi Elin masih memikirkan tetangganya itu, hati kecilnya masih tidak tega melihat Anggini menderita meski itu dari ulah sendiri.
Bhanu menatap Elin lama, lalu hela napas keluar dari sela-sela bibirnya.
“Kenapa, masih merasa segan?” tanya Bhanu.
Mau tak mau Elin pun mengangguk sebagai jawaban. “Aku hanya merasa kasihan padanya, demi memuaskan iri dengkinya ia sampai menggadaikan diri pada makhluk jahat itu. Jika aku membalasnya, lalu apa bedanya aku dengan dia?”
Bhanu memegang bahu Elin.
“El, setiap orang memiliki jalannya masing-masing. Anggini ingin mencelakaimu dengan perantara makhluk itu, kini giliranmu untuk membalasnya melalui aku. Kamu berbeda dengannya, kita adalah suami istri yang saling melindungi.”
Memang benar, sebaik apapun makhluk dari bangsa gaib, tetap saja ada rasa dendam pada diri mereka.
Elin tersenyum menenangkan Bhanu. “Biarkan saja ya, aku memberitahu kamu soal ini agar kamu memberikan ajian pelindung, bukan untuk balas dendam atau menyakitinya.”
“Istriku memang berhati lembut, baiklah jika ini yang kamu mau. Hanya sekali ini aku diam, untuk selanjutnya aku akan mengambil tindakan jika dia berani mengganggu kalian lagi.” Bhanu menunjuk Elin dengan jari telunjuknya, seolah memperingatkan sang istri.
“Iya, semoga saja Anggini tidak berulah lagi.” harapnya. Elin berharap agar Anggini tak mengganggunya lagi, atau Bhanu benar-benar melakukan pembalasan yang setimpal terhadapnya.