Beberapa pasang mata yang menoleh dua kali padanya, benar-benar membuat Olin tidak nyaman. Ia mengeratkan genggamanannya pada lengan Dimitri untuk mengurangi rasa gugupnya.
Olin hendak menundukan kepalanya, tapi tidak jadi ketika Dimitri menyuruhnya untuk jangan menunduk. Alhasil Olin pun hanya menatap lurus ke depan, mengabaikan orang-orang yang menatapnya.
"Dimi...tidak bisakah kita kembali ke mobil? Aku benar-benar gugup."
Dimitri menoleh, tersenyum hangat padanya sambil mengusap tangan Olin yang berada dilengannya. "Its okay. Abaikan saja orang yang membicarakanmu."
Suara pelan Dimitri itu seakan membuat Olin terhipnotis. Ia mengangguk singkat, lalu kembali melangkah menghampiri sang pemilik pesta. Dan Olin sangat terkejut ketika tahu pesta milik siapa ini. Kepalanya langsung menoleh cepat pada Dimitri. "Dimi...benarkah ini pesta ulang tahun Stella? Model terkenal itu?!"
"Iya. Memangnya kenapa?"
Olin menatap Dimitri takjub. "Bagaimana kau bisa mengenalmya?"
"Dia temanku saat sekolah menamgah. Kami sudah lama berteman."
Lagi-lagi Olin merasa takjub. Kedua matanya bahkan membelalak lucu, membuat Dimitri merasa gemas dan segera mengalihkan pandangan karena tidak tahan dengan sikap luci Olin itu.
"Dimitri apa aku boleh meminta tanda tangan Stella? Salah satu temanku mengidolakan Stella, dan ia pasti senang jika aku memberinya tanda tangan Stella."
Dimitri tersenyum hangat. "Iya, nanti aku akan meminta tanda tangan Stella sebanyak yang kau mau."
Olin tersenyum lebar, bersorak pelan untuk merayakan kebahagiaannya. Kemudian mereka pun berhenti beberapa langkah dari Stella berdiri. Perempuan itu terlihat lebih cantik dari yang sering ia lihat dimajalah. Meskipun foto yang dimajalah itu tetap cantik, tapi ketika melihat secara langsung, Olin benar-benar tidak bisa berhenti menatap Stella kagum. Ia yang sebagai perempuan saja mengakui kecantikan Stella ini.
"Stella!" Dimitri memanggil Stella, membuat perempuan itu menoleh lalu segera menghampiri Dimitri.
"Kau datang!" Stella bersorak senang. "Aku pikir kau tidak akan datang seperti waktu itu." Kemudian pandangan Stella beradu dengan Olin, perempuan itu pun tersenyum sebelum memeluk Olin singkat. "Kau pasti Olin 'kan? Dimitri sudah menceritakan banyak—"
"Stella." Dimitri memberi isyarat lewat tatapan matanya, membuat Olin merasa bingung.
"Ups! Maaf." Stella tersenyum geli lalu menggandeng Olin, mengajaknya untuk menemui keempat temannya.
"Guys, tebak aku bersama siapa?"
Beberapa teman Stella tampak bingung, mulai meneliti wajah Olin untuk mengingatnya.
"Dia Olin!" Ucap Stella karena beberapa temannya masih tampak bingung.
"Oh gadis itu? Yang bersama Dimitri?" Ucap salah satu teman Stella.
"Iya, benar sekali."
Lalu mereka berempat mulai mengobrol membicarakan hal-hal yang tidak Olin mengerti. Tentang merek tas ternama. Alat make up dan barang-barang mewah lainnya.
Olin merasa seperti berada didunia baru. Dan jujur ia sama sekali tidak nyaman. Ingin rasanya ia segera pulang agar bisa lanjut membaca n****+. Tapi tentu saja ia tidak bisa pulang begitu saja.
"Kau mau minum?" Salah satu teman Stella yang bernama Allea menawarkan minuman pada Olin.
Olin pun menerimanya, mulai meneguknya perlahan dan mengernyit saat minuman itu mengaliri tenggorokannya. Anehnya meski tidak terlalu enak, Olin justru ketagihan. Ia terus meminumnya hingga gelas ketiga.
Kepalanya sudah terasa pusing, pandangannya bahkan sudah tidak jelas. Lalu sebelum tubuhnya ambruk, seseorang lebih dulu menahan tubuhnya.
****
Dari dapur rumahnya, Olin memandangi Al yang tengah menonton diruang tamu. Sesekali anak itu akan tertawa dan ikut bernyanyi, mengiringi alunan lagu dari televisi. Olin tersenyum tipis, senang sekaligus sedih diwaktu yang bersamaan. Ia senang karena Al tidak pernah membuatnya kerepotan dan ia juga sedih ketika mengingat tentang pertanyaan Al kemarin.
Anak itu begitu ingin mengetahui siapa Ayah kandungnya, tapi Olin belum siap untuk memberitahunya. Bahkan mungkin tidak akan pernah siap. Olin tidak tahu apa yang terjadi padanya ini, tapi ketika harus mengingat masa lalu. Olin merasa sakit hati. Ia merasa marah, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Untuk itulah Olin memilih menjadi seorang pengecut dan pergi dari dia.
"Mommy?"
Olin tersadar. Ia segera menampilakan senyumannya agar Al tidak curiga padanya. "Kenapa, sayang?" Ia mendekat dan duduk disebelah Al.
"Tidak. Al hanya memanggil Mommy saja." Anak itu menyengir lebar lalu merebahkan kepalanya dipaha Olin. "Mommy Al ingin itu," tunjuk Al pada iklan pasta di televisi.
"Pasta?"
Al mengangguk. "Iya. Apa boleh Al makan itu?"
"Tentu saja boleh. Al ingin makan sekarang."
Mata Al seketika berbinar. "Yes, Mommy!"
Olin pun terkekeh. Ia memindahkan kepala Al dari pahanya ke bantal sofa, mengusapnya sejenak sebelum pergi ke dapur.
****
“Kau tidak makan siang?”
Olin yang tengah sibuk dengan laptonya langsung mengangkat pandangannya ketika mendengar pertanyaan itu. Ia tersenyum tipis sambil menatap oramg yang baru saja masuk ke ruangannya itu. “James! Kebiasaan sekali kau ini, lain kali ketuk dulu pintunya.”
James mengerdikan bahu, memilih mendekat dan duduk disofa ruangan Olin. “Aku bosnya disini, jadi terserah aku mau mengetuk atau tidak. Lagipula tidak akan ada yang marah. Hanya kau satu-satunya pegawai yang berani memarahi bosnya.”
“Itu karena kau tidak sopan.” Olin berdiri, mengambil sekaleng minuman dikulkas dan melemparnya pada James, yang langsung ditangkap oleh pria itu.
James terkekeh. “Tingkatkan lagi usahamu untuk melukaiku, Lin.”
Olin berdecih. Mendekat dan duduk di depan James. “Cepat katakan apa tujuanmu kesini?” Tanya Olin langsung, karena ia tahu jika James pasti punya alasan kenapa ia menghampiri Olin. Dan Olin yakin jika James pasti menyuruhnya untuk menggantikan tugas pria itu. Benar-benar bos yang tidak bertanggung jawab.
“Kau sudah tahu tujuanku, Lin.” James meletakan minuman miliknya diatas meja dan menatap Olin serius. “Tolong gantikan tugasku, aku harus pergi.”
Olin memutar mata malas. “Sekarang siapa lagi?”
“Seorang model. Dia sangat cantik!”
“Kau harus berhenti berkencan hanya karena mereka cantik, James. Ini bukan lagi saatnya untuk bermain-main. Kau harus memikirkan Allesia. Dia pasti menginginkan sosok ibu.”
“Iya aku mengerti. Aku juga sudah berusaha,” James menatap Olin melas. “Kau mau ‘kan menolongku?”
Olin menghela nafas panjang. “Iya! Sekarang pergilah!”
“Terima kasih, Lin. Lain kali aku akan meneraktirmu belanja.” James tersenyum lebar lalu berdiri. “Berkas merting sudah aku berikan pada Andrea. Kau bisa minta padnaya. Aku pergi dulu!”
Pria itu pun berlalu keluar demgan senyum lebar, meninggalkan Olin dengan segala rasa kesalnya. Ya Tuhan! Bagaimana bisa James menjadi atasannya?!
****
"Jadi? Apa orang kali ini yang kau bilang tampan?" Tanya Olin sambil berjalan menuju ruang meeting. Tadi Andrea sempat mengatakan jika mereka akan meeting bersama direktur utama Dinel. Corp. Orang tampan yang dimaksud Andrea itu.
“C'mon! Kenapa harus bertanya seperti itu?! Membuatnya kesal saja.” Jawab Andrea. “Aku tidak tahu apa kali ini dialah orangnya. Tapi semoga saja dia orang yang tampan itu,"
Olin tersenyum geli begitu melihat Andrea yang cemberut. Bertepatan saat itu juga mereka sampai di ruang meeting. Mereka memasuki ruang meeting dan langsung duduk di salah satu kursi, menunggu klien datang.
Tak lama setelah itu, pintu ruangan kembali terbuka, Tilla—bagian resepsionis—masuk bersama seseorang di belakangnya.
"Permisi, Mrs. Tamu kita sudah datang."
"Terima kasih, Tilla. Kau bisa kembali bekerja."
Tilla mengangguk dan melangkah pergi dari sana. Dan saat Tilla berbalik, barulah Olin bisa melihat siapa pria yang ada di belakang Tilla tadi.
Olin langsung berdiri dari duduknya dengan mata yang membelalak kaget. Tak menyangka jika ia akan bertemu dengan pria itu lagi.
"Ka—kau?"
Pria tadi juga tak jauh berbeda dengan Olin. Ia menampilkan raut wajah terkejut di campur senang.
Sementara Andrea yang berdiri diantara mereka hanya bisa memandang kedua orang itu bingung. Kenapa dengan mereka?