Ternyata apa yang dikatakan Olin berbanding terbalik dengan apa yang terjadi padanya. Testpack ditangannya menunjukan 2 garis merah. Ia kemudian melihat meja riasnya, dimana terdapat sebuah foto hitam putih yang menggambarkan perkembangan bayinya.
Olin menghela nafas—entah untuk keberapa kalinya. Ia kemudian mengambil foto itu, mengusapnya lembut.Kepalanya mulai memikirkan cara untuk memberitahu Dimitri. Tapi...haruskah ia memberitahunya?
"Hai baby, kau mendengar Mommy?" Ucap Olin sambil mengusap perutnya. "Mommy tidak akan menyalahkanmu, karena hadir disaat seperti ini," Ia tersenyum tipis. "Mommy menyayangimu, Baby. Mommy berjanji akan menjagamu sepenuh hati. Karena kau hadiah terindah bagi Mommy." Karena dengan hadirnya bayi itu, Olin tidak akan merasa sendirian lagi.
Setelah meyakinkan hatinya, Olin pun mengambil ponselnya. Dan menelpon Dimitri. Butuh beberapa detik sampai panggilan itu terjawab.
"Halo, Lin?"
Olin menelan ludahnya, mendadak gugup ketika mendengar suara Dimitri. "H-halo."
"Ada apa menelponku?"
"Um...itu...ada yang ingin aku bicarakan denganmu. Apa kau punya waktu?"
"Tentu, jam berapa kau ingin bertemu?"
Olin menatap jam dindingnya. Masih pukul 11 dan ia harus belanja terlebih dahulu. "Bagaimana jika jam 2?"
"Oke. Aku akan menunggumu di kafe Snow."
"B-baiklah."
"See you, Lin."
"Hm."
Lalu panggilan terputus. Olin menghela nafas panjang sambil memegangi dadanya, tepat ditempat jantungnya berdetak kencang. Ya Tuhan! Hanya karena mendengar suaranya saja sudah membuat Olin gugup begini. Bagaimana jadinya jika ia bertemu Dimitri nanti? Mungkin ia tidak akan bisa bicara.
****
Keranjang belanjaan yang berada di tangannya sudah terisi dengan buah-buahan, sayur, dan juga s**u ibu hamil rasa coklat. Jika biasanya ia tidak terlalu menyukai minuman rasa coklat—terlalu manis menurutnya. Tapi entah kenapa saat ini kebiasaan itu berubah, ia jadi sangat ingin meminum s**u ibu hamil yang rasa coklat. Padahal sebelumnya ia sudah membeli s**u ibu hamil rasa vanilla.
"Olin?"
Olin menoleh ketika mendengar seseorang memanggilnya. "Stella?" Ia sedikit membelalak dan dengan cepat langsung menutupi s**u ibu hamil yang akan dibelinya agar tak terlihat oleh Stella.
Stella tersenyum manis. Perempuan itu melangkah mendekat pada Olin. "Berbelanja bulanan?" Ia mencoba mengintip isi belanjaan Olin, tapi langsung ditutupi oleh Olin.
"Ah iya! Belanja bulanan." Olin tersenyum kikuk.
"Sendiri?" Stella bertanya sambil berjalan bersampingan dengan Olin.
"Iya sendiri." Demi apapun, Olin tidak pernah seakrab ini dengan seseorang seperti sekarang. Ia merasa canggung. Tapi tidak enak rasanya jika ia buru-buru pulang. Itu terkesan tidak sopan.
"Waktu di pesta, aku tidak melihatmu lagi waktu itu." Ucap Stella sambil menelusuri rak sereal. Tadinya ia ingin membeli makanan ringan, tapi tidak jadi karena bertemu dengan Olin.
"Bahkan Dimitri mencari-carimu. Kau kemana waktu itu?" Tanya Stella sambil memfokuskan perhatiannya pada Olin.
Mendengar nama Dimitri membuat Olin mengingat apa yang harus ia katakan ketika bertemu Dimitri siang nanti.
"Lin?"
"Ah ya? Ehm...waktu itu aku pulang lebih dulu," Pada akhirnya ia memilih untuk berbohong. Karena tidak mungkin ia menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada malam itu. "Stella, um...aku...harus pulang. Tidak apakan?" Tanyanya.
Stella tersenyum. Perempuan itu memeluk hangat Olin sejenak. "Senang bertemu denganmu. Ku harap kita bisa berteman," Mengobrol dengan Olin mengingatkannya pada Adiknya yang telah tiada. Itu sebabnya ia sangat nyaman jika mengobrol dengan Olin.
Olin hanya tersenyum menanggapinya. Setelah mengucapkan salam perpisahan, wanita itu berjalan ke arah kasir dan membayar belanjaannya.
****
Olin sampai di kantor sekitar 30 menit setelahnya. Wanita itu langsung berjalan memasuki kantor dan berhenti di ruang tunggu ketika matanya melihat Andrea dan Al disana.
Al yang pertama kali menyadari kehadiran Olin. Anak itu langsung melambaikan tangannya sembari tersenyum manis. "Mommy!"
Andrea dan James pun menoleh ketika mendengar Al memanggil Ibunya.
"James!” Olin mendesis marah ketika sampai disamping Al. “Kau harusnya menelponku terlebih dahulu jika menjemput Al! Jadi aku tidak khawatir.”
James terkekeh. “Aku lupa.”
“Lupa?” Olin mendengus. “Kau pasti sengaja melakukannya!” Ia kemudian menoleh kebelakang, baru sadar jika Austin mengikutinya. “Ah iya, ini Austin. Sekretaris Dinel. Corp yang meeting bersamaku tadi pagi.”
James melepar senyuman, mengulurkan tangannya pada Austin. “Senang bertemu denganmu, Mr. Austin.”
“Iya. Senang bertemu denganmu juga Mr. James.”
James terkekeh pelan. Ia menoleh pada Olin dan berdiri. “Aku harus mengantar Allesia pulang dulu. Kau ingin pulang bersamaku, Lin?” Tanga James.
“Tidak. Aku akan pulang bersama Austin saja.”
“Baiklah.” James menoleh pada Allesia yang tengah melihat buku gambar bersama Al. “Alle, ayo kita pulang.”
Allesia menoleh lalu mengangguk. "Oke, Daddy. Aku pulang dulu, Al.” Ia memasukan buku gambarnya ke dalam tas. “Bye.”
"Bye juga, Allesia."
James melemparkan senyuman sekali lagi, sebelum pergi dari sama sambil memggendong Allesia.
Olin kemudian menatap Andrea. "Andrea, apa kau tidak keberatan jika aku memintamu untuk menghandle kantor? Aku ingin mengantar Al pulang."
"Tidak apa. Pulanglah, aku bisa menangani kantor sendirian."
"Terima kasih, Andrea." Ucapnya lalu memeluk Andrea.
"Jangan memelukku!" Ucap Andrea kesal.
Olin terkekeh. "Oops! Maaf kalau kau tak menyukainya. Aku pulang ya?"
"Iya."
"Ayo Al. Mommy antar pulang."
"Siap, Mommy! Let's go!"
Anak itu berjalan lebih dulu keluar kantor, diikuti oleh Olin dan Austin di belakangnya.
****
"Kau mau minum apa?" Tanya Olin begitu sampai di rumah. Ia berjalan menuju dapur dengan Austin di belakangnya.
"Apa saja. Yang penting bisa menghilangkan haus," Austin memilih menjelajahi ruang tamu di rumah Olin. Jarak dapur dan ruang tamu yang berdekatan membuatnya mudah berbicara dengan Olin.
"Uncle?"
Austin menoleh. "Ada apa?"
"Uncle temannya Mommy?"
Meski tak mengerti arah pembicaraannya, Austin akhirnya mengangguk. "Iya...kenapa?"
Al memasang wajah datarnya. "Pokoknya Uncle tidak boleh dekat-dekat dengan, Mommy! Ingat itu," Ucap Al sebelum berlalu ke kamar.
Austin melongo ditempatnya. What the...?! Ada tadi ia baru saja diancam oleh anak kecil? Hah! Sungguh tidak disangka.
"Al mengancammu, ya?"
"Iya, dia mengancamku. Apa dia sering seperti itu jika ada yang mendekatimu?"
Olin terkekeh mendengarnya. Ia menuangkan orange jus yang diambilnya dari kulkas ke dalam gelas kemudian menjawab. "Ya seperti itulah. Dia hanya akan seperti itu jika ada pria yang mendekatiku dan menyentuhku, entah itu tanpa sengaja pun, ia akan tetap marah. Pernah satu hari, ada pria yang tanpa sengaja menyentuh tanganku, dan detik itu juga Al dengan cepat langsung melempar pria itu dengan sepatunya." Ia terkekeh mengingat hal itu.
"Wah! Aku tidak menyangka dia seposesif itu."
Olin tertawa. "Ya, begitulah Al."
"Kau hanya tinggal berdua dengan Al?" Tanya Austin berdiri di belakang Olin. Ia bersedekap dengan tubuh menyender di konter.
"Ya, aku hanya tinggal berdua saja dengan Al. Kenapa?" Olin berjalan menuju ruang tamu, di ikuti Austin di belakangnya.
Austin ikut duduk di sofa ruang tamu Olin. "Tidak apa apa. Ku pikir kau sudah memiliki suami," Austin mengambil orange jus tadi lalu meminumnya.
Olin memutar bola matanya jengah. "Kau tau, aku tidak akan pernah menikah,"
"Begitu?" Austin tersenyum jahil. "Aku pikir kau tidak mau menikah, karena tidak bisa melupakanku,"
Olin memukul Austin dengan bantal sofa. "Sialan kau!" Ucapnya sembari terkekeh.
Austin menghindar dari pukulan Olin sambil tertawa. Ia menangkup kedua tangan Olin.
"Lepaskan tanganku, Austin!"
"Tidak mau!"
Olin mendesis. "Kau akan menyesal jika Al sampai melihatnya."
"Aku tidak—"
"Mommy, apa yang Uncle Austin lakukan pada Mommy?" Al berlari menghampiri Olin. Ia langsung menatap tajam Austin yang tengah memegang tangan Olin. “Uncle lupa dengan apa yang Al ucapkan tadi?" Al melototi Austin.
Austin pura-pura berpikir. "Memang Al mengatakan apa tadi?"
"Lepaskan tangan Mommy! Sekarang!"
Austin tertawa melihat tingkah Al.
"Dia akan jadi jagoan yang hebat," Ucap Austin pada Olin sambil mengedipkan sebelah matanya.
"Yes, he is,"
Al memukul lengan Austin karena proa itu tak kunjung melepaskan tangan Olin. Ia memukul Austin habis-habisan dengan tangan kecilnya, membuat Austin mengaduh walau pukulan itu tidak sakit sama sekali. Ia pun melepaskan tangan Olin.
"Uncle tidak boleh genit dengan Mommyku,"Al memukul Austin lagi. "Mommy hanya punya Al,"
Olin tertawa melihat Austin yang mencoba menghindar dari Al. “Al, sudah. Kasihan Uncle Austin," ucap Olin tapi tidak membuat Al berhenti memukul Austin.