Diantar Pulang

1845 Kata
Kami makan di Remboelan Senayan. Begitu mobil berhenti di pakiran, otakku langsung mengkhawatirkan soal bagaimana nanti pulangnya. Masa balik ke kantor lagi ambil motor? Itu juga kalau si bos mau antar sampai kantor, malah lebih dekat ke rumahnya ini sih. Amido merangkul bahuku, membuatku tersentak kaget karena melamun. Kulihat pak Tedjo sudah berjalan di depan kami. Aku dan Amido pun mengikutinya di belakang. Kami bisa melihat pak Ikhsan dan keluarganya. Full team. Pak Ikhsan, bu Adina, bu Malika, pak Nugie (ini lebih tepatnya dipanggil ‘mas’ sih, tapi nggak berani ah) dan putri bungsu mereka yang masih SMA, Kayra. Ini sih namanya makan malam keluarga dan pak Tedjo membawa kami berdua dengan ‘peralatan perang’ yang lengkap. Aku nenteng laptop lho ini. Begitu melihat kami, bu Adina tertawa seolah penampilan kami cukup menghibur baginya saat ini. “Memang masih mau kerja? Wong dipanggil kesini buat makan bareng kok.” Selorohnya ketika pak Tedjo menyalami beliau. Aku ikut menyalami semuanya, tak terkecuali mas Nugie, yang aduh. Manis banget ih. Tapi kayaknya lebih muda dariku atau seumuran? Nggak tahu juga. Belio ini yang pegang tim finance di kantor pusat, kalau nggak salah. Semua keluarga pak Ikhsan punya peranan di Perusahaan kecuali si bungsu lah ya jelas. Bu Malika menjabat Wakil bapaknya, alias wakil Direktur. Bu Adina yang megang HRGA, katanya, belio nggak mau sembarang merekrut pegawai untuk Perusahaan. Dan mas Nugie seperti yang tadi aku bilang, belio manager Finance di pusat. Aku hampir nggak pernah berurusan dengan mas Nugie sih, yang biasa menyapaku ya anak buahnya saja. “Ini yang dipanggil Lemon di kantor?” Bu Adina menahan lenganku saat berjabat tangan, belio juga menyentuh rambut keritingku yang kini berwarna abu – abu karena warnanya telah pudar. Aku mengangguk malu – malu sambil mengiyakan pertanyaannya. “Kenapa bisa dipanggil Lemon, sih, Mon?” “Letisha Mona, Bu. Disingkat jadi Lemon.” Sontak saja semua yang ada di meja ini terkekeh, terhibur dengan jawabanku yang fakta adanya. Gadis lah yang memulai semuanya. Dia ahli mengubah nama orang sesuka hati memang. “Kreatif juga orangtua kamu buat nama anak, ya.” Bu Adina kemudian mempersilakan kami duduk. Pak Tedjo tentu saja duduk bersebelahan dengan pak Ikhsan. Anyway, keluarga pak Ikhsan memanggil si bos dengan sebutan ‘mas Tedjo’. Ihiirrr. Kalau aku rekam terus kirim vn ke Risa, dijamin dia kelojotan. Nggak ngerti kenapa Risa jadi berbalik suka pada pak Tedjo padahal belio mah sama aja ke semua budaknya. Menindas dan semena – mena. Sejak Amido menceritakan tentang bu Malika yang menanti kesempatan bos Tedjo melajang, mata usil dan kepo ini terus saja berusaha menangkap tingkah malu – malu bu Malika. Dan yes, aku bisa melihatnya. Bu Malika bahkan tidak berkedip tiap matanya terpaku pada pak Tedjo, meski belio sedang membahas pekerjaan kantor dengan Raja tertinggi di sini. Amido akrab banget dengan pak Nugie, kayak Bro gitu. Tahu – tahu mereka sudah membahas Sepakbola dan futsal kantor. Di kantor kami memang para lelakinya suka tanding futsal antar divisi. Ternyata hampir di semua cabang juga, futsal jadi olahraga favorit para karyawan laki – laki. Kalau karyawan cewek, ya nggak perlu dijelaskan lah ya. Tentu saja gibah. Lapangan futsal adalah tempat gibah favorit karena kita jadi bisa melihat semua karyawan dan mulai mereview kelakuannya satu per satu. Kurang berfaedah dan penuh dosa memang. Untung saja aku jarang ikut. Kalau pun ikut, paling karena mau makan mie ayam yang kebetulan posisinya di sebelah tempat futsal langganan mereka. “Jadi, Mas Tedjo mau angkat Letisha jadi asisten?” HAH? Gimana, gimana? Barusan adalah perkataan bu Malika yang melambaikan tangannya ke arahku. Ngomong – ngomong, aku belum makan lho ini. Begitu pelayan menghidangkan air minum, aku pun segera membasahi kerongkongan yang mendadak kering beberapa saat lalu. “Iya, Bu. Dengan bertambahnya area, Amido kewalahan kalau harus mengerjakan semuanya sendiri. Tisha punya potensi untuk membantu Amido di samping saya.” Aku yakin seratus persen kalau pak Tedjo lebih tua beberapa tahun dari bu Malika. Tapi, karena posisi beliau lah akhirnya yang membuat pak Tedjo memanggilnya dengan panggilan ‘ibu’. Eh bentar, fokus dulu dengan pekerjaanku. POTENSI? Potensi bikin dia naik darah kali ya? Bu Malika tersenyum, kedua matanya menyipit sempurna ketika belio mengarahkan wajahnya padaku. Aku hanya bisa menggaruk kepala yang sama sekali tidak gatal. Dan melemparkan senyum canggung pada semua orang yang berada di meja. “Berarti memang bagus ya kesempatan meniti karir di DU. Semoga Tisha bisa progress terus ya di bawah kepemimpinan mas Tedjo.” Semua orang mengamini perkataan bu Adina, aku kembali mengangguk canggung. Makanan datang dan aku hampir saja ingin menolak semua makanan yang terhidang, kalau saja perut karungku bisa lebih bermartabat dengan menolak makan sebab pak Tedjo menaikkan jabatanku bahkan tanpa bertanya dulu. Terlalu percaya diri sekali dirinya. Gimana coba kalau aku menolak? Eh, memang kamu bisa nolak, Tisha? Batin jahatku mengejek. Kalau saja hal ini terdengar oleh mama Teti dan aku beneran menolak. Aku bukan hanya akan kehilangan pekerjaan, tapi juga status anak. Pfftttt. Bukan, bukan karena mamaku matre. Tapi mama memang ibu – ibu template pada umumnya, yang kalau lihat anaknya nganggur tuh emosi tingkat kepresidenan. Apalagi anaknya nolak dipromosiin naik jabatan, beuh, bisa – bisa aku dirukiyah. Dikira kerasukan jin malas dan nolak gaji gede. Dilema, dilema. Yaudah lah, aku makan saja. Daripada perutku tersiksa karena gengsi. . . . Kami selesai makan malam di jam setengah sepuluh malam, dan berpisah setelah foto – foto bersama. Amido menumpang mobil pak Nugie karena ternyata belio membawa mobil sendiri. Dan saat aku hendak mencari grab mobil, pak Tedjo mendekat dan bertanya tentang bagaimana aku pulang. “Saya naik grab car saja, Pak.” Bu Adina mendekat dan bertanya hal sama, sama pula jawabanku. Dan tiba – tiba saja belio meminta pak Ikhsan mengantarkanku juga. MENGANTARKANKU? The one of his cungpret yang level tiarap ini? OH MY GOD. Ketika pak Ikhsan hendak menjawab, pak Tedjo secara otomatis menjadi hero dan berkata bahwa DIRINYA lah yang akan mengantarkanku. Dan aku mungkin akan menjatuhkan rahangku jika aku adalah karakter kartun. Tapi, nope. Aku hanya bisa menatap pak Tedjo dengan pandangan bodoh yang tidak dibuat – buat. “Oh yasudah, tolong diantar sampai rumah ya, Mas. Kasian anak gadis, biasa sudah di kasur ya jam segini.” Bu Adina meremas lenganku lembut, aku terkekeh. Belio belum tahu saja, kerja di kantor bersama Mr. Tedjo, jam segini sih dianggap masih ‘sore’. Kami pun saling berpamitan. Pak Ikhsan dan keluarga akan kembali ke Bandung dan pak Nugie berjanji akan mengantarkan Amido ke rumahnya dulu sebelum masuk tol arah Bandung. Dan pak Tedjo mempersilakanku untuk kembali menaiki mobilnya. Aku hendak membuka pintu belakang ketika pak Tedjo bersiul dan berkata nyinyir, “apakah saya tampak seperti supir kamu, Tisha?” Aku pun baru teringat kalau kami akan berkendara berdua saja. Begitu pak Tedjo duduk di balik kemudi, aku pun segera naik ke dalam mobil untuk duduk di sebelahnya. Mobil bergerak menjauh dari Senayan. Dan aku tahu, semakin jauh juga dari perumahan tempat bos Tedjo tinggal. Aku melirik takut – takut pada pak Tedjo yang menatap jalanan di hadapannya. Rahang kirinya tampak mengetat, ekspresinya ketika dia sedang fokus terhadap sesuatu. “Saya bisa naik grabcar kok, Pak. Saya turun di halte depan saja, Pak.” Pak Tedjo menoleh, ia memandangku beberapa detik kemudian kembali melihat jalanan di depan. “Nggak apa – apa.” “Ci—Alicia nanti nyariin lho, Pak.” Aku hampir menyebut anaknya dengan panggilan kesayangan rahasia ‘Cimoy’. Fiuuhhh. “Dia lagi sama mamanya.” Jawab pak Tedjo dengan suara rendah. Aku ber—ohh ria dengan suara berbisik. Suasana menjadi hening ketika kami sama – sama terdiam. Pak Tedjo tidak menyalakan musik sama sekali untuk mengusir kesuraman ini. Membuatku canggung dan akhirnya melarikan diri ke hape yang tidak ada notif kecuali grup kantor dan grup gibah kami saja. Gavin juga nggak ada chat nih malam ini. Aku memalingkan wajah kemana saja kecuali ke sosok pria yang sedang mengemudi serius di sebelah kananku. Dia juga tampaknya asyik dengan pikirannya sendiri. Mungkin menyesali keputusan mengantarku, menggantikan kesediaan pak Ikhsan akan permintaan istrinya sendiri. Padahal, ini tuh Jakarta. Taksi berlimpah dan taksol membludak. Apa yang mereka khawatirkan sih? Kadang aku tidak mengerti dengan jalan pikiran orang kaya. “Kamu pernah dengar istilah, ‘when life gives you a lemon, make a lemonade?’” Hah? Jujurly, aku nggak jago – jago amat bahasa Inggris. Apapun yang dia ucapkan, terdengar was wes wos was wes wos saja di telingaku. Jadi, aku menggeleng saja biar aman. “Kenapa, Pak?” “Nggak apa – apa. Kamu kan dipanggil Lemon.” Ya, terus hubungannya apa, Juragan? “Jadi, ada idiom gitu di bahasa Inggris. Intinya, kalau hidup lagi ringsak banget, ya coba buat se-cheerful mungkin deh. Perumpamaan lemon karena dia rasanya asam. Dan Lemonade, minuman bersoda rasa lemon yang rasanya segar banget.” Pak Tedjo menjelaskan, di akhir kalimat dia tersenyum dong. Catat ya Pemirsa, TERSENYUM! Dan aku nggak bohong bilang gini, ketampanan pak Tedjo upgrade menjadi jutaan kali lipat ketika dirinya tersenyum. Hiks. Makin menderita saja hatiku di dalam sini. Dilema antara benci tapi dia salah satu jenis manusia yang mendapatkan privilege untuk sulit dibenci. Anyway, pak Tedjo suka banget ganti kata ganti benda menjadi ‘dia’. Yang awalnya buat blunder karena aku pikir dirinya sedang membicarakan seseorang tapi ternyata yang dimaksud adalah sebuah benda. Contohnya, coba baca lagi kata – katanya di atas. “Saya nggak ngerti.” Aku bergumam kecil, tanpa melihat wajah pak Tedjo tentu saja. Tiba – tiba dia menghela napas kasar seraya mengomel pelan. “Hahh, susah ngomong sama kamu!” LHAAAA? “Kamu berapa bersaudara, Tisha?” “Empat.” “Kamu yang ke berapa?” “Kedua.” “Kakak kamu sudah nikah?” “Belum. Baru mau.” “Kamu kapan nikah?” “Nggak tahu.” “Kok nggak tahu? Nggak punya pacar?” Aku menghela napas, mencoba sabar karena yang bertanya adalah yang baru saja mempromosikan jabatanku di depan Owner Perusahaan tempatku mencari uang. “Kok menghela napas? Sulit banget ya pertanyaan saya?” Idih. Asli, kadang aku nggak ngerti dengan sosok yang Mulia Baginda Sawung Tedjo ini. Kenapa jadi sok akrab tiba – tiba setelah dia dengan seenak jidatnya mempromosikan diriku tanpa pemberitahuan sebelumnya. “Iya. Nggak punya.” Puas Anda? Lanjutannya tentu saja hanya sambat dalam hati. “Katanya, Bintang itu pacar kamu.” Aku melirik tak percaya, tapi pak Tedjo tampak santai saja mengatakan hal barusan. Jadi terkesan tukang gibah juga kan ini orang. “Kata siapa? Amido?” Dia terkekeh sebelum menjawab, “siapa lagi.” “Dasar admin lambe tuh orang. Nggak pacaran, Bintang kali demen sama saya.” Selanjutnya tak ada pembicaraan lagi sampai di rumahku. Aku mengucapkan terima kasih pada pak Tedjo sebelum turun dan balasannya adalah. “Besok tetap datang ontime ya, nggak ada alasan terlambat.” SIAL! Dia sudah membaca pikiranku. Baru saja aku melongok jam tangan dan ini jam setengah sebelas malam. Aku hanya menjawab iya dan langsung membanting pintu mobilnya dengan sengaja. Mungkin sekarang dia kesal, aku nggak peduli. Siapa suruh jadi orang nyinyir banget! •••

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN