“Hana, aku mau kita putus. Mulai sekarang kita tidak usah ketemu lagi!” Farhan baru saja memutuskan hubungannya dengan Hana–pacar yang sudah menemaninya selama sepuluh tahun terakhir. Saat ini mereka sedang bertemu di koridor rumah sakit ketika Hana mengantarkan bekal makan siang untuknya.
Bagai mendengar suara petir di siang bolong, Hana merasa heran dengan apa yang diucapkan Farhan padanya. “Putus? Kenapa? Apa alasannya, Sayang?”
“Aku mau fokus sama pendidikanku. Sebentar lagi aku mau ambil spesialis penyakit dalam, kalau sudah mulai kuliah lagi aku akan sibuk dan kita bakalan susah ketemu.” Wajah Farhan terlihat datar.
“Selama sepuluh tahun terakhir, aku selalu menemanimu, Sayang. Kamu kuliah kedokteran, koas, sampai sekarang kamu jadi dokter bedah aku selalu menemani kamu dan hubungan kita selama ini baik-baik saja. Apa aku ada kesalahan sama kamu, Sayang?” Hana berusaha membuat Farhan menatap matanya karena pria itu memalingkan pandangannya. “Kenapa kamu enggak mau menatap aku?”
“Iya. Selama ini memang hubungan kita baik-baik aja, tapi sekarang kondisinya berbeda. Aku akan jadi sangat sibuk dan kita akan jadi sulit ketemu.”
“Aku akan menunggu kamu sampai selesai pendidikan spesialis itu. Katakan berapa lama aku harus menunggu tanpa mengganggu kamu?” Hana tidak rela jika hubungannya dengan Farhan harus berakhir hanya karena pria itu harus mengambil spesialis penyakit dalam.
“Kali ini kondisinya beda, Hana. Nanti kamu bahkan enggak bisa menghubungi aku selama berminggu-minggu dan kita enggak akan bisa ketemu.” Farhan terlihat kukuh dengan keingiannya.
“Itu bukan masalah yang besar, Sayang. Aku enggak akan ganggu selama kamu ambil spesialis itu. Aku janji. Jadi, kita jangan putus, ya.” Hana tetap berusaha membujuk Farhan.
“Aku enggak mau kamu mengeluh karena kita enggak bisa ketemu atau kamu–”
“Sayang, aku janji enggak akan protes ke kamu, hm. Kita jangan putus, ya.”
Selama sepuluh tahun terakhir, Farhan adalah dunianya Hana. Dia merasakan bahagia dan sedih bersama pria itu. Orang tuanya sudah meninggal sejak dia masih kecil. Kemudian, Hana tinggal di sebuah panti asuhan dan dia bertemu dengan Farhan sejak SMA. Dengan kepintarannya Hana bisa sekolah di SMA dengan beasiswa full. Namun, dia tidak melanjutkan kuliah karena tidak ada biaya dan memilih bekerja di sebuah catering sebagai juru masak.
Sejak Farhan kuliah di Fakultas Kedokteran, Hana tidak hanya memberikan dukungan semangat, dia juga membantu biaya kuliah pria itu sampai dia harus merelakan semua gajinya untuk pria itu agar Farhan bisa lulus kuliah dan menjadi dokter karena Farhan adalah segala-galanya untuk Hana. Dia tidak mau jika sampai pria itu tidak bisa melanjutkan kuliah karena kesulitan keuangan.
“Lebih baik kita putus saja, Hana. Setelah lulus nanti kalau kita masih berjodoh kita akan ketemu lagi.”
Kata-kata yang diucapkan Farhan membuat hati Hana terasa sakit. Hubungan yang dia perjuangkan selama ini agar berujung ke pernikahan berakhir sia-sia. Tanpa disadari bulir bening mengalir di kedua matanya.
“Apa artinya aku selama sepuluh tahun terakhir ini untukmu?” tanya Hana dengan suara bergetar sambil menahan tangisnya agar tidak meledak di hadapan Farhan.
“Kamu adalah perempuan paling baik yang pernah aku kenal.”
“Percuma aku baik sama kamu kalau semua itu enggak ada artinya di matamu.” Hana menunduk. Air matanya semakin deras.
“Enggak, Hana, aku bisa melihat semua kebaikanmu itu. Terima kasih karena sudah mau mendukungku selama ini sampai sekarang, tapi maaf hubungan kita harus berakhir.” Farha mendekati Hana dan memegang bahunya. “Kamu pasti kuat meski tanpa aku di sampingmu.”
Hana merasakan sakit karena dicampakkan begitu saja oleh Farhan. Dia tidak tahu apa kesalahannya sampai pria itu memutuskan hubungan mereka. Tidak mungkin dia diputuskan hanya karena pria itu ingin mengambil pendidikan spesialis.
“Apa ada orang lain yang kamu suka selain aku?” Tiba-tiba saja terlintas dalam pikiran Hana kemungkinan itu.
“Enggak, Hana. Cuma ada kamu perempuan yang ada dalam hati aku.”
“Aku enggak mau kita putus.”
“Kita harus putus. Pulanglah. Jangan datang lagi ke sini karena hubungan kita sudah berakhir.”
“Kamu tega banget sama aku.” Hana akan memukul d**a Farhan tetap pria itu menahan tangannya. “Aku masih ada pasien.” Lalu Farhan tinggalkan Hana begitu saja di koridor itu.
Setelah kepergian Farhan, tubuh Hana luruh ke lantai. Dia ingin menangis sejadi-jadinya, tetapi dia ingat jika dia sedang berada di rumah sakit. Perempuan itu hanya bisa terisak meratapi nasibnya yang diputuskan secara tiba-tiba.
Setelah puas menangis, walaupun hatinya masih sakit, Hana bangkit. Sekuat tenaga dia bangkit lalu menegakkan tubuhnya Hana pun pergi meninggalkan rumah sakit itu.
Baru beberapa langkah meninggalkan gerbang rumah sakit, Hana melihat seorang Ibu yang sedang mempertahankan tasnya agar tidak dijambret oleh dua orang pria di atas kendaraan bermotor. Salah satu pria itu mengacungkan pisaunya agar tidak ada satu orang pun yang membantu Ibu itu.
Melihat kejadian ini, dengan cepat Hana melempar kotak bekal yang dia bawa ke arah dua orang penjambret lalu dia berteriak. “Pak polisi di sini ada jambret! Pak polisi di sini ada jambret!”
Teriakan Hana membuat dua orang penjambret itu pergi dengan kecepatan tinggi.
Hana merasa lega. Dia bergegas menghampiri ibu itu. “Ibu enggak apa-apa?” Hana memeriksa apa ada luka di tubuh Ibu itu. “Syukurlah Ibu tidak apa-apa. Ayo saya antar, Ibu mau ke mana?”
Perempuan paruh baya bernama Ririn itu menatap kotak bekal yang dilempar Hana tadi. “Terima kasih sudah membantu saya, kalau tidak ada kamu, bukan cuma tas saya yang kena jambret tapi kita nyawa saya bisa hilang. Itu bekal makan siang kamu? Ayo ikut saya, biar saya ganti makan siang kamu.”
Ririn menarik lengan Hana agar mengikuti langkahnya menuju rumah sakit. Namun, bukan menuju ruang perawatan, tetapi ruangan direktur rumah sakit. Perempuan itu mengajak Hana masuk ruangan.
Di ruangan itu ada sang direkrut rumah sakit bernama Akbar. Ririn mengenalkan Akbar pada Hana. Lalu satu kalimat selanjutnya membuat keduanya terkejut.
“Akbar, Hana ini sudah menyelamatkan nyawa Mama. Sebagai balas budi, Mama mau kamu menikah dengan Hana.” Ririn tersenyum lebar.