Dengan penuh kelembutan, Auriga membaringkan Queen di tengah-tengah tempat tidur, melepas satu-persatu pakaian yang Queen kenakan sampai akhirnya Queen polos tanpa sehelai benangpun yang menutupi tubuh indahnya.
"Beautifull." Pujian yang Auriga katakan lagi-lagi membuat wajah Queen merah padam bagai kepiting rebus.
Queen merapatkan kedua kakinya, mencoba menutupi organ intimnya yang sejak tadi di tatap oleh Auriga, sedangkan kedua tangannya mencoba menutupi buah dadanya, meskipun di rasa percuma karena Auriga sudah melihatnya.
"Jangan di tutupi Sayang, Kakak ingin melihatnya." Auriga kembali membuka kedua paha Queen dengan lebar, membuat milik Queen kembali terexpose dengan sangat jelas.
"Kak," erang Queen frustasi karena Auriga yang terus menatap miliknya dengan jakun yang terus bergerak naik turun.
"Apa Sayang?" Secara perlahan, Auriga menanggalkan satu-persatu pakaian yang melekat pada tubuhnya, membuatnya kini polos, sama seperti Queen.
Tanpa sadar, Queen meneguk ludahnya, terpesona saat melihat betapa indah pemadangan yang kini tersaji di hadapannya ini. Auriga mengulum senyumnya saat melihat Queen yang sama sekali tak berkedip begitu melihat tubuh kekarnya dengan 8 roti sobek yang kini menghiasi perutnya.
Auriga menaiki tempat tidur, memposisikan miliknya agar berada tepat di depan milik Queen yang ternyata sudah sangat basah dan siap untuk ia masuki, jadi ia tidak perlu melakukan poreplay. Auriga sudah tidak tahan lagi, ia ingin agar milik Queen segera melingkupi miliknya yang sudah siap tempur.
Queen mendesah dengan tubuh melengkung kala kemaluan Auriga bergesekan dengan miliknya, membuat nafsu birahinya semakin membara begitu pun dengan Auriga.
Auriga mendengus, kesal karena ia sedikit kesulitan saat akan memasuki Queen, sementara Queen kini meringis di sela desahannya, merasa perih saat milik Auriga mencoba untuk memasukinya.
"Sakit?" Suara Auriga serak, sarat akan gairah dan suara serak Auriga malah terdengar sangat seksi, menurut Queen. Queen hanya menggeleng, menatap Auriga dengan mata sayu tapi penuh pancaran gairah.
Auriga kembali mendengus dan dengan sekali hentakan, ia berhasil memasuki Queen. Auriga dan Queen sama-sama mendesah dengan mata terpejam kala milik mereka berhasil menyatu untuk kedua kalinya. Queen merasa penuh dan juga sesak saat milik Auriga berhasil masuk memenuhinya.
1 jam adalah waktu yang Auriga dan Queen habiskan untuk berolahraga, berbagi nikmat dan keringat juga saling memuaskan satu sama lain.
"Lagi?" Dengan telaten, Auriga menyeka keringat yang membasahi keningnya dan kening Queen. Padahal AC dalam kamarnya sudah menyala, tapi ternyata tak mampu untuk merendam gairah membara keduanya.
Queen kontan menggeleng, menolak ajakan bercinta Auriga. "Enggak, Queen lelah," lirih Queen dengan mata yang masih terpejam.
"Baiklah, sebaiknya kita istirahat." Auriga mengecup kening Queen, lalu menuruni tempat tidur, melangkah menuju kamar mandi guna membersihkan miliknya yang penuh dengan cairan cinta.
Auriga meraih sebuah handuk berukuran kecil yang halus dan juga lembut kemudian membasahinya dengan air, lalu membawanya keluar dari kamar mandi. Auriga kembali menaiki tempat tidur, secara perlahan menyibak selimut yang menutupi tubuh polos Queen, melap perut dan juga paha bagian dalam Queen dengan handuk yang tadi ia basahi.
Queen yang memang sudah lelah dan letih hanya diam, membiarkan Auriga melap tubuhnya yang penuh dengan keringat dan juga cairan miliknya dan juga milik Auriga.
Setelah membersihkan tubuhnya dan juga Queen, Auriga kembali bergabung dengan Queen di tempat tidur, berbaring di belakang tubuh polos Queen.
"Jadi, kita mau kemana Kak?" Queen berbalik menghadap Auriga, menyusupkan wajahnya di d**a bidang Auriga, mendengar dengan jelas detak jantung Auriga yang sama seperti dirinya, begitu cepat.
"Bali Sayang." Auriga mengecup dalam-dalam kening Queen, mendekap dengan erat tubuh polos Queen.
Queen melerai pelukannya, menatap Auriga dengan mata melotot. "Ngapain ke Bali?" Teriaknya menggelegar. Queen tentu saja terkejut begitu mendengar jawaban Auriga kalau kota tujuan mereka adalah pulau Bali.
"Ketemu sama kedua orang tua Kakak."
"Untuk apa?" Lagi-lagi Queen berteriak, membuat Auriga menutup kedua pasang telinganya dengan telapak tangannya. "Jangan teriak-teriak Queen, gendang telinga Kakak bisa pecah kalau kamu terus teriak-teriak!" Peringat Auriga dengan mata mendelik.
"Jangan mendelik Kak, Queen enggak suka," ujar Queen dengan nada merajuk.
"Iya Sayang, maaf ya." Auriga mengecup punggung tangan Queen dan sentuhan yang Auriga berikan sukses membuat amarah Queen lenyap, hilang begitu saja.
"Jadi, untuk apa kita ke Bali?" Dengan lihai, jemari lentik Queen mulai menari di atas d**a bidang Auriga, membuat berbagai macam pola abstrak.
"Untuk bertemu dengan orang tua Kakak." Deru nafas Auriga mulai memburu dan itu semua karena sentuhan yang kini jemari lentik Queen lakukan di d**a bidangnya. Sentuhan yang mampu membuat gairah Auriga tersulut.
"Iya Queen tahu, maksud Queen apa tujuan Kakak memperkenalkan Queen sama orang tua Kakak?" Secara bergantian, Queen memilin kedua n****e Auriga membuat Auriga semakin kalang kabut.
"Stop," lirih Auriga seraya menjauhkan tangan Queen dari dadanya. Auriga bisa lepas kendali kalau jemari lentik Queen terus bermain di d**a bidangnya.
Queen mendongak, menatap Auriga dengan raut wajah kecut, kesal karena Auriga melarangnya untuk memainkan kedua nipplenya,,padahal ia sangat suka memainkannya. "Kenapa? Enggak boleh?" tanyanya dengan nada merajuk.
"Kamu sama saja memancing gairah Kakak Queen." Auriga menjawab dengan jujur pertanyaan Queen. Auriga bahkan sengaja menggesekan juniornya pada paha Queen dan saat itulah Queen sadar kalau sentuhan yang ia lakukan pada Auriga sudah membuat junior Auriga kembali terbangun, padahal sebelumnya sudah loyo.
"Maaf ya Kak," ujar Queen dengan nada menyesal. Sungguh, Queen tak tahu kalau apa yang ia lakukan akan membuat junior Auriga terbangun.
"Iya, jangan di ulang lagi ya," kekeh geli Auriga. Auriga gemas saat melihat raut wajah Queen yang tampak malu-malu dan mungkin merasa bersalah atas apa yang sudah terjadi padanya.
"Kita lanjut bahas yang tadi, jadi kenapa Kakak mau bawa Queen menghadap kedua orang tua Kakak?"
"Kakak mau memperkenalkan kamu sebagai calon istri Kakak, masa depan Kakak." Auriga mejawab dengan santai pertanyaan Queen, berbanding terbalik dengan Queen yang kini melongo, tak percaya dengan apa yang baru saja terlontar dari bibir Auriga.
"Kak," panggil Queen dengan nafas tercekat. "Sebaiknya Kakak jangan bercanda deh, candaan Kakak sama sekali enggak baik buat kesehatan jantung Queen." Queen memegang dadanya dan ia bisa merasakan jantungnya yang kini berdetak dengan sangat cepat, lebih cepat dari sebelumnya.
"Kakak sama sekali enggak sedang bercanda Queen," ujar Auriga dengan tegas. Queen menatap Auriga yang kini sedang menatapnya, mencoba mencari jawaban dari manik hitam Auriga dan ia bisa melihat kesungguhan di sana.
"Kak, kita itu baru aja kenal, masa Kakak mau langsung jadiin Queen calon istri Kakak sih." Queen memijat keningnya yang tiba-tiba pusing, pusing memikirkan Auriga yang tiba-tiba akan memperkenalkan dirinya sebagai calon istri pada kedua orang tuanya.
"Kakak mau jadiin kamu istri Kakak Queen, bukan calon istri," ralat Auriga.
"Iya Queen tahu, tapi apa Kakak yakin? Kita itu baru bertemu 1 minggu yang lalu loh Kak." Queen tak habis pikir, bagaimana mungkin Auriga akan menjadikannya istri sementara mereka saja baru bertemu 1 minggu yang lalu, bahkan dalam kurun waktu 1 minggu itu ia hanya bertemu dengan Auriga selama dua kali, saat pesta Bara dan hari ini.
"Kamu yang baru mengenal Kakak sedangkan Kakak sudah lama mengenal kamu," tutur Auriga penuh kelembutan.
Dengan gerakan sensual, Auriga membelai wajah Queen lalu turun menuju bibir Queen, membelai bibir ranum Queen dengan begitu intens. "Sekarang bibir Queen semakin terlihat seksi dan juga menggoda, mungkin karena sudah sering ia lumat." Batin Auriga.
Queen memejamkan matanya, menikmati belaian yang Auriga lakukan tapi sedetik kemudian ia kembali membuka matanya, menatap Auriga dengan kening berkerut saat ia sadar dengan jawaban yang tadi Auriga berikan. "Maksud Kakak apa? Kakak sudah lama mengenal Queen? Jauh sebelum kita bertemu?"
"Boleh?" Bukannya menjawab pertanyaan Queen, Auriga malah balik mengajukan pertanyaan.
Untuk sesaat, Queen terdiam, mencoba mencerna apa maksud dari pertanyaan Auriga, tapi saat ia sadar dengan apa yang Auriga inginkan, wajahnya seketika memanas dan Queen yakin kalau kini wajahnya sudah merah merona bagai kepiting rebus.
"Jadi, boleh atau tidak?" Auriga berbisik di telinga kanan Queen dan hembusan nafas hangat Auriga sukses membuat bulu kuduk Queen berdiri.nAuriga bahkan sengaja mengulum daun telinga Queen, membuat Queen tanpa sadar mendesah dengan mata terpejam.
"Kalau Queen menolak, pasti Kakak akan tetap melakukannya." Dan detik selanjutnya, bibir Auriga kembali menempel di bibir Queen, melumat dengan rakus bibir ranum Queen yang sejak dulu sudah menjadi candunya.
Cukup lama keduanya saling berciuman dan baru terhenti saat Queen mencubit gemas n****e kanan Auriga, memberi tahu Auriga kalau ia membutuhkan waktu untuk bernafas. Dengan perasaan tidak rela, Auriga pun melepas tautan bibirnya dari bibir Queen. Mungkin jika Queen tidak mencubit nipplenya, Auriga tidak akan berhenti menciumnya dan akan menciumnya sampai Queen pingsan.
Deru nafas Auriga dan Queen sama-sama memburu, saling menerpa wajah satu sama lain. Auriga menyatukan keningnya dengan kening Queen, kembali memberikan kecupan-kecupan kecil di bibir Queen yang tampak membengkak karena ulahnya.
"Sudah ih, jauh-jauh sana." Queen mendorong wajah Auriga agar menjauh darinya. Auriga terkekeh dan meskipun enggan untuk menjauh, akhirnya ia menjauh.
Queen merubah posisinya menjadi duduk bersandar di kepala ranjang dan saat itulah Auriga membaringkan kepalanya di paha Queen yang sudah tertutupi dengan selimut, memposisikan wajahnya di perut Queen.
Queen terkekeh, merasa geli saat bulu-bulu halus di dagu Auriga mengenai kulit perutnya yang tak tertutupi apapun. Queen pun meraih kaos milik Auriga yang tergeletak di sampingnya, lalu memakainya. Awalnya Auriga tak setuju tapi begitu melihat Queen mendelik Auriga pun tak lagi protes.
"Jadi, sejak kapan Kakak mengenal Queen?" Kedua tangan Queen bersedekap, menatap Auriga dengan tajam.
"Sejak pertama kali kamu kuliah di universitas yang sama dengan Bara."
Mata Queen membola dwngan mulut yang terbuka lebar. "Kak, jangan bohong, bohong itu dosa tahu."
"Kakak sama sekali enggak berbohong Queen, lagian untuk apa Kakak berbohong?"
"Coba ceritain dong, Queen penasaran," titah Queen dengan tegas. Auriga mengeleng, menolak untuk menceritakannya. Biar hanya ia dan Tuhan yang tahu, jangan sampai Queen tahu.
"Kak ayo ih ceritain, Queen kan penasaran." Queen mulai merengek seraya menjambak rambut Auriga dengan kuat, kesal karena Auriga tidak kunjung bersuara dan malah semakin membenamkan wajahnya di perutnya.
Auriga tetap menggeleng dan Queen pun tak lagi memaksa Auriga untuk bercerita padanya. Queen melepas rambut Auriga dari jambakannya lalu membelainya dengan lembut, membuat Auriga terbuai dan akhirnya terlelap dalam pangkuan Queen.
***
Saat sudah mendarat di Bali, Auriga tentu tidak langsung membawa Queen ke rumah kedua orang tuanya, tapi memilih untuk membawa Queen ke rumah miliknya sendiri.
Di sana, Queen dan Auriga mandi terlebih dahulu, guna menghilangkan aroma tak sedap yang pada di tubuh keduanya. Setelah selesai membersihkan diri, Auriga langsung membawa Queen menuju kediaman kedua orang tuanya yang kebetulan berada tak jauh dari rumah miliknya, dalam artian kalau rumah keduanya masih berada di kompleks yang sama.
Hanya butuh waktu tak kurang dari 3 menit untuk Auriga sampai di kediaman kedua orang tuanya. Auriga turun dari mobil lalu menghampiri Queen yang juga sudah keluar dari mobil.
Auriga melingkarkan kedua tangannya di pinggang Queen, dengan penuh percaya diri melenggang memasuki kediaman kedua orang tuanya.
"Kenapa hm?" Auriga bisa melihat ekspresi wajah Queen yang tampak tegang dan juga kaku.
"Queen gugup dan juga takut Kak," jawab Queen jujur. Auriga terkekeh, lantas menggenggam erat telapak tangan kanan Queen yang Queen balas dengan sangat erat.
"Enggak usah takut kan ada Kakak, lagian Daddy sama Mommy enggak bakalan gigit kok." Auriga membelai punggung tangan kanan Queen dengan ibu jarinya dan ajaibnya, sentuhan yang Auriga berikan mampu membuat perasaan Queen jauh lebih tenang dari sebelumnya. Bahkan Queen sempat terkekwh begitu mendengar candaan Auriga.
"Ayah, Ibu."
Wildan dan Denita kompak menoleh pada asal suara, senyum di wajah Denita mengembang dengan sempurna begitu melihat kedatangan Auriga dan Queen, berbanding terbalik dengan Wildan yang menunjukkan ekspresi datar.
Denita menghampiri Auriga lebih tepatnya menghampiri Queen, menyambut dengan hangat kedatangan Queen. "Akhirnya, tante ketemu juga sama kamu nak."
Queen tersenyum canggung, membalas pelukan Denita. Denita lantas menuntun Queen agar duduk di sofa di susul oleh Auriga yang kini duduk di samping Queen dan Denita yang duduk di hadapan keduanya.
"Jadi, ada apa?" Tanya Wildan tanpa basa-basi.
"Ini Queen Ayah, calon istri Auriga," ujar Auriga tegas dan lugas seraya memperkenalkan Queen yang kini tersenyum sopan pada Wildan.
"Apa kamu bilang? Calon istri?" Tanya Wildan shock, bukan hanya Wildan yang shock tapi Denita juga tak kalah shock.
Tanpa ragu Auriga mengangguk. "Iya Dad, Auriga ingin menikahi Queen secepatnya, bila perlu bulan depan karena Auriga tidak mau Queen hamil sebelum kita sah menjadi pasangan suami istri."
"Ha-hamil?" gagap Denita dengan mata melotot, menatap Auriga dan Queen secara bergantian. Bukan hanya Denita yang melotot, tapi Queen juga melototkan matanya, shock dengan apa yang baru saja Auriga katakan, tak terkecuali Wildan yanh juga shock begitu mendengar ucapan Auriga.
"Tapi Queen—"
"Kakak yakin kalau kamu bakalan hamil Sayang." Auriga melirik Queen, tak lupa memasang senyum manis di wajah tampannya.
Queen menatap tajam Auriga, rasanya ingin sekali mencakar wajah Auriga yang kini malah tersenyum manis padanya. "Kenapa Kakak bisa yakin?" tanyanya dengan mata memicing penuh curiga.
"Pertama kali kita melakukannya kita sama-sama tidak memakai pengaman dan kamu sedang dalam masa subur, jadi besar kemungkinan kalau kamu akan hamil sayang." Lagi-lagi Auriga berkata dengan santainya, seolah tak peduli kalau apa yang baru saja ia katakan akan membuat Wildan dan Denita semakin shock.
"Auriga, apa yang sudah kamu lakukan sama Queen?" Teriak Denita histeris, menatap tajam Auriga.
Auriga menatap Denita, seraya menggaruk tengkuknya yang Denita yakin sama sekali sekali tidak gatal. "Maaf Mom, Kakak khilaf," ringis Auriga dengan nada menyesal.
"Jadi kamu dan Queen sudah melakukan hubungan intim?" Tanya Wildan mempertegas.
"Iya Ayah."
"Lalu bagaimana dengan Aqila, tunangan kamu?" Teriak Wildan berang, menatap tajam Auriga yang sama sekali tidak takut dengan tatapan tajam yang Wildan berikan.
"Tunangan!" Jerit Queen histeris. "Jadi Kak Auriga sudah bertunangan?"
"Iya, Auriga sudah bertunangan Queen." Tentu saja yang menjawab pertanyaan Queen bukan Auriga melainkan Denita.
Queen terhenyak begitu mendengar ucapan Denita dan kepalanya seketika pusing. "Kepala Queen pusing," lirih Queen seraya memijat kepalanya yang terus berdenyut pusing.
"Kak, bawa Queen ke kamar," titah tegas Denita yang langsung Auriga patuhi. Queen yang memang benar-benar pusing memilih untuk menurut saat Auriga membawanya menaiki tangga.
Sebelum benar-benar pergi meninggalkan kedua orang tuanya, Auriga meminta agar Wildan membatalkan perjodohan yang antara dirinya dan Aqila.
Setelah memastikan kalau Auriga dan Queen memasuki kamar milik Auriga yang berada di lantai 2, Denita menarik nafasnya dalam-dalam, kemudian menghembuskannya secara perlahan.
Denita mengalihkan pandangannya pada Wildan yang kini sedang diam termenung. "Mas."
Wildan menoleh, menunggu apa yang akan Denita katakan selanjutnya. "Aku mohon tolong batalkan perjodohan Auriga dan Aqila."
"Tidak akan!" Tolak Wildan dengan tegas. Wildan memalingkan wajahnya ke arah lain, tak mau melihat Denita yang kini menatapnya intens.
Denita menghela nafas panjang, menatap Wildan yang kini enggan menatapnya dengan sorot mata sendu. "Mas, dari awal Auriga sudah menolak perjodohan ini tapi kamu tetap kekeh ingin menjodohkan Auriga dan Aqila."
Wildan bungkam, memilih untuk tidak menanggapi ucapan Denita yang memang benar adanya. Perjodohan yang terjadi antara Auriga dan Aqila memang terjadi karena ulahnya.
Sejak awal, Auriga sudah menolak dengan tegas saat Wildan berencana untuk melakukan perjodohan antara Auriga dan Aqila, tapi Wildan tetap kekeh dan melanjutkan perjodohan tersebut tanpa persetujuan Auriga.
"Seharusnya kamu senang Mas, karena dengan batalnya perjodohan antara Auriga dan Aqila, kamu bisa menjadi Ayah untuk Aqila karena aku akan mengabulkan permintaan kamu untuk bercerai dan dengan begitu kamu bisa menikahi Melisa dan menjadi Ayah untuk Aqila."
Tubuh Wildan menegang kaku dan itu semua tak lepas dari pengamatan Denita.
"Jangan tegang seperti itu Mas," ujar Denita dengan senyum getit yang kini menghiasi wajahnya yang tak lagi muda. "Masalah anak-anak biar aku yang urus, kamu tenang aja dan aku pastikan kalau anak-anak tidak akan menghalangi proses perceraian kita, sekarang mereka sudah dewasa jadi mereka pasti akan mengerti kalau kita memang tak bisa lagi bersama."
Wildan tetap bungkam, tak mengeluarkan sepatah kata pun dan Denita pikir kalau Wildan setuju untuk membatalkan perjodohan antara Auriga dan Aqila dan juga, setuju untuk bercerai dengannya.
Sebenarnya bukan Wildan yang setuju untuk bercerai dengannya tapi ia yang setuju untuk bercerai dengan Wildan karena beberapa bulan sebelumnya, Wildan mengatakan pada Denita kalau ia ingin bercerai, tapi saat itu Denita menolaknya dengan tegas, berbeda dengan hari ini di mana Denita setuju untuk berpisah dengan Wildan.
Denita memilih pergi meninggalkan Wildan yang sejak tadi tak menanggapi ucapannya, jangankan menanggapi ucapannya, meliriknya saja Wildan enggan. Dengan langkah tergesa, Denita menaiki tangga menuju kamarnya yang tak jauh dari kamar Bara, tak ingin Wildan melihat air mata yang kini menggenang di pelupuk matanya.
Tanpa Wildan dan Denita sadari, sejak tadi Bara mendengar apa yang Denita katakan pada Wildan dan Bara benar-benar terkejut dengan fakta yang baru saja ia ketahui.
Bara melirik lantai dua dan begitu mendengar suara pintu kamar tertutup, Bara segera melangkah keluar dari tempat persembunyiannya dan Wildan terkejut saat melihat Bara.
Bara pergi menaiki tangga menyapa Wildan, jangankan menyapa, melirik saja tidak dan saat itulah Wildan sadar, kalau Bara pasti mendengar apa yang tadi Denita katakan padanya.
Wildan memijit pelipisnya yang berdenyut nyeri, memilih untuk merebahkan tubuhnya di sofa dengan mata yang secara perlahan terpejam.
***