Sayuran liar

1085 Kata
Matahari sudah terlihat menyilaukan di balik celah-celah kayu, Anindira terbangun dari tidur lelapnya, tapi Halvir tidak ada bersamanya. Ini adalah kali pertama Anindira bangun sendirian, tanpa Halvir di sampingnya. Anindira segera bangun dan membuka jendela, membawa semakin banyak sinar matahari yang terasa hangat masuk ke dalam rumah. Udaranya segar, membawa Anindira bersandar nyaman di jendela, memperhatikan sekeliling ruangan. Rumah ini dengan dua bingkai jendela di sisi kanan-kirinya memanjang menghadap ke batang pohon utama, dengan dua pintu juga di depan dan di belakang. Ukuran rumah ini besar dan luas, sekitar tujuh kali sepuluh meter. Di dalam terasa kosong karena hanya ada sebuah tempat tidur dan lima kotak peti besar, tampaknya itu tempat Halvir menyimpan beberapa barang berharga dan juga pakaian. ''Ke mana Kak Halvir, kenapa meninggalkan aku?'' tanya Anindira, ''Mungkin karena ini di rumah, Tidak perlu takut dengan binatang buas...'' Anindira melanjutkan, ''Tapi tidak apa, aku masih belum siap, jadi teringat kejadian tadi malam'' Anindira terus bergumam sendirian, ''Kak Halvir kenapa melakukan itu? Selama ini dia tidak pernah melakukan hal seperti itu...'' ujar Anindira terus saja bicara sendiri di ruangan kosong yang hanya ada dirinya, dengan wajah memerah tersipu malu mengingat kejadian kecupan kilat Halvir semalam. ‘'Ahh...'' seru Anindira memekik dengan gerakan kacau, ''Memalukan… Biarkan saja, ayo bersihkan rumah saja!'' seru Anindira kemudian, dia mengalihkan pikirannya dari kejadian semalam. Anindira yang masih gugup mengingat kejadian semalam, terus saja bergumam sambil mencoba melakukan apa yang bisa dilakukannya. Saat Anindira keluar dari rumah kemudian tengok sana tengok sini dia baru menyadari suatu hal yang membuatnya bingung sendiri. ''Gimana caranya turun?'' tanya Anindira mengeluh frustasi. Anindira sebetulnya cukup andal memanjat pohon, saat bertanding adu cepat mencapai puncak pohon, Anindira sering memenangkannya melawan anak-anak laki-laki di kampung. Tapi, pohon ini bukan hanya sangat besar tapi bagi Anindira ini adalah pohon raksasa. Jarak antar dahan terlalu jauh, sangat tidak mungkin dia melompatinya, tiap dahan utamanya memiliki diameter lebih dari sepuluh meter, makanya rumah sebesar itu bisa dengan gagah bertengger di atasnya. Anindira selama ini selalu di gendong Halvir ke sana kemari, jadi dia tidak sadar kalau tidak ada tangga atau apa pun yang bisa membantunya naik dan turun dari rumah. Setelah mondar-mandir mencari cara untuk turun, puas merengek dan mengeluh sendirian. Akhirnya Anindira menyerah. Dia memutuskan untuk membersihkan rumah saja dengan alat seadanya saja, mematahkan ranting kecil dari cabang di belakang rumah, untuk menyapu lantai dan membersihkan debu-debu dan juga beberapa sarang laba-laba yang telah terbentuk di sana-sini. Pintu dan jendela di buka semua untuk mengganti udara pengap dan lembab yang sudah lama terkurung di dalam rumah, beberapa waktu kemudian terlihat ada asap mengepul dari bawah, Anindira segera melihat ke bawah. ''KAK HALVIR!'' seru Anindira refleks memanggilnya dengan sangat gembira. Sebetulnya Anindira tidak tahu siapa yang ada di bawah karena dari jarak sekitar lima puluh meter tidak mungkin baginya untuk tahu siapa itu, tapi hatinya secara refleks mengatakan kalau itu Halvir. Mendengar suara Anindira memanggilnya, Halvir segera naik ke atas untuk menjemputnya turun. ''Kak, kenapa meninggalkan aku?'' tanya Anindira. Dia tidak sabar dan langsung mengeluh saat Halvir baru saja menapakkan kaki menghampirinya. ''Aku pergi berburu,'' jawabnya singkat, sambil menggendong Anindira turun, ''Aku pergi berburu sebentar, karena di rumahku ada selimut, jadi kau tidak akan terlalu kedinginan jika hanya kutinggalkan selama beberapa jam saja, karena sekarang masih musim panas…'' ujar Halvir melanjutkan, ''Lagi pula kau akan aman di rumahku, tidak akan ada yang berani menerobos masuk di wilayahku,'' lanjutnya dengan wajah datar, tapi suaranya terdengar angkuh. ''Kak... Apa kau sangat lapar?'' tanya Anindira, dia tiba-tiba memasang wajah aneh dan bodoh saat melihat hewan buruan Halvir. ''Aku lapar, tapi... Kenapa dengan reaksimu? Apa yang aneh?'' tanya Halvir tetap dengan wajah tanpa ekspresinya, sambil membakar daging hewan buruannya utuh dan memutarnya di atas api, ''Aku juga mengambil beberapa sayuran liar dan buah yang biasa kau makan di hutan, sudah kubersihkan, kau makanlah! Kau bilang daun-daunan itu cocok dimakan bersama daging yang berlemak…'' lanjut Halvir lagi. ''Ehm... Terima kasih, ini untuk sedikit memberi rasa juga mengimbangi asupan sayuran, aku tidak bisa hanya makan daging saja. aku butuh sayuran dan buah. Sayuran liar di sini rasanya lebih enak daripada di tempatku, lazimnya aku tidak memakan mereka jika bukan karena terpaksa, tapi kualitas sayuran liar di sini benar-benar terbaik, aku bahkan bisa mengunyahnya tanpa pendamping apa pun,'' ujar Anindira sambil melahap daun poh-pohan yang di bawa Halvir. Halvir terkejut mendengar ucapan Anindira, langsung menengok ke arahnya dan memegang tangannya yang baru akan menyuap daun lagi. ''Itu artinya daun-daunan ini bukan yang biasa kau makan?! Kau hanya terpaksa memakannya, bukan karena menyukainya?!'' seru Halvir bertanya tapi terdengar seperti menghardik Anindira, masih dengan memegang tangan Anindira. Halvir kesal merasa kemampuannya sebagai seorang pria telah jatuh, hanya untuk memberi makan wanita, dia bahkan tidak bisa. Begitu pikirnya. Dia tidak terima dianggap tidak kompeten, baru kali ini dia benar-benar merasa sebagai seorang *Safir. ''Lepaskan!'' seru Halvir sambil menghentak tangan Anindira yang masih memegang daun poh-pohan, ''Akan kuberikan apa yang biasa kamu makan, jangan memakan, makanan yang kau terpaksa memakannya!'' seru Halvir dengan tegas memperingatkan Anindira, ''Aku lebih dari mampu untuk memberimu sekedar makanan!'' seru Halvir jelas menghardik Anindira kali ini, wajah Halvir menampakkan ekspresi kesal dengan sayuran yang sedang di pegang Anindira. ''Ha?!'' seru Anindira heran, dia semakin tidak mengerti kenapa Halvir bersikap seperti ini. ''Bukankah aku sudah bilang padamu, tidak menahan keinginanmu! Katakan! Akan segera kucarikan untukmu,'' seru Halvir lagi. Baru kali ini Anindira melihat Halvir yang dengan sangat jelas menampakkan emosinya. Dengan tetap menahan tangan Anindira, Halvir bersikeras tidak ingin Anindira makan daun itu lagi. ''Hah...'' desah Anindira melihat Halvir yang terlihat emosi hanya pada dedaunan liar yang dipetik olehnya sendiri, ''Baiklah,'' jawab Anindira kemudian. Anindira menyerah dengan sikap Halvir yang tidak mau dianggap tidak memiliki kemampuan memberi makan seorang wanita. Anindira melepaskan sayuran dari tangannya, meletakkan jari ke mulutnya. Memicingkan matanya, bermaksud menggoda Halvir yang tampak lucu dengan ekspresi kesalnya. ''Kau harus memberitahuku, hanya makanan! Tidak ada hewan yang tidak pernah kuburu sebelumnya, kau hanya perlu mengatakannya maka akan kucarikan untukmu,'' seru Halvir, wajahnya serius dengan matanya yang berbinar-binar, ingin meyakinkan Anindira, dengan kemampuannya yang di atas rata-rata. ''Kak...'' panggil Anindira lembut pada Halvir, ''Aku tidak sedang menahan keinginanku... Aku tidak bohong, aku tulus mengatakannya,'' ujar Anindira pada Halvir, ''Kenapa kau hanya mendengar kata-kata keluhanku saja? Tapi, tidak mendengar kata-kata pujianku...'' tanya Anindira, ''Aku bilang, aku tidak lazim memakannya jika bukan karena terpaksa, itu betul...'' ujar Anindira menjelaskan, ''Tapi, kualitas sayuran liar yang ada di sini adalah yang terbaik, rasanya enak...'' lanjut Anindira menjelaskan dengan wajah membanggakan sayuran di hadapannya, ''Apa kau mengerti?'' tanya Anindira sambil tersenyum.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN