Ganti Baju

1088 Kata
017 Ganti baju Halvir keluar dari sungai setelah mendapat tiga ekor ikan besar. Selesai mandi dan mendapatkan ikan, Halvir naik ke tempat yang lebih kering, meletakkan ikan yang sudah di bersihkan di atas daun dan mengumpulkan ranting untuk dijadikan api unggun. Anindira yang juga sudah selesai mandi segera naik menyusul Halvir. ''Kau tidak mengganti bajumu?'' Halvir heran melihat Anindira basah kuyup dengan baju lamanya yang sudah sobek di sana sini. ''Ehmh... itu… nanti saja di rumah, aku akan ganti baju,'' Anindira menjawab sambil menunduk malu-malu. ''Kenapa harus menunggu nanti?'' tanya Halvir dengan wajah tidak senang, ''Apa baju yang tadi kuberikan lupa kau bawa?!'' tanya Halvir menyelidik, ''Apa kau tidak menyukainya? Akan kucarikan yang lain nanti, yang sesuai seleramu…'' ujar Halvir dengan nada yang sedikit tinggi tapi tetap berusaha menjaga intonasinya agar Anindira tidak takut. ''Kak, maaf... Bukan, bukan begitu,'' ujar Anindira terkejut, ''Maafkan aku, aku tidak bermaksud menyinggungmu...'' ujar Anindira lagi dengan wajah cemas, ''Apa yang kau berikan padaku sudah lebih dari cukup. Aku sangat bersyukur, aku tulus mengatakannya,'' ujar Anindira menjelaskan, dia takut Halvir tersinggung dengan perbuatannya, ''Hanya saja... Itu... Di sini...'' ujar Anindira dengan kepala menunduk dan suara terbata-bata, dia sungkan karena sudah banyak merepotkan Halvir. ''Ada apa?'' tanya Halvir, dia kasihan melihat Anindira gugup, ''Ayo katakan!'' seru Halvir tegas, ''Aku tidak akan tahu kalau kau hanya diam,'' ujar Halvir yang kemudian berseru mengingatkan Anindira agar mengatakan apapun yang dia mau. ''Anu... Kak Halvir... Itu... Tidak ada tempat untuk ganti baju di sini, aku... Tidak nyaman membuka baju di tempat terbuka,'' ujar Anindira menjawab dengan wajah tersipu. Jawaban Anindira menyentak Halvir sekaligus membuatnya malu. Dia lupa bahwa Anindira itu seorang wanita. Selama ini Halvir sudah terlalu nyaman bersama Anindira hingga membuatnya lupa kalau yang bersamanya sekarang itu seorang wanita, bukan pria. Sudah lebih dari empat puluh tahun dia hidup sendiri, tidak terbiasa dengan kehadiran orang lain. Apa lagi selama ini kebanyakan wanita selalu terlihat tidak nyaman dengannya. Dia tidak terlalu banyak berinteraksi dengan wanita dan malah menghindar, kecuali dengan Ezra dan Zia. ''Tidak, itu... Maafkan aku Anindira, aku… benar-benar lupa...'' Halvir kikuk dengan perasaan malu meski begitu di wajahnya hampir tidak menunjukkan ekspresi. Halvir segera bangun dan menengok ke sana kemari kemudian membawa Anindira ke belakang pohon besar dengan semak-semaknya yang rimbun. ''Ganti bajumu di sini!'' seru Halvir memerintah, ''Jangan khawatir, aku akan berjaga di sini!'' tambah Halvir pada Anindira kemudian berdiri di depannya. ''Di sini?!'' seru Anindira menjawab Halvir sambil mengerutkan dahinya. ''Eum!'' seru Halvir menjawab dengan anggukan, ''Kau akan sakit jika tidak segera mengganti bajumu. Tenang saja aku akan berjaga untukmu disini,'' ujar Halvir melanjutkan. Dahi Anindira semakin berkerut, wajahnya masam dan matanya sedikit melotot. Dia melihat Halvir dengan ekspresi tidak senang, kemudian mendengus dengan sangat ketus karena kesal. Halvir bisa melihat dengan jelas kalau Anindira dalam mood yang buruk sekarang. Tapi, dengan santainya dia mengacuhkannya. Dalam budaya Halvir, Anindira adalah miliknya. Tapi Anindira yang datang dari dunia lain tidak mengerti akan hal itu. ''Kenapa?!'' seru Halvir bertanya, dia tidak mengerti, tapi dia tahu Anindira kesal padanya sekarang, ''Kalau kau tidak bicara aku tidak akan tahu…'' ujar Halvir melanjutkan, karena Anindira diam saja dan hanya menatapnya dengan wajah kesal sambil terus bersungut. ''Aku akan... Aku akan ganti baju, tapi kenapa kak Halvir harus ada di sini?!'' tanya Anindira menjawab dengan ketus. ''Kalau aku tidak sini bagaimana aku akan menjagamu?!'' sahut Halvir santai dengan polosnya. ''AAHH!!'' seru Anindira memekik dengan wajah frustasi, ''Menyebalkan!'' seru Anindira. Dia semakin kesal melihat lagak Halvir yang sok polos, ''Itu artinya kak Halvir yang akan melihatku?!'' ''Apa yang salah dengan aku melihatmu?'' tanya Halvir menjawab pernyataan Anindira. Masih dengan wajah datarnya, yang tanpa perasaan bersalah. Halvir bisa melihat dengan jelas kalau emosi Anindira sedang dalam keadaan yang buruk. Tapi egonya sebagai seorang pria, mengacuhkan hal itu karena dia merasa tidak membuat kesalahan apa pun. ''HA?!'' seru Anindira geram! Antara marah dan bingung Anindira menanggapi Halvir yang terlihat polos walau dengan wajah tampannya yang gahar, ''TENTU SAJA SALAH!!!'' ''Apa harus diucapkan sejelas-jelasnya?!'' seru Anindira dalam hatinya, dia benar-benar jengkel dengan kelakuan Halvir sekarang, ''Kenapa harus dijelaskan? Bukankah seharusnya dia tahu kalau perempuan itu tidak bisa BUGIL DI PUBLIK?!'' ''Apa yang salah jika aku adalah walimu Anindira?!'' sahut Halvir tegas. ''Hah?! Apa itu wali?... Maksudnya? Apa?...'' Anindira bertanya dalam hatinya, dia sudah kesal dan ingin menyudahi perdebatan ini, ''Ah!... Sudahlah… '' ''BAIKLAH!'' seru Anindira ketus, sambil membalik tubuh Halvir agar berdiri membelakanginya, ''Jangan berbalik sebelum aku memberi izin, mengerti!'' Halvir hanya mengangguk mendengar perintah Anindira. Setelah perdebatan panjang akhirnya mereka duduk di depan api dan membakar ikan. Anindira memakai atasan Halvir yang terlihat persis seperti daster kedodoran di tubuhnya yang kecil. Anindira bolak-balik menaikkan kerahnya yang selalu saja turun dan memperlihatkan pundaknya, karena kerah bajunya terlalu besar. ''Maaf, bertahanlah sedikit, aku tahu itu tidak nyaman... Aku akan segera menyiapkan segala keperluanmu secepatnya,'' ujar Halvir menunjukkan wajah sedikit muram melihat ketidaknyamanan Anindira memakai pakaian kebesaran miliknya. Anindira hanya bisa mengangguk dengan perasaan malu sekaligus hati yang terluka. Kalau ini di dunianya sudah pasti dia akan menolaknya. Tapi sekarang. hanya ini yang bisa dilakukannya untuk bertahan hidup. Dengan terpaksa, dia harus bermuka tembok menerima semuanya, bergantung sepenuhnya pada Halvir yang kenyataannya adalah orang asing baginya. Tiga bulan melakukan perjalanan di hutan, memberikannya pengalaman dan pelajaran yang lebih dari cukup. Sekuat apa pun dia, bahkan tidak sehari pun dia akan bertahan sendirian di hutan itu. Selama tiga bulan, mereka bukannya menghadapi perjalanan yang mulus tanpa hambatan. Ada banyak binatang buas yang mengintai dan siap memangsanya kapan saja. Bukan sekali atau dua kali mereka dihadang binatang buas dalam perjalanannya. Bahkan pernah beberapa kali Halvir harus menghadapi kawanan anjing-anjing liar, juga gerombolan serigala yang selalu berakhir dengan meninggalkan beberapa luka di tubuhnya. Bahkan jika ada kakak-kakak laki-laki Anindira sekalipun, mungkin mereka tetap tidak akan bertahan. Ukuran tubuh binatang-binatang liar di sini lebih besar dari ukuran binatang di dunianya. Anindira juga pernah melihat sekelompok kawanan Mammoth, bahkan Sabertooth pun pernah menghadang dan berakhir di kuliti oleh Halvir. Ada pun tupai dan juga kelinci, jadi salah satu menu makan andalan mereka selama di hutan. Semakin Anindira menyadari keadaan di dunia ini, semakin Anindira terikat dan bergantung pada Halvir. Selama tiga bulan, Anindira mulai sadar dengan perasaan di hatinya. Semakin hari, kekaguman semakin tumbuh di hatinya, bukan hanya karena kekuatannya, tapi juga karena karakternya. Berkali-kali Halvir telanjang di hadapan Anindira sudah jelas jika hal itu selalu membuat Anindira jantung Anindira berdegup kencang. Tapi, Halvir yang melakukan kontak fisik hanya jika di perlukan. Lebih kepada ingin menjaga Anindira supaya nyaman. Pada akhirnya membentuk suatu kekaguman yang membuatnya terpesona.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN