Mandi Pagi

1065 Kata
033 Mandi Pagi Semburat merah masih terlihat di cakrawala ketika matahari baru saja menunjukkan diri. Anindira yang biasanya akan bermalas-malasan dalam dekapan Halvir ketika bangun pagi, kini dia bingung mau ngapain. Akhirnya dia bangun dari tempat tidur kemudian membuka jendela. Udara dingin segera masuk menerpa wajahnya membuatnya menggigil. Meski begitu dia membiarkannya dan tidak menutup jendela menikmati suasana pagi. Perlahan matahari terus naik semakin tinggi. Cahayanya menyilaukan, membuat Zia berbalik setelah sebelumnya dia menarik selimut merasakan hawa dingin ketika Anindira baru membuka jendela. ''Zia, kalau kau sudah terjaga, ayo segera bangun!'' seru Anindira menegurnya. Meski malas tapi Zia tetap bangun, dia duduk di tepi tempat tidur menghadap ke arah Anindira, ''Apa kau bangun dari tadi?'' tanya Zia, yang masih setengah sadar dan menggosok-gosok matanya. ''Iya,'' jawab Anindira kemudian kembali melihat keluar dari jendela rumah Zia. ''Kenapa pagi-pagi sudah bangun?'' tanya Zia mengeluh. Zia kembali berbaring membelakangi sinar matahari yang masuk melalui jendela, ''Kau bisa tidur lagi, bangun nanti saat waktu makan tiba...'' lanjut Zia dengan malas sambil menaikkan selimut menutupi kepalanya. ''Saat makan?!'' seru Anindira terperanjat kemudian segera menghampiri Zia di tempat tidurnya, ''Zia, ayo bangun sekarang!'' ''Ini masih terlalu pagi,'' jawab Zia dengan nada merengek yang tenggelam dalam balutan selimut. ''Ayo kita mandi!'' ajak Anindira setelah menepuk bahu Zia. ''Tidak mau,'' jawab Zia sambil menggelengkan kepala di dalam selimutnya, ''Nanti saja, kalau gerah baru aku akan mandi.’’ ''Zia!'' panggil Anindira merengek, ''Jangan malas begitu!'' sambil mencoba membuka selimut Zia. ''Apanya?'' tanya Zia dengan raut wajah kesal karena waktu tidurnya di ganggu. ''Kebiasaanmu!'' seru Anindira mendengus kesal membalas Zia, ''Ayo bangun kemudian mandi!'' lanjutnya lagi sambil menggoyangkan tubuh Zia. Zia yang masih mengantuk bingung dengan ucapan Anindira. Melihat Zia yang masih belum sepenuhnya terjaga, Anindira menepuk-nepuk ringan wajah Zia agar ruhnya segera berkumpul kembali. ''Hei, ayolah!'' seru Anindira memerintah dengan tegas tapi tawa terlihat dari wajahnya, ''Ayo, kita segarkan diri!'' Zia memaksakan diri bangun sambil mendesah padahal terlihat jelas di wajahnya jika dia malas mengikuti kemauan Anindira. ''Kau bilang ingin penampilanmu sepertiku,'' ujar Anindira membujuk, ''Kalau benar seperti itu, jangan bermalas-malasan!'' seru Anindira lagi merayunya agar segera sadar. ''Apa hubungannya bangun pagi dengan itu semua?'' tanya Zia merengek dengan raut wajah kesal karena malas bangun pagi pagi. Dia tidak terbiasa. ''Tentu saja berhubungan!'' seru Anindira mendekatkan wajahnya pada Zia, ''Konsistensi, adalah kunci utama sebuah keberhasilan!'' seru Anindira lagi dengan serius menatap Zia, ''Karena itu jangan malas... hal pertama adalah dengan membiasakan bangun pagi kemudian mandi. Nanti akan kujelaskan langkah selanjutnya...'' lanjut Anindira membujuk Zia sambil berusaha mengangkatnya berdiri. ''Ugh...'' desah Zia mengernyitkan dahi menatap Anindira, ''Baiklah…'' jawab Zia menyerah dengan bujukan Anindira yang keras kepala walau Zia sebenarnya masih malas. ''Ayah!'' panggil Zia. ''Ayah!'' panggil Zia lagi karena beberapa saat menunggu tidak ada yang datang, ''Apa kau di rumah?'' tanya Zia melanjutkan panggilannya, sambil melangkahkan kaki keluar rumah. Beberapa saat kemudian muncul Ruvi menemui mereka berdua. ''Ada apa Zia?'' tanya Ruvi sambil menepuk lembut kepala Zia, ''Mischa sedang pergi berburu,'' lanjut Ruvi sambil mengusap kepala Zia. ''Ayah Ruvi!'' sapa Zia padanya sambil tersenyum, ''Bantu kami turun dan temani ke sungai, boleh?'' tanya Zia dengan sikap manja. ''Tapi, ini masih pagi Zia, mau apa ke sungai?'' tanya Ruvi bingung dengan permintaan Zia. ''Mau mandi,'' jawab Zia polos. ''Mandi?!'' seru Ruvi membeo dengan wajah heran, ''Ini masih sangat pagi, bagaimana jika kau kedinginan nanti?!'' ''Tapi ,aku ingin seperti Anindira, dia punya kulit bagus…'' jawab Zia merengek dengan gaya tipikal khas anak gadis yang sedang bermanja pada ayahnya, ''Anindira bilang dengan rajin bangun pagi kemudian mandi adalah salah satu cara mewujudkannya.'' ''Tidak boleh!'' seru Ruvi melarang tegas, ''Aku khawatir kau akan sakit nanti.'' ''Anindira tidak apa-apa!'' seru Zia membantah tapi tetap dengan sikap hati-hati, ''Dia sehat, dia punya kulit bagus dan rambutnya sama seperti kalian para pria. Tidak sepertiku yang bergumpal...'' jelas Zia sambil membuat wajah memelas supaya di izinkan. Mischa, Ruvi, Koza, Kaj dan Axel. Mereka telah berpasangan. Karena itu tidak memperhatikan wanita lain. Makanya tidak heran jika para pasangan Ezra tidak menyadari kalau Anindira sedikit berbeda tampilan fisiknya dengan kebanyakan wanita yang ada di dunia ini. Ketika Zia mulai merengek dan menjelaskan. Baru Ruvi bisa melihat dengan lebih jelas kalau yang dikatakan Zia adalah benar. Tampilan fisik Anindira jauh lebih baik dari wanita pada umumnya. ''Eum...'' Ruvi berpikir sambil memicingkan matanya memperhatikan Anindira, ''Anindira, apa itu betul?'' tanya Ruvi menyelidik. ''Aku rasa begitu,'' angguk Anindira menjawab, ''Itu yang di ajarkan padaku,'' lanjutnya lagi dengan yakin. ''Tapi, bagaimana jika kalian sakit karena kedinginan saat mandi pagi,'' ujar Ruvi masih menolak dengan memberikan pendapatnya secara halus pada Anindira. ''Aku tidak tahu di sini. Tapi di tempatku kami di ajarkan untuk bangun pagi kemudian segera mandi. Bukan hanya untuk menyegarkan diri tapi juga untuk membersihkan diri. Dengan begitu, bukan hanya penampilan yang jadi lebih baik tapi kesehatan kami juga akan senantiasa terjaga,'' jelas Anindira tidak mau kalah. ''Tapi, Anindira... Kedinginan adalah hal yang berbahaya bagi wanita. Tidak sedikit wanita yang mati karena sakit setelah kedinginan. Aku tidak mau itu terjadi, kalian wanita bertubuh lemah, aku tidak mau ambil risiko!'' Ruvi dengan jelas menolak argumen Anindira. Anindira memilih untuk bersabar dan memikirkan baik-baik ucapan Ruvi. Apa yang di lakukannya di dunia modern belum tentu bisa di terapkan di dunia manusia buas. Sebelumnya dia yakin, tapi melihat bagaimana Ruvi yang merasa khawatir. Dia juga jadi ragu-ragu. Tapi Anindira tetap ingin melihat bagaimana situasi dan kondisi lapangan agar bisa lebih memahaminya. ''Maaf, paman...'' Anindira menjawab sambil menunduk menghormati Ruvi yang lebih tua darinya. ''Eum… begini saja… baiklah, tidak apa-apa, kalian boleh pergi ke sungai.'' Ruvi tergerak melihat betapa sopannya Anindira. Ruvi juga merasa senang, karena Zia terlihat sangat akrab dan bisa menerima Anindira. Melihat dua gadis remaja bergaul mesra. Dia tidak sampai hati menolak. ''Anindira apa kau terbiasa melakukannya?'' tanya Ruvi sambil mengusap kepala Anindira ''Iya,'' angguk Anindira sambil tersenyum, ''Aku melakukannya karena nenek dan ibuku juga melakukannya.'' Mata Ruvi berkedut kembali memikirkan ucapan Anindira dan penampilan fisiknya. ''Aku akan mengantar kalian ke sungai. Tapi tidak untuk mandi, aku masih belum bisa membiarkan kalian mandi pagi!'' seru Ruvi serius memperingatkan mereka berdua, ''Bawa mantel dan sepatu, aku tidak mau kalian kedinginan!'' ''BAIK…'' Anindira dan Zia menjawab serempak dengan penuh semangat. Ruvi dibuat gemas melihatnya. Dia menggelengkan kepala melihat kelakuan lucu dua anak perempuan di hadapannya. ''Kau sebegitu bahagianya dapat teman baru, Ziq…'' ujar Ruvi dalam hatinya memandang satu-satunya anak perempuan pasangannya. ''Terima kasih Anindira, rumah ini jadi lebih meriah sekarang.''
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN