Tempat asing

1105 Kata
002 Tempat Asing Di dunia yang lain, di suatu bagian alam semesta. Anindira berdiri dalam keadaan terperangah, dia melihat sekeliling dengan takjub. ''Wahhh... Hebat...'' Anindira yang beberapa saat lalu sempat merasakan kengerian. Mendadak menghilang terlupakan dengan pemandangan alam sekitar yang mulai di resapi dalam keadaan tenang olehnya. ***** DEG!!! Tiba-tiba saja kaki Anindira berhenti melangkah. ''Apa yang harus aku lakukan sekarang?!'' tanya Anindira di dalam hatinya. Kakinya yang sejak tadi melangkah dengan stabil tiba-tiba melambat, bergerak dengan keraguan. Bulu-bulu halus di tubuhnya berdiri. Hatinya mulai merasakan kengerian yang dia tidak tahu apa itu? Kakinya terasa semakin berat untuk bisa terus melangkah maju. Anindira tidak tahu kenapa tubuhnya bergerak sebelum otaknya memproses sebuah peringatan dalam alam bawah sadarnya bahwa ada sesuatu yang buruk di hadapannya. Tubuh Anindira bergetar dengan bola mata yang terus mengawasi keadaan di sekitarnya. Rahangnya mengeras, ada perdebatan antara naluri dan logika yang sedang di proses oleh sel-sel otaknya. ''Aku tidak tahu ada apa di depan sana. Tapi, aku juga tidak tahu bagaimana nasibku jika aku berbalik...'' Anindira bergumam sambil berjalan mondar-mandir. Otaknya sibuk berdebat antara perasaan takut di hatinya dan fakta bahwa ada air di depan sana, ''Kalau benar di sana ada sungai maka kemungkinan besar ada pemukiman penduduk. Atau, kalaupun tidak ada, setidaknya aku bisa mengamankan persediaan air sambil terus menyusurinya mencari jalan lain... mereka (keluarga Anindira) pasti sedang mencariku sekarang. Setidaknya sampai bantuan datang, aku harus bisa bertahan!'' Logika dan insting sedang berperang di dalam otak kecilnya, menguji kemampuannya untuk bertahan hidup sekarang. ''Ini sih, keren...'' Mata Anindira terbelalak, dia mulai terpesona dengan tampilan-tampilan megah dari jajaran pepohonan besar yang tinggi menjulang hingga tak terlihat ujungnya. ''Mantap...'' sekali lagi pujian terlontar dari mulutnya. Kepala Anindira menengadah penasaran dengan seperti apa tampilan langit luas di atas kepalanya jika tidak tertutupi oleh payung alami dari rimbunan pepohonan yang gagah berdiri. Sinar matahari masuk menyelusup di antara rimbunan dedaunan yang teduh memayungi luasnya hutan yang sunyi. Pepohonan rindang tidak menghalangi sinar matahari terang menyilaukan menerangi hutan dan panas menyengat. Tapi, hawanya terasa sejuk dan bersih. Hutan lestari dengan aroma khas belantara. Bau dedaunan, bau tanah, terasa sangat nyaman dan menyegarkan tanpa tercium bau aneh yang menjijikkan. Mata Anindira berbinar, mulutnya menganga sulit untuk mengatupkannya kembali. Dia, takjub dengan pemandangan di sekitarnya. ''Hah, apa itu?!'' Sesekali Anindira terpekik karena terkejut oleh suara-suara yang membuatnya waspada. Tapi segera setelah dia mengetahui kemungkinan pemilik suara tersebut dia kembali tenang. Telinganya sangat nyaman mendengar suara berbagai macam serangga musim panas yang saling bersahut-sahutan. Gemeresik bunyi tanaman yang daun-daunnya saling bergesek, dan juga kicau berbagai macam spesies unggas, riuh ramai terdengar. Pemandangan indah sekaligus suram dari hutan belantara lebat yang menghampar luas tak bertepi. Tampak menakjubkan dengan wibawanya, pepohonan yang menjulang tinggi mengiringi dengan gagahnya menantang siapapun yang menatap. Pepohonan raksasa tegap berdiri, tinggi menjulang meninggalkan kesan gagah perkasa. Semak rerumputan yang ada di sekitarnya pun sangat rimbun dan tinggi-tinggi. Seolah jika ada sapi yang bersembunyi bisa saja tidak terlihat. Di tengah kesendiriannya, berbagai pemandangan menakjubkan sesekali membawa pikiran Anindira menerawang. Ada apa di balik rumput yang nyaman bergoyang mengikuti angin? ''Keluar dan masuk hutan bukan kali pertama untukku... tapi hutan yang seperti ini, tentu saja adalah yang pertama. Hutan di wilayah mana yang aku masuki?'' Anindira bergumam dengan beberapa pertanyaan dalam kesendiriannya, ''Masalahnya, tadi juga aku sedang ada di hutan... di sungai... lah, kok bisa sampai ke sini tuh bagaimana caranya?!'' ''Kakek-kakekku pasti lompat-lompat kegirangan kalau tahu ada hutan yang seperti ini. Tapi, gimana cara tahu lokasinya kalau smartphone aja enggak bawa... bodoh, memang. Kenapa juga tadi enggak di kantongin tuh Hp...'' keluh Anindira merasa kesal karena tidak bisa mengabadikan pemandangan di hadapannya sekarang. Anindira lahir dan tumbuh di kota besar. Tapi, hutan, kebun, dan sawah bukan hal baru baginya. Hiking dan camping, adalah hal yang disukai Anindira dan keluarganya yang berasal dari kampung. Kegiatan itu menjadi hal yang biasa dilakukan keluarganya saat beristirahat sejenak dari sibuknya suasana perkotaan. Terbiasa dengan kehidupan kampung tempat kakek dan nenek Anindira tinggal tentu saja hal-hal yang di anggap menjijikkan untuk sebagian besar wanita yang tinggal di perkotaan tidak pernah mengganggu Anindira. Bertani di sawah, berburu di hutan, berkebun di halaman rumah adalah hal yang biasa di lakukan jika Anindira dan keluarganya pulang kampung. Kegiatan yang justru di nanti untuk sejedar berganti suasana dari sibuknya hiruk pikuk kehidupan perkotaan. ''Dira, udah cukup melankolisnya!'' seru Anindira mengingatkan dirinya sendiri, ''Aku sendirian sekarang... beneran, aku bener-bener sendirian!'' Anindira kembali pada kenyataan yang harus di hadapinya. Setelah beberapa kali terpuruk lalu kembali tenang. Kali ini, dia betul-betul menyadari kalau dia tidak sedang bermimipi. ''Bangun Anindira!'' pekik Anindira kembali, ''Kamu harus segera memantau situasi. Ini baru pohon-pohonnya doang... bisa jadi masalah besar kalau yang muncul predatornya.'' Segera Anindira melangkahkan kakinya secepat-cepatnya. Terlihat jelas Anindira yang panik dan cemas, tapi, dia juga berusaha untuk tetap tenang. Dia berusaha mencari jalan keluar. Saat ini, dia tidak bisa berpikir yang lain. Hanya ada pikiran bahwa dia harus keluar dari tempat itu secepatnya dan mencari bantuan. ''Apa aku tidak salah?!'' tanya seorang pria di dalam hatinya, ''Dia, wanita?! Sedang apa dia di sini?!'' Tanpa disadari Anindira, sejak tadi ada sepasang mata biru safir yang selalu menatapnya dari kejauhan. Sepasang bola mata Safir itu terus memperhatikan setiap gerakan yang dibuat Anindira. ''Bagaimana ini?!'' pekik Anindira dengan nada bingung, ''Tidak ada apa pun... rasanya aku sudah berjalan cukup jauh tapi aku belum menemukan apa pun...'' Anindira terus saja melangkah, tidak ada jalan setapak, juga tidak ada bekas goresan di pohon yang biasa ditinggalkan oleh para pendaki, pemburu, atau pun orang-orang desa yang biasa keluar masuk hutan. ''Masa' sih, aku memasuki hutan yang belum pernah di masuki?!'' Benak Anindira mulai menyebar teror di hatinya. ''Enggak ah, enggak mungkin!'' lagi-lagi Anindira memekik bingung, meski sebisa mungkin dia berusaha menepis pikiran negatif. ''Bagaimana ini?!'' kembali lagi dia memekik dengan nada panik, ''Beneran enggak ada... enggak ada tanda-tanda keberadaan manusia di hutan ini.'' Anindira berusaha menenangkan logika di kepalanya, yang terus saja memikirkan hal negatif, karena dia berada di hutan yang sangat tidak biasa. Dia terus berusaha mensugesti dirinya sendiri agar tenang dan tidak akan ada hal buruk yang terjadi padanya kalau dia bisa tetap tenang. ''Tenang... tenang Dira... berusahalah, ayo kita telusuri saja jalan landai. Bagaimana pun harus bisa dapat air dulu...'' Cukup lama dia berjalan, berusaha meraba-raba jejak atau petunjuk. Setidaknya itu adalah, apa yang telah dipelajarinya selama ini. Waktu terus berjalan, tidak terasa dia ternyata malah semakin jauh dan malah semakin masuk menuju perbatasan *Hutan Larangan. Wilayah bagian hutan terdalam yang sangat berbahaya. {tempat Anindira tiba tadi berada tidak jauh dari perbatasan Hutan dan Hutan Larangan, yang biasanya hanya mereka yang dari peringkat *Emerald paling rendah yang berani memasukinya}
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN