Luapan emosi

1143 Kata
006 Luapan emosi Sunyi senyap di kegelapan malam terdengar nyaring suara melolong saling bersahut-sahutan yang entah itu anjing atau srigala. Serangga-serangga malam pun tidak mau kalah saing menambahk horor hutan yang sangat suram.Suara burung hantu dan gagak nyaring terdengar mengiringi suara kepakan saya sekali kala, entah dari mana asal suaranya karena saling bergema di dalam luasnya hutan belantara. ''Hiii...'' pekik Aninidra dalam hatinya, ''Apakah selalu seperti ini suasana hutan di malam hari?! Aku tidak menyadarinya... atau ini hanya perasaan ngeri karena aku jauh dari keluargaku...'' Anindira bergumam dengan tangannya yang memeluk kaki yang ditekuk. Menyandarkan dagunya di atas kedua lutut. ''Kau takut?'' tanya pemuda itu saat melihat Anindira yang gugup gemetaran dengan bola mata yang sibuk melirik kesana dan kemari. Anindira hanya bisa menatap pemuda itu dengan wajah memelas, dia menatapnya tajam dengan alis mengerut berusaha memahami apa yang sedang coba dikatakan oleh pemuda itu. ''Jangan takut!'' seru pemuda itu tersenyum menatap Anindira sambil mengusap kepalanya, ''Aku di sini menjagamu.'' Suara pemuda itu lembut dengan wajah syahdunya dia menatap Anindira. ''Ini,'' ujar pemuda itu sambil mengacungkan ranting pohon, ''Agar kau bisa tidur dengan nyaman... '' tambah pemuda itu sambil memetik dedaunan dari ranting yang di pegangnya. Terlihat pemuda itu meremas-remas dedaunan kemudian mencoba menggosokkannya ke tubuh Anindira. Apa yang dilakukan pemuda itu membuat Anindira terkejut dan sedikit bergeser, dia refleks menghindarinya. Pemuda itu juga terkejut dengan kelakuan Anindira yang tiba-tiba mewaspadainya. Tapi, saat mencium aroma atsiri, Anindira sadar dedaunan itu berfungsi mengusir nyamuk. Pemuda itu menatap tajam padanya karena sikap waspadanya yang tiba-tiba barusan. Melihat itu, Anindira tersenyum dan segera menyodorkan tangannya untuk diolesi remasan dedaunan itu. Baru juga sedikit remasan daun itu menyentuh kulit badannya, wajah Anindira langsung meringis, bahkan ada tetesan air mata keluar dari ujung matanya. "Ahh... Aduh... Perih... " ujar Anindira mengeluh sakit dengan suara yang bergetar. "Sakit?" tanya pemuda itu, dengan segera menarik tangannya yang sedang mengolesi kulit remasan daun kayu putih ke tangan Anindira. Walau wajahnya datar tanpa ekspresi, tapi Anindira bisa melihat dengan jelas, sorot matanya yang terlihat khawatir. "Aku akan cari yang lain," ujar pemuda itu, dia hendak berbalik, tapi segera dihentikan Anindira. "AHH! TUAN... '' pekik Anindira sambil meraih tangan kekar pemuda itu yang beranjak bangun, ''Tuan tunggu!... Tunggu sebentar!" seru Anindira, tangannya masih memegang pergelangan tangan pemuda itu, "Biar kulihat dedaunan itu!" seru Anindira lagi sambil menunjuk dedaunan yang masih utuh kemudian menengadahkan tangannya. "Ini?!" tanya pemuda itu sambil mengangkat tumpukan ranting yang berisi dedaunan, "Eum... " jawab Anindira mengangguk sambil tersenyum. Anindira menerima dedaunan itu dan memeriksanya, melihatnya dan mencium aromanya, dia kemudian sedikit merobek dan menjilat rasanya. ''Benar,ini daun kayu putih!'' pikirnya dalam hati, karena mengetahui hal itu, senyum manis terukir di wajah Anindira, "Tidak apa apa... Rasanya memang sangat perih karena tubuhku penuh luka lecet. Tapi, ini sangat baik, justru akan mempercepat kesembuhan luka dan terhindar dari infeksi,'' ujar Anindira menjelaskan, ‘'Huft... '' baru saja senyum terukir di wajahnya, tapi, dengan cepat segera menghilang, digantikan desahan panjang Anindira dengan ekspresi kecewa, ''Mengingat... Aku juga, sepertinya tidak akan bisa pergi ke Rumah Sakit... " ucap Anindira sambil menampilkan senyum getir di wajahnya apalagi saat menyebut Rumah Sakit wajahnya tampak sedikit berkerut. Pemuda itu hanya bisa diam, dia tidak mengerti apa yang dikatakan Anindira, tapi rona wajahnya sedikit berubah ketika melihat wajah Anindira berkerut. Perubahan emosi yang tergambar dari sorot mata pemuda itu, di respons Anindira, dia tersenyum, dia tulus berterima kasih dengan perhatian pemuda itu. "Jangan khawatir!" seru Anindira pada pemuda itu, sambil menepuk-nepuk pergelangan tangannya. Anindira mengambil daun yang sudah diremas pemuda itu dan menggosok-gosokkan ke tubuhnya sambil meringis dan kadang-kadang terdengar mengeluh menahan rasa pedihnya, tidak tahan lagi air matanya akhirnya mengalir. Antara memang menahan rasa perih dan pedih di kulitnya, atau memang luapan emosi di hatinya yang sudah di tahan olehnya sejak tadi. Pemuda itu terkejut melihat Anindira menangis, dia mengangkat wajah Anindira dengan ekspresi bingung dan berusaha mengambil remasan dedaunan di tangan Anindira. Tapi, Anindira segera menangkup tangan pemuda itu dengan kedua tangannya, matanya berlinang air mata tapi bibirnya tersenyum dengan tatapan mata mengarah langsung ke dalam bola mata pemuda itu. "Tidak apa-apa,'' ujar Anindira, kemudian sedikit mengambil napas, ''Tidak apa-apa,'' ulang Anindira lagi, ''Jangan khawatir!" seru Anindira dengan wajah memelas sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Hehehe... '' tawa aneh terbentuk di wajah Anindira yang memelas, ''Sakit sedikit... Cuma sedikit... Hanya sedikit... Sebentar lagi juga sembuh... Jangan khawatir!" seru Anindira terus mengulangi kata-katanya, sambil tersenyum dan tawa aneh yang mengiringinya, dengan mata yang terus berlinang air mata. ''Aku tidak tahu kau menagis karena sakit atau karena hal yang lain. Aku ingin menghiburmu tapi apa pun yang aku katakan kau tidak akan memahaminya...'' ujar pemuda itu di dalam hatinya meoihat bagaimana Anindira meluapkan emosinya. Pada akhirnya, pemuda itu hanya duduk lebih mendekat, kemudian mengangkat Anindira ke pangkuannya, segera setelahnya dia membelai kepalanya. Pemuda itu tidak mengerti ada apa dengan Anindira, dia juga tidak mengerti dengan setiap ucapan Anindira. Anindira terkejut ketika dia diangkat ke pangkuan pemuda itu. Tapi pangkuannya begitu nyaman, bahkan sangat nyaman. Anindira enggan berpikir tentang macam-macam, tidak peduli lagi, hatinya meledak, dia akhirnya menangis sejadi-jadinya, meluapkan semua emosi di hatinya. Pemuda itu hanya diam tidak mengatakan apapun, tangannya hanya terus membelai punggungnya, beberapa jam berikutnya setelah puas menangis, akhirnya, Anindira tidur terlelap dengan nyaman di pangkuan pemuda itu. ***** Matahari sudah menunjukkan dirinya sejak tadi, kini teriknya mulai terasa di kulit. Anindira mengerjap-ngerjapkan mata, terbangun dari tidur lelapnya. Kesadarannya masih belum sepenuhnya terkumpul. Dia mengingat-ingat kejadian semalam, seandainya dia berkulit putih pasti sudah terlihat merah wajahnya sekarang karena tersipu. Dia mengingat kejadian semalam menangis meraung-raung di pangkuan pemuda yang baru ditemuinya, dia bahkan tidak tahu nama pemuda itu. Mengingat kejadian itu, dia berharap kalau itu semua mimpi, tapi ketika dia bangun, dia merasakan sakit dan pedih tubuhnya. Ada remah-remah daun kayu putih yang telah mengering di sekitarnya. Akhirnya dia harus bisa menerimanya, ini kenyataan, kejadian kemarin benar-benar telah terjadi. Tubuhnya terasa sakit di sana-sini tapi dia tidur dengan sangat nyaman, seperti tidak sedang tidur di atas batang kayu yang keras dan kasar. ''Emmhh... Ahh... Ini nyaman…'' ujar Anindira saat dia terbangun dari tidurnya sambil menggeliat sepuas hatinya, ''AH!... Tuan terima kasih semala... " ucapan Anindira langsung terhenti, dengan mulut masih menganga lebar. Mata Anindira terbelalak nyaris keluar dari rongga matanya, berbarengan dengan jantungnya yang berdetak kencang. Detak jantungnya berpacu dengan aliran darahnya yang langsung naik ke kepala. Dia terkejut sampai nyaris tidak bernafas. Tubuhnya kaku. Kurang dari satu menit, wajahnya pucat pasi, ketakutan dan keterkejutan meledak langsung di hati dan pikirannya. Saking takutnya, Anindira sampai tidak berani berkedip, bahkan sekedar menelan ludah saja, dia tidak mampu. Makhluk besar bermata biru, dengan bulu berwarna hitam pekat yang sejak tadi menjadi sandaran tidur Anindira. Atau malah, mungkin sejak semalam. Seekor Jaguar hitam ada di hadapan Anindira sekarang. Jaguar besar yang bahkan dua kali lipat dari Jaguar hitam yang Anindira tahu. "Ja-jag-jag... JAGUARRR!!!" seru Anindira terbata-bata.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN