POLIANDRI

1079 Kata
Anindira dan Zia telah naik dan duduk bersantai di salah satu rumah yang bertengger di atas salah satu dahan pohon. Rumah itu jauh lebih kecil dari rumah Halvir, hanya sekitar lima kali enam meter tapi Interiornya cukup lengkap. Ada beberapa kotak kayu tempat menyimpan pakaian dan kain, ada tempat tidur jerami yang dilapisi kulit binatang, yang juga sama besarnya dengan tempat tidur Halvir. Ada sebuah meja dan rak di samping tempat tidur, lengkap dengan peralatan untuk keseharian Zia. Ada yang terbuat dari kayu, tanah, juga batu. Terlihat ada beberapa ornamen dan pernak-pernik perhiasan berjajar rapi di salah satu rak, di empat sudut ruangan terlihat tempat lilin berbentuk tiang yang sama tingginya dengan Zia. ''Mungkin barang-barang ini yang dicari Halvir, selain tempat tidur dan peti, aku tidak melihat itu semua ada di rumah Halvir…'' pikir Anindira dalam hati. ''Zia, aku tidak melihat ibumu?'' tanya Anindira. ''Dia pergi bersama Ayah Ruvi,'' jawab Zia. ''Ayah!... Ruvi?!'' seru Anindira bertanya dengan wajah bingung, ''Lalu yang tadi? Paman Mischa...'' tanya Anindira menyelidik. ''Ayah Mischa, dia juga ayahku, ayah Ruvi juga ayahku. Ayah Ruvi, dia pasangan ibuku... seorang *Amethyst dari Klan Jaguar, sama seperti ayah Mischa. Tapi, Ayah Mischa sudah jauh lebih stabil darinya…'' jawab Zia dengan wajah bangga. ''Pasangan?!'' seru Anindira terkejut, ''Ah maaf!... Aku tidak tahu, maafkan aku...'' ujar Anindira terkejut dengan wajah menyesal, berpikir dia telah menyakiti perasaan Zia. {Anindira berpikir, bahwa ayah dan ibu Zia sudah berpisah} ''Maaf?! Untuk apa?'' tanya Zia bingung. ''Itu... Aku pikir, aku telah menyakitimu, karena mengingatkanmu tentang ibumu…'' ujar Anindira sambil menunduk malu. ''Memangnya apa yang salah dengan mengingat ibuku? Kalau dia ada di sini, dia juga akan mengobrol bersama kita,'' sahut Zia masih dengan tingkah cerianya. ''Tunggu!... Sedang pergi?!... Maksudmu, ibumu tinggal di sini bersamamu?!'' seru Anindira bertanya, kembali dengan wajah herannya. ''Tidak!'' seru Zia tegas menjawab, ''Ibu tinggal di rumah terbesar, itu rumah utama tepat di atas rumah ini…'' ujar Zia melanjutkan jawabannya sambil jarinya menunjuk ke atas. ''Lalu... Ayahmu?!'' seru Anindira bertanya dengan wajah lebih heran lagi. ''Kalau sedang tidak bersama ibu, ayah akan tidur disini, jika sedang musim dingin. Kalau tidak, ya di sebelah, itu rumah ayah…'' jawab Zia polos, sambil menunjuk ke arah rumah yang bersebelahan dengan Zia. ''HA?!'' seru Anindira dengan wajah bertanya, dia tidak lagi bisa menahan ekspresi wajahnya yang sekarang terlihat sangat aneh. Anindira masih tidak bisa memahami ucapan Zia yang membuatnya semakin keras berusaha memproses semua maksud dari ucapan Zia, semakin dalam, jauh ke dalam otak kecilnya yang terbatas. ''Kau bilang ibumu sudah punya pasangan baru?!... Dan, itu pun di atas rumahmu?... Bukankah ada banyak pohon yang lain?'' tanya Anindira dengan wajah gamang sambil mengernyitkan dahi. ''Apa maksudmu?... Kenapa Harus di pohon lain?... Apa yang salah dengan rumah ibu di atas rumah ayahku?'' sahut Zia balik bertanya dengan wajah heran. ''Bagaimana bisa tidak salah?'' tanya Anindira, ''Tunggu dulu! Apa aku yang terlalu berlebihan menanggapi masalah orang dewasa?'' tanyanya lagi, ''Kepala desa juga santai saja... kau juga tidak bermasalah kalau ibumu bersama orang lain...'' ujar Anindira kemudian menjawab pertanyaannya sendiri. ''Tentu tidak seperti itu!'' seru Zia langsung menghardik, ''Orang lain tentu masalah!'' seru Zia menjawab dengan tegas, ''Harus ada persetujuan dari ayahku, kalau tidak, bukan hanya ayahku tapi pasangan-pasangan ibu yang lain juga punya hak untuk membunuhnya, karena mengganggu ibu tanpa izin pasangan-pasangannya!'' seru Zia melanjutkan menjawab dengan sangat serius. ''Ha?! Membunuh?!'' seru Anindira bertanya dengan terkejut, dia kaget mendengar hal ekstrem yang di ucapkan Zia. ''Tapi... tunggu!... Tunggu dulu!... Pasangan... pasangan?... Apa aku salah dengar atau salah mengartikan?'' tanya Anindira melihat ke arah Zia dengan wajah bodoh yang melongo. Zia dibuat heran oleh Anindira sampai memundurkan kepalanya, karena Anindira langsung menghampiri Zia melihatnya dengan sangat serius, ''Ada apa?... Kenapa?" tanya Zia dengan wajah mengernyit, mata Zia tampak sedikit takut melihat reaksi Anindira yang terkesan aneh. ''Anu... itu... jadi... ibumu, punya lebih dari satu pasangan?'' tanya Anindira dengan suara sedikit bergetar. dia takut kalau dia membuat kesalahan. ''Ya!'' angguk Zia yakin, ''Lima orang,'' jawab Zia kemudian sambil menunjukan kelima jarinya. Anindira diam tidak bereaksi, matanya menerawang senada dengan pikirannya yang pergi meninggalkan dirinya. Perlahan Anindira mulai kembali pada kesadarannya. ‘’Apa sudah sampai separah itu?’’ tanya Anindira di dalam hatinya. Anindira teringat cerita Hans yang mengatakan jumlah wanita yang sangat sedikit, berbanding sangat jauh dari jumlah para prianya. Anindira jadi ingat Suku Guanches yang pernah di bacanya dari sebuah artikel. {Suku Guanches adalah penduduk asli Kepulauan Canary di barat laut pesisir Afrika. Pada saat terjadi bencana kelaparan di abad ke-14 dan ke-15, banyak anak perempuan tewas sehingga terjadi ketimpangan jumlah penduduk. Jumlah pria pun lebih banyak dibandingkan pria. Akibatnya, mereka mempraktikkan poliandri sehingga wanita di suku tersebut bisa menikahi maksimal lima pria. Ada juga sebuah Suku di sebuah pegunungan terkenal, yang berada di pegunungan membuat sebagian lahan pertanian sulit ditanami dan butuh banyak kekuatan fisik. Perempuan akhirnya menikahi banyak suami karena mereka lebih kuat dan bisa membantu mengurus lahan pertanian.} ''Zia!... Apakah di sini wajar jika wanita punya lebih dari satu pasangan?'' tanya Anindira setelah menenangkan diri beberapa saat. Anindira mulai mencoba mencari informasi, dia menggali lebih dalam sekarang. ''Tentu saja,'' jawab Zia serius masih dengan dahinya yang mengernyit, karena dia merasa ada yang aneh dengan Anindira. ''Kenapa?... Apa harus?'' tanya Anindira lagi, dengan sangat antusias. ''Eum?'' Zia semakin mengernyitkan dahinya. Tapi, kali ini alasannya berbeda, Zia sedang berpikir keras untuk menjawab pertanyaan Anindira. ''Aku tidak tahu, apa harus, atau tidak. Karena itu sudah lumrah di sini… Tapi, kata ibu, jika hanya ada seorang pria dalam rumah tangga, dia tidak bisa menjaga wanita sendirian. Karena itu, ibu selalu mengajarkanku untuk mencari pasangan yang bisa menjamin, dia sangat mampu untuk menjagaku.. kata ibu, untuk pilihan pertama, sebaiknya cari dua orang yang bisa cocok sekaligus…'' jawab Zia dengan matanya sedikit berputar-putar, dia mengingat-ingat nasehat ibunya. ''Eh?!... DUA SEKALIGUS?!?!?!'' seru Anindira bertanya, bahkan memekik. Anindira yang berasal dari kultur berbeda tentu masih terkejut dengan penjelasan Zia, dia masih belum bisa menerima semua itu. ''Memang kau tidak diberi tahu apa pun oleh ibumu?'' tanya Zia, balik menyelidik Anindira. ''Ehh... anu, itu... tidak...'' Anindira ragu-ragu menjawab, dia bingung bagaimana mengemukakan tentang dirinya. ''Mungkin karena kau cantik, keluargamu bersikap santai…'' ujar Zia dengan wajah keki tapi dia tulus tidak membenci Anindira. ''Cantik?!... Siapa?!... Aku?!'' seru Anindira bertanya dengan wajah kembali heran, ''Hahaha...'' Anindira tertawa mendengar kata itu, tapi, dia sedikit senang dibilang cantik, karena tidak pernah ada yang bilang itu padanya sebelumnya. ''Ya, kau cantik, kulitmu memang gelap, tapi bagus. Rambutmu juga seperti kebanyakan pria, indah…'' jawab Zia dengan polos mengagumi Anindira.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN