Hai, namaku Angela. Aku berumur tujuh tahun ini. Maksudku, tepat hari ini. Seluruh penjuru kerajaan mengucapkan selamat padaku.
Tidak melebih-lebihkan, memang setiap orang di negara ini, Liechtenstein, mengucapkan selamat ulang tahun padaku, seorang putri kerajaan mereka. Kami bahkan berpesta bersama sekarang. Ayahku, Sang Raja, membuat pesta ulang tahunku menjadi pesta yang bisa dihadiri oleh warga di seluruh kerajaan. Acara ini menjadi ajang bagi keluarga kerajaan mengenal warganya dengan baik. Oh, aku takkan bersombong hati jika banyak turis yang mengatakan Liechenstein, negaraku, adalah surga kecil di antara Austria dan Swiss.
"Angela ...," panggil suara seorang anak laki-laki yang sudah tidak asing di telinga. Sepupu laki-lakiku yang sangat lucu.
"Hai, Mars! Kau datang!" Dengan antusias, aku berlari menghampirinya untuk memeluk bocah laki-laki yang menerima pelukanku sembari tertawa-tawa senang.
"Kau ... memakai ... mahkota!" ucap bocah pendek bersurai hitam itu.
Aku menjitak kepalanya sambil mengomel, "Seharusnya kau juga memakai mahkota di kepalamu, Pendek!" ucapku sembari terkekeh mengamati Mars yang memegangi kepalanya sendiri.
"Benar-kah??" tanyanya dengan tergagap.
Mars memiliki sedikit masalah dengan berbicara. Paman, ayah Mars, bilang padauk bahwa Mars memiliki kondisi yang berbeda dengan anak-anak lainnya. Mungkin bagi orang dewasa, itu hal yang menyedihakan. Tapi menurutku, Mars yang tergagap seperti ini malah membuatnya semakin lucu. Kadang Mars sampai menangis saat aku mengigiti pipinya gemas. Bukan salahku dia lucu.
"Ya, Mars. Kau seharusnya adalah salah satu dari pewaris tahta setelah Noah dan Paman, kau tahu! Andai saja Ayahmu tidak pergi dari kastel, mengundurkan diri dari deretan pewaris tahta hanya untuk menjadi pemimpin perusahaan dan menikahi ibumu di Kanada."
"Tapi... aku... suka... Kanada!" rajuk Mars sambil memonyongkan bibir merahnya.
Mars adalah anak tunggal pamanku, Abraham René Wenzel, adik Ayahku yang berarti Mars juga seorang pangeran. Tapi kami dalam posisi yang sama, yaitu takkan bisa mendekati kursi tahta raja karena Mars tidak memiliki darah Kepangeranan. Apalagi Paman Abraham melepaskan semua gelar dan statusnya sebagai seorang pangeran dan pergi ke Kanada untuk menikah dan bekerja di sana. Karena itu, kerajaan pun takkan terlalu mengambil pusing mengenai status Mars. Di mata petinggi kerajaan Mars hanyalah relasi anggota kerajaan, tidak kurang dan tidak lebih.
Sedihnya, mereka juga memperlakukanku sebagaimana mereka memperlakukan keluarga Mars, meski aku masihlah menggelar status dan gelarku sebagai bangsawan keluarga kerajaan. Para petinggi, ayah dan ibu, semua orang, akan mencurahkan seluruh perhatian mereka kepada Sang Pangeran Mahkota, adikku yang baru berusia lima, setahun lebih muda dari Mars, Noah Wenzel. Noah dilahirkan untuk menjadi pusat perhatian di dunia kami. Bahkan saat ini pun, ketika kami membuat acara yang seharusnya menjadi acara spesialku, semua orang sibuk berbicara tentang Noah.
Ibu pernah bilang, aku harus mengerti sistem kepangeranan yang dianut kerajaan kami. Oke, aku mengerti. Itu artinya Noah-lah yang akan memimpin jalan pemerintahan kerajaan ini. Aku hanya tak suka mereka memandangku seperti sebuah mainan yang bagus.
Aku bukan mainan.
Aku seorang manusia. Aku juga ingin menjadi seorang pejuang seperti ayahku. Aku ingin menjadi pemimpin kerajaan dan berkuasa.
Tapi aku sadar, semua itu hanyalah angan belaka yang tidak akan mungkin terjadi hanya karena aku terlahir sebagai seorang perempuan. Perempuan akan menjadi Ratu, takkan pernah menjadi seorang Raja. Jadi, aku akan mengabaikan takdirku yang menyebalkan dan menjadi apa yang kuinginkan.
Menjadi seorang pejuang.
***
Hai, aku Rakheem. Aku berumur tujuh hari ini. Itu kata Ibu sebelum beliau menutup umur akibat penyakit di paru-parunya tadi subuh setelah salat.
Saat aku mendongakkan kepala ke atas, Terik matahari dengan kejam menusuk pandanganku. Hari ini cerah, aku tidak suka hari cerah. Tempatku tinggal sangat berdebu dan panas. Dan itu akan sangat buruk karena Ayahku baru saja pergi untuk berperang. Panas, debu, sesak di d**a akibat debu sangat menakutkan. Aku takut aku akan sakit paru-paru seperti Ibu.
Ayah ... kumohon, cepatlah kembali!
Ayah dan beberapa orang di desaku, memutuskan untuk tidak mengikuti kelompok pemberontak mana pun atau siapa pun yang mengangkat senjata untuk perang. Kata Ayah, aku, kami semua sebagai suku asli Pashtun, memiliki
kode etik Pushtunwali yang mencintai perdamaian. Di tempatku tinggal, aku harus jadi kuat untuk menjaga perdamaian, bukan untuk memulai kekerasan, apa lagi peperangan. Ketika dewasa nanti, aku harus jadi pria yang kuat karena aku adalah anak lelaki Ayah satu-satunya, aku juga harus menjaga adik perempuanku yang masih berumur dua tahun. Aku tahu aku harus menjadi lebih kuat, tapi ….
Suara bom terdengak menggelegar, memekikkan telinga seperti suara benda jatuh dari luar angkasa dan meledak. Adikku menjerit sekali, kemudian dia menggigit bibirnya sendiri dan menutup mulutnya dengan kedua tangan kecilnya itu. Aku sedang memeluknya sekarang, adik perempuanku yang penakut ini. Dia tidak menangis, tapi dia ketakutan. Jemarinya gemetaran di dadaku. Kami sedang sembunyi. Sekali lagi aku berdoa agar Ayah segera kembali, karena sejujurnya, aku merasa takut mereka akan menemukan kami di sini.
Mereka, para tentara berwajah asing dengan tubuh yang sangat tinggi, berkulit pucat sekali atau hitam, bermata dan berambut pucat, teriakan-teriakan mereka dengan bahasa yang sama sekali tak kupahami. Kata orang-orang desa, orang-orang asing itu datang saat perang ini terjadi. Semoga mereka tak menghampiri puing rumah kami di mana kami sedang bersembunyi sekarang.
Kata Ayah, aku harus bisa bertahan sebelum Ayah kembali karena setelah ini kami akan pergi bersama suku Pashtun lainnya untuk hidup damai di balik tebing, jauh dari tanah bergolaknya perang. Sebentar lagi Ayah pasti kembali. Sebentar lagi. Beberapa menit lagi.
"Kak ... aku takut ...,” bisik adikku, Nameera. “Kenapa Ayah lama sekali?" tanyanya, kini tak dapat menahan air mata untuk tak
terjatuh.
"Ayah akan segera datang, Nameera. Percayalah padanya."
Percaya. Ayah selalu mengatakan itu padaku.
Bahwa kami bertempur karena percaya.
Kami mati dalam kepercayaan.
Kami orang-orang yang percaya.
Kemudian terdengar langkah-langkah berat. Satu-dua orang, mungkin lebih, aku sudah tidak tahu lagi. Yang aku tahu, ada satu suara langkah seseorang berderap dengan cepat ke arah persembunyian kami. Aku menelan air liurku keras-keras. Kusapukan pandanganku penuh kewaspadaan. Sebelah tanganku mengeratkan pelukanku pada Nameera di dadaku. Nameera membungkam mulutnya sekali lagi dan meringkuk, berusaha menjadi semakin kecil di pelukanku. Sedangkan sebelah tanganku lagi mengangkat sebuah pistol. Pistol yang tadi diberikan Ayah padaku untuk menjaga diri.
Beberapa detik kemudian, mataku bertatapan dengan mata orang asing. Seseorang memasuki tempat persembunyian kami. Ia adalah seorang pria. Memiliki kulit putih sangat pucat, wajahnya memerah karena kulitnya terbakar. Bibirnya yang pink pucat menganga, menghirup napas sebanyak yang ia bisa, sedangkan matanya terbelalak saat menemukan kami.
"Oh?!" ucapnya kaget saat mata birunya mendapati kami di balik kegelapan, "Don't move!" ucap pria itu dengan menodongkan senapannya ke arah kami.
Apa yang sedang pria ini katakan? Apa dia sedang mengancam kami?
Pria itu berjalan perlahan-lahan mendekat, "What are you two doing here, kids? This area is restricted for civilian!" ucapnya sambil masih menodongkan ujung senjata yang ia bawa ke arahku dan Nameera bergantian
"Jangan mendekat! Kumohon, jangan mendekat!" teriakku.
Aku harus kuat! Aku harus! Tapi─
Aku gugup! Aku bisa merasakan tubuhku gemetar karena ketakutan, sementara pria asing itu semakin mendekat dan aku tak tahu apa yang sedang dia katakan atau apa yang sebaiknya aku lakukan. Tanganku tremor keras, aku hampir menjatuhkan pistolku. Pistol yang sedari tadi kubawa saat aku memeluk adikku. Pistol yang kata Ayah bisa kugunakan untuk melindungi diri saat kami terpojok. Tidak! Aku harus kuat! Aku tak boleh menangis! Tapi pandanganku buram oleh air mata. Aku bahkan tak dapat mengusap air mata itu karena aku harus menahan kepala Nameera di dadaku agar ia tak melihat pria menakutkan di depan kami itu.
"Whoa! You have a gun! Put it down, Afgans! Or I'll shoot you down!"
Dia bicara apa? Aku tak mengerti satu kata pun! Aku tidak bisa memtuskan apa yang harus aku lakukan jika aku tidak bisa memahami situasi. Memahami sekitarmu adalah kunci untuk bertahan hidup, kata Ayah. Tapi sekarang, apa yang harus kulakukan?!
"Rakheem!!"
Seseorang datang dan menodongkan pistol pada prajurit kulit putih itu.
"Ayah!!"
"Ayah ...!" tangis Nameera semakin pecah.
Ayah tampak panik karena tangisan Nameera.
Kemudian sebuah suara tembakan yang persis seperti suara halilintar terdengar nyaring.
Ayah menembak bahu pria itu hingga terjatuh dan menggeliat kesakitan di tempatnya.
"Nameera!"
"Ayah...!" Nameera melepaskan pelukanku dan berlari ke arah Ayah. Ayah segera mendekap Nameera dalam pelukannya yang penuh bercak darah.
Aku mendengar suara kain bergemerisik di sela suara Ayah dan tangis Nameera. Ada perasaan tidak enak dan begitu mendesak yang lebih dalam dari sekadar panik. Segera aku berusaha mencari asal suara itu. Saat aku mengembalikan pandanganku ke arah si pria asing, di saat itulah aku menyadari bahwa pria tentara itu ternyata masih bisa bergerak. Dia masih hidup!
Gilanya, dengan gerakan yang cepat dan terlatih, pria itu mengacungkan pistolnya pada Ayah.
Kemudian, satu ledakan dari ujung pistol kembali terdengar. Semua itu terjadi begitu cepat. Aku tidak terlalu memahami apa yang sedang terjadi kepadaku atau sekitarku saat itu. Yang jelas kuingat adalah kali ini suara ledakan yang harusnya sudah biasa di indera pendengaranku itu kini terdengar sangat asing dan luar biasa keras hingga rasanya, telingaku berdengung hingga aku hampir tidak bisa mendengar apa-apa lagi. Tanganku masih terarah pada tubuh yang tidak bergerak itu saat aku bisa merasakan napasku sendiri dan Ayah segera berteriak padaku agar aku segera bangun dan mengikutinya melarikan diri dari tempat ini.
Aku Rakheem, umurku tujuh tahun saat pertama kali menembak mati seseorang. Dan aku terus menangis sepanjang hari itu.