Mantan Aidan

1046 Kata
"Itu tuh mantannya kak Aidan." Salah satu temannya menunjuk dengan dagu, seorang cewek yang sedang berjalan naik eskalator bersama seorang lelaki. Walau gosip soal Aidan itu gay sudah menyebar luas bahkan sempat menggegerkan, sebetulnya masih banyak yang tak percaya juga. Apalagi yang sempat tahu kakau Aidan pernah punya pacar dari jurusan lain. Aidan juga tergila-gila. Aidan itu tipe cowok bucin kalau sudah jatuh cinta. Ia bahkan mungkin tak bisa membedakan mana yang hitam dan mana yang putih. Terkadang kalau salah pilih perempuan, akan rentan untuk dimanfaatkan. Ya memang ada beberapa perempuan yang matre kecuali mantan Aidan yang mereka lihat dari kejauhan itu. "Siapa namanya?" tanya perempuan paling cantik dan berdiri di tengah-tengah. Mereka berlima menjadi satu geng sejak awal masuk kampus. "Nayla Rianna. Anak komunikasi." "Seangkatan sama kak Aidan?" Juvia mengangguk. "Aku juga tahunya dari temen kosku. Ternyata ada yang tahu soal mereka." "Terus kenapa toh, kak Aidan, ngaku gay?" tanya Isyana. Satu-satunya alasan yang membuat Soraya berpikir adalah tak suka padanya? Tapi aneh juga. Dari sekian banyak alasan, kenapa harus bilang gay? Cowok-cowok lain kalau menolak cewek memangnya akan mengaku gay? "Orang yang berani ngaku gay kayak gitu, gak mungkin bener-bener gay." Kana juga mencermati hal itu. Soraya mengangguk kuat. "Ndak mungkin orang yang gay berani ngaku segamblang itu. Ndak malu pula diledek begitu sama temen-temennya. Itu artinya emang ada yang ndak beres kan sama kak Aidan?" "Apa dia masih sakit hati sama mantannya?" Mata-mata mereka belum teralihkan dari sosok Nayla yang kini sedang makan berdua dengan pacarnya. Mereka bahkan sampai mengukuti. Padahal tadi sudah makan. Kini pura-pura memesan minuman dan cemilan. Bair Soraya yang bayar. Hahaha. "Masih mau ngejar gitu?" "Masa iya sih? Kayak gak ada cewek lain aja. Kak Aidan manis begitu pasti banyak yang mau toh?" "Ya kan temen kita ini juga mau, Kaanaaaa!" Juvia gemas sendiri. Yang lain terkekeh kecuali Soraya. Ia masih berpikir panjang tentang alasan kenapa Aidan mengaku gay padanya. Tapi alih-alih bertanya, ia juga malah mati-matian menghindarinya sih. Ya kan awalnya masih syok dan percaya dengan begitu bodohnya. Baru tadi ketika mereka membicarakan masalah ini, hati dan pikirannya mulai terbuka. Sepertinya memang tak nungkin kalau cowok itu gay. Ya kan? "Kalian tahu, kak Nayla itu anak BEM atau gimana?" "Kenapa? Mau ikutan BEM toh?" Soraya mengangguk pelan. "Perekrutannya kan mau buka. Siapa tahu aku bisa deketin." "Kamu niat banget emang, Ya. Walau kak Aidannya gak jelas." "Abis mau gimana coba? Aku gak punya orang atau kenalan yang tahu kak Aidan itu kayak gimana. Hanya dari medsos." Teman-temannya terkekeh mendengar nada frustasi itu. Ya mau bagaimana lagi? Memang sulit sih. "Kalau ditolak lagi gimana toh?" Kana paling sangsi. Ia juga tak setuju dengan pendapat teman-temannya soal mengungkapkan perasaan pada laki-laki. Menurutnya itu agak menurunkan harga diri dan martabat wanita. Tapi teman-temannya beranggapan lain. Kalau tidak memulai, kapan lagi dapatnya? "Ya doa dulu, Kanaaaaa. Doa sama usahaaa. Jangan pesimis dulu dong." "Ya kan aku cuma nanya aja." Ia mengerucutkan bibirnya. Ia kan hanya was-was. Nanti kalau Soraya sedih lagi seperti saat itu bagaimana? Ikut-ikutan repot juga pastinya. "Emangnya ndak ada cowok lain gitu, Ya? Yaaa kan yang lebih ganteng dari kak Aidan itu banyak. Bahkan yang paling ganteng di angkatan kita aja naksir kamu toh?" Kepala Kana dijitak beramai-ramai. Gadis yang satu ini masih awam soal cinta. Yang namanya cinta kan tidak bisa ditawar-tawar. Kalau sukanya sama satu orang itu yaaaa mau bagaimana? Kalau tidak suka ya mau bagaimana? Tak boleh ada paksaan juga dalam mencintai. @@@ "Ya ke dokter dong, aaak. Ummi mana bisa ngobatin kamu. Dan lagi itu telinga kamu kan yang berdarah. Ummi kan cuma dokter umum. Mendingan kamu ke dokter sekarang!" Ia mengiyakan dengan bodoh. Entah kenapa ia tak bisa berpikir dan malah merengek pada umminya agar datang ke Jogja hanya untuk mengobatinya. Hahaha. Abinya tertawa di seberang sana. Ya Aidan mungkin tampak dewasa. Tapi ketika sudah jatuh sakit, ia lebih kekanakan dibandingkan dengan Adeeva sekalipun. Umminya geleng-geleng kepala begitu panggilan telepon itu diputuskan. Ada-ada saja kelakuannya. "Untung aja kuliahnya di Jogja. Coba kalo di US atau UK? Masa nyuruh umminya terbang ke sana juga?" Akib terkekeh. Ia menggaruk tengkuknya. Sejujurnya, ini memang agak-agak mirip dengan kelakuannya dulu yang rewel kalau sedang sakit. Ya namanya juga sedang sakit. Jadi harap dimaklumi ya? Walau dulu, mamanya juga dibuat jengkel. Ya sejenis Aidan lah. Diminta datang untuk merawatnya padahal alangkah lebih baik kalau berobat di puskesmas, klinik atau rumah sakit. Aidan berangkat dengan memesan taksi. Ia tak akan bisa menyetir dengan keadaan seperti ini. Jantungnya sungguh berdebar karena takut terjadi sesuatu. Ya kan takutnya gendang telinganya pecah dan tuli bagaimana? Siapa yang tidak takut cobaaa? Dokter spesalis THT ya, aaak. Jangan salah loh kamu. Untung umminya mengirim pesan. Ia juga bingung hendak memberitahu akan ke mana pada sang sopir taksi yang kebetulan bisa datang dengan cepat begitu ditelepon. "Ke mana, mas?" "Dokter spesialis THT, pak." "Ya maksud saya, alamatnya di mana?" Aidan nyengir. Baru hendak mengetik, ia tiba-tiba teringat sesuatu. Akhirnya ia mengeluarkan sebuah kartu di dalam dompet. Kemudian menyebutkan alamat itu pada sang sopir. Ya semoga saja masih jadwalnya memeriksa. Karena pada kartunya memang tak ada jadwal. Ia sungguh ketakutan. Sesekali telinganya berdenyit saking sakitnya. Mana ia ketakutan pula. Bagaimana coba menghadapi hari ini? Butuh waktu 20 menit untuk sampai. Ia melihat gedung klinik yang yah lumayan besar. Tapi tampaknya ada banyak dokter juga. Bukan hanya satu spesialis. Ia buru-buru turun dari taksi dan berlari masuk untuk mendaftarkan diri. "Gak ada UGD atau semacamnya ya, mbak?" Si mbak-mbak melongo. Ini kan klinik. Memangnya rumah sakit? "Mas kalau mau ke rumah sakit, nah gak begitu jauh dari sini." Ia hanya bisa mengeluh dalam hati sambil mengisi formulir. Kemudian menyerahkannya pada si petugas. "Kartu asuransinya dibawa, mas?" Ia buru-buru mengeluarkan dompetnya lalu ia berikan pada di petugas. Tak lama langsung dikembalikan. "Asuransi ini sepertinya gak bisa digunakan di sini, mas. Kalau mau, asuransi lain yang dari pemerintah misalnya." "Saya gak punya. Kalau debit saja nanti bisa?" "Ya bisa. Nanti dibayar di sana kalau sudah selesai berobat." Ia mengangguk. "Ini nomor antriannya. Silahkan duduk di sana, mas." Ia baru hendak berjalan ke arah deretan bangku yang ditunjuk tapi malah balik lagi. "Tapi dokter Diananya ada kan, mbak?" "Ada, mas." Ia kan hanya memastikan. Wlau terkesan bawel karena sedari awal ia sudah bilang kalau hanya mau diperiksa oleh dokter Diana. @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN