Gaduh

3011 Kata
"HAHAHAHAA!" Mentang-mentang sudah tak jomblo, mereka terbahak. Ya kan si Arya yang sedang mengejar Caitlyn. Sekarang pasti sudah berada di dalam kereta dan sudah dipastikan duduk di sebelah Caitlyn. Pasti sudah kegirangan kan? Mereka cukup memikirkannya juga sudah tahu. Lalua da kabar baik lagi. Apa? Mereka berhasil menukar cowok yang tadinya ya harusnya bertemu dengan Ellery. Tapi mereka tukar menjadi Darren. Hahaha. Bagaimana hasilnya? Ellery jelas kaget lah. Ia sebenarnya tak berniat mencari jodoh. Ya kan sudah kacau tuh dengan hidupnya kemarin m. Tapi eh tapi, baru kemarin dapat kabar dari teman SMA-nya kalau mantan yang mencampakkannya malah akan menikah dengan perempuan lain. Ia? Masih sakit hati kan? Eung....terganggu sih lebih tepatnya. Karena ia merasa terganggu itu lah, ia mendadak menghubungi temannya yang barangkali bisa memperkenalkannya dengan seorang cowok. Oke ia tahu ini cara yang salah. Ia sudah benar dengan prinsipnya yang lalu. Tapi ternyata, ia belum bisa menahan diri untuk tak membalas dendam. Balas dendam dalam artian kalau ia juga bisa mendapatkan lelaki yang jauh lebih baik dibandingkan dengan lelaki itu. Lantas apakah Darren sepadan? Atau justru melebihi ekspektasinya? Ya melebihi ekspektasi. Lelaki yang ia hendak temui sebenarnya hanya orang biasa. Kalau dari pekerjaan memang sangat lumayan. Penghasilan juga. Posisinya juga. Usianya juga sudah cukup mapan. Tapi Darren? Jelas di level yang berbeda. Ia buru-buru pamit sebentar ke toilet. Ya kaget sih karena temannya tak mengabari kalau lelaki yang harusnya ia temui malah Darren. Pasalnya ia ibgat kalau dari nama dan latar belakang pekerjaannya memang bukan Darren. "Sorry, Eeeeel!" Jennie nyengir. Ia bukannya ingin jahat sih. Hahaha. "Dia maksa dan lagi kan gue pikir nih ya, lo butuh seseorang yang bisa lo bawa ke pesta nikahan mantan lo nanti kan? Nah, mendingan Darren lah ke mana-mana." "Lo gila ya?" Ia meninggikan suaranya tapi kemudian menutup mulutnya. Jennie nyengir. "I swear dia tertarik sama lo. Gue juga udah cerita gimana posisi lo sekarang dan kebutuhan lo dari blind date ini. Please dicoba aja. Kalo gak bisa, minimal lo manfaatin aja buat sampai nikahan mantan oke?" Heiiiish. Ia dongkol. Mau mengomel lagi tapi teleponnya malah sudah dimatikan oleh Jennie. Asem kan? Ia mematikan teleponnya. Kemudian kembali ke meja di mana Darren berada. Memang benar-benar asem. Ia dongkol sekali. Ia duduk sambil mendengus. Ia bahkan tak menyembunyikan kekesalannya. Hahahaha. Jujur, ia sudah pernah bertemu Darren beberapa kali. Tapi ia tak pernah merasa tertarik. Kenapa? Karena ia melihat lingkungan Darren itu sangat jauh dibandingkan dengannya. Ia hanya seorang dosen loh. Gaji di pergurian tinggi swasta ya hanya yaa lumayan memang tapi kan tak sampai 2 kali UMR Jakarta. Meski ya ia memang ada bisnis juga sih. Bisnis baju yang lumayan. Tapi itu bukan yang bermerk juga. Hanya merk biasa miliknya yang ia bangun dari nol. Darren berdeham. Sedari tadi, mereka belum berbicara apapun. "Mau pesan apa?" Ia menawarkan lebih dulu. Ellery justru menatapnya balik. "Kamu sudah tahu kan apa rencana dibalik blind date ini?" Kalau cowok sebelumnya kan tak tahu. Ia dan Jennie bersepakat untuk tak memberitahu asal Ellery bisa bersikap baik. Nah dengan cowok ini kan kasusnya berbeda. Tahu-tahu Jennie sudah buka suara. Darren mengangguk polos. Ya kaget juga sih dengan cara Ellery yang terlalu berterus terang. Ia bahkan tak memikirkan imejnya sama sekali. Ya berhubung ia memang tak tertarik dengan Darren sih. Hahaha. Jadi ya sebodo amat juga dengan penilaiannya. "Terus masih mau lanjut?" Darren mengangguk lagi. "Kenapa harus mundur?" Ellery menghela nafas. "Aku hanya akan memanfaatkanmu hingga saat itu." Hingga hari pernikahan itu. Tak lama sepertinya. Kalau dari kabar temannya sih sekitar 3 minggu lagi. Undangannya sudah tersebar begitu? Ya karena temannya adalah sepupu mantannya ya sudah pasti tahu lebih dulu lah. "Well, aku sendiri gak keberatan. Tapi aku punya syarat." Ya Ellery melotot lah. Ini orang gila ya? Hahaha. Dalam sekejab, ia kebingungan dengan cara berpikir Darren yang menurutnya aneh dan tak biasa. Dimanfaatin kok mau? Mana pakai syarat pula. Astagaaa! Ellery melipat kedua tangan di depan d**a. "Aku gak melihat ada opsi itu." "Ya kamu boleh bilang begitu. Tapi kalau masih mau melanjutkan rencanamu, ku sarankan sekali untuk tetap memilihku." "Kenapa?" "Kamu tahu kalau hal ini akan disebar begitu saja kan? Seorang dosen hendak menyewa seorang lelaki untuk menjadi pendampingnya di pernikahan mantan?" Ellery terbahak. "Mengancam? Siapa yang percaya?" Ia saja sangsi kok. Ia malah terkekeh. "Kamu tahu aku bisa berbuat apa saja kan?" Tentu saja Ellery dongkol menatapnya. Ia hanya memanfaatkan sisi kelemahan tak terduga dan tak disadari oleh perempuan ini. Ya sekaligus menghentikannya dari upaya balas dendam itu. Darren juga tak serius-serius amat kok. Ia mana mungkin mau mendampingi seorang perempuan bukan mahram lalu datang berdua ke pernikahan mantannya si cewek. Ohoooo. Tidak begitu lah. "Aku gak pernah undang kamu ke sini. Kamu yang datang sendiri. Terus kamu yang bersedia, mengajukan syarat tiba-tiba mengancamku juga. Kamu sehat?" "Terus untuk apa kamu melakukan itu? Sebegitu penting mantanmu?" "Ya." Ia bahkan menyahutnya tanpa ragu. Masih ada sisa sakit hati yang orang lain tak mengerti. Ketika ia bercerita ini dengan Jennie, Jennie yang mengalami hal yang sama dengannya juga sama. Mereka mungkin akan mengambil keputusan yang sama. Mau orang lain bilang bodoh ya silahkan. Karena apa? Karena mereka belum bisa berdamai dengan kenyataan sih. Masih terperangkap di dalamnya. Kalau belum mau keluar dari kubang yang sama, salah kah? Salah sih tidak. Tapi bodoh sih iya. Darren ikut melipat kedua tangan di depan d**a. Tapi ia kemudian menutup mata. Lalu apa yang ia lakukan? "Aku bisa membantumu balas dendam pada mantanmu itu tapi dengan syarat." Walau ia tahu ini tampak bodoh dan tak masuk akal, anehnya ia tetap melakukannya. Karena apa? Sudah terlanjur tertarik dengan perempuan yang sebenarnya cerdas. Tapi mungkin bodoh untuk urusan asmara. "Aku bukan tipe lelaki yang suka menemui perempuan yang bukan mahramku seperti ini." Maksudnya hanya berdua. Ellery mendengarnya dengan seksama dan tampak ya memang tak sesuai kenyataan seperti yang ia katakan. Lalu? "Ya aku menemuimu memang hari ini karena ini satu-satunya cara. Dan soal syaratku, aku mau menjadi pasanganmu untuk menghadiri pernikahan mantanmu itu. Tapi tidak untuk pura-pura," ia membuka matanya dengan perlahan. "Aku ingin menjadi pasanganmu yang nyata. Bukan pacar. Karena aku tidak mengenal pacaran." @@@ "Lo ngap--" "Bantu kamu lah." Ia mengambil alih koper Caitlyn. Gadis itu memang membawa koper yang berisi barang-barang mahal. Ia datang jauh-jauh ke Jogja ya selain untuk bertemu Diana tentunya berdagang. Ya begini lah kalau ingin hidup mapan maka ia harus kerja keras bukan? "Kamu tuh ngapain sih? Kurang kerjaan ya?" Ia dongkol walau ya ia biarkan saja si Arya membantunya membawa koper. Mana jauh sekali pintu keluarnya. Ia tadi keluar dari gerbong paling belakang. Mana sudah leeat tengah malam ya. Ah hampir lupa, ia harus menelepon Diana. Takutnya Diana lupa menjemputnya. Apakah Diana lupa? Tidak sih. Ia sudah meminta ditemani temannya. Tapi temannya sibuk di IGD sejak satu jam yang lalu. Ia yang berusaha menahan kantuk sejak dua jam yang lalu malah pulas di rumah sakit. Alhasil? Ya ketika Caitlyn meneleponnya, sudah jelas tak diangkat. Meski berkali-kali. Arya tentu menyadarinya. Cowok itu berdeham. "Aku antar aja gimana? Kita naik taksi online di depan. Kalau kamu takut pulang sendirian. Ini kan sudah tengah malam." Ia mencari kesempatan dalam kesempitan. Caitlyn jelas melotot. Hahaha. Walau ia masih sibuk menelepon Diana. Ya memang tak diangkat. Ia menghela nafas. Wah feeling tak enak nih. Akhirnya ya ikut Arya menyebrangi jalan lantas memesan taksi online. Ia berencana pulang ke rumah Diana. Ya urusan kunci rumah? Ia punya kunci cadangan sih. Semoga Diana tak mengganti kuncinya. Adiknya kan parno. Jadi apa-apa suka diganti dua bulan hingga tiga bulan sekali. Ia tersenyum melihat Caitlyn. Yang ditatap masih sibuk dengan telepon. Ia khawatir tak bisa masuk. Tapi beruntungnya, ya tak lama sudah langsung diangkat. "Duh! Maaf, kak. Aku jalan sekarang!" "Mau jalan ke mana heh?" "Ya....stasiun kan? Yogya eeh Lempuyangan?" Caitlyn mendengus. "Aku udah di jalan menuju ke rumah kamu. Kamu buruan pulang deh. Masih di rumah sakit kan?" Ia nyengir. Ya memang. Ia tertidur. Kini buru-buru keluar dan berjalan menuju parkiran. Ya berdoa saja yang banyak semoga perjalanannya aman. "Ya udah. Nanti ketemu di gerbang ya." Keningnya mengerut. "Gerbang?" Ia nyengir lagi. "Aku abis ganti gerbang, kak. Ada yang model baru gitu, bisa otomatis. Ya mahal sih. Tapi lebih aman dari pada dorong sendiri." Aaah. Ia mengangguk-angguk. "Ya udah. Buruan pulang. Jangan sampai aku yang lebih dulu nyampe loh." Ia mengiyakan. Ia buru-buru mengendarai mobilnya. Sementara Caitlyn baru saja menyandarkan tubuhnya. "Kamu ada acara di Jogja?" "Mau tahu aja." "Ya kan nanya." "Kamu ngapain?" Ya dari pada urusannya diketahui Arya. Hahaha. Ini saja ia heran sih, kok bisa berbarengan? Kan aneh. "Ciyeee mulai perhatian...." Ia memutar kedua bola matanya. Hahahaha. Jengah dan menyesal sendiri karena sudah bertanya begitu. "Aku ke sini? Euung......gak ada hal penting sih. Cuma kayaknya feeling aja bakal ketemu kamu." Hueek. Bisa begitu ya? Hahahaha. Caitlyn sebal tapi tak bisa menunjukkannya secara penuh. Akhirnya hanya mendongkol. Hampir setengah jam kemudian akhirnya sampai di depan rumah Diana. Gerbangnya tentu saja sudah terbuka. Diana sudah sampai lebih dulu. Gadis itu sudah menunggu. Keningnya mengerut begitu melihat ada laki-laki lain yang turut berada di daam mobil dengan kakak tirinya. Bahkan sudah membantu menurunkan koper. "Pacar baru?" "Gila kamu?!" Diana hampir menyemburkan tawanya. Lucu dengan ekspresi tidak terima milik Caitlyn. Tapi kalau melihat gelagat si cowok tampaknya berbeda sih. "Temennya ya?" Ia ingin berkenalan dengan Diana tapi tangannya langsung ditepis oleh Caitlyb. Diana terkekeh. "Pulang! Pulang!" Malah disuruh pulang. Tubuhnya didorong biar segera masuk. Si supir juga disuruh cepst-cepat pergi. Diana tertawa. Ia tentu saja heran. "Kenapa sih? Memangnya siapa?" "Gak tahu. Tuh cowok rada gila. Muncul di mana-mana. Ngeselin." Ia tertawa. Ia membantu Caitlyn membawa kopernya. Lalu mengunci semua pintu. Jangan lupa untuk memastikannya sekali lagi. Baru kemudian ia menyusul Caitlyn ke kamar. Tentu sana tidur berdua. Ia lebih suka itu. Ya dari pada sendiri. Kalau sendiri tak akan tenang. "Lumayan kok, kak. Gak jelek. Ganteng juga." Ia malah memuji. Caitlyn mendengus. "Aku gak tertarik." Diana tersenyum tipis. Ya mereka sama-sama tidak ingin percaya cinta lagi. Karena cinta terasa mengerikan. Diana juga banyak menyesali hal itu. Tapi menjadi kelucuan tersendiri jika mereka membahas hal-hal semacam ini. "Kenapa?" Ia kaget karena melihat Diana tiba-tiba diam. Padahal tadi sudah cukup senang. Ia jarang sih melihat Diana bisa segembira itu. Diana mencoba tersenyum kecil. "Hanya berusaha bersyukur." Ya setidaknya kehidupannya cukup baik meski ia tak punya cinta. Ini pun sudah terasa cukup baik jadi tak boleh dimaki ya? Harus disyukuri. Ya kan? @@@ Seperti janji, ia datang ke daerah kos Nayla. Berhenti cukul jauh agar tak dicurigai lalu mengirim pesan pada Angie. Ia juga mengirjm lokasi keberadaannya. Gadis itu sedang apa? Tentu saja mengobrol dengan Nayla. Gadis itu berusaha mencari sesuatu yang aneh dari Nayla. Ya ingin tahu apa yang membuat Nayla bertengkar kali ini dengan Peter. Tapi tentu saja tak dijawab oleh Nayla. Terlalu malu untuk mengatakannya. Angie tak pernah tahu apa yang dilakukan Peter padanya. Ia memang sengaja menutup semua itu dari Angie. Karena kalau Angie tahu, gadis itu pasti akan mengamuk. Ya kan? "Yakin nih?" Gadis itu tak berhasil mengulik informasi apapun dari Nayla. Nayla masih memilah untuk mingkem. Ia memang ingin menyembunyikannya. Ia terlalu malu. Mana bisa ia mengatakan itu pada Angie. Rasanya ingin menangis juga tiap mengingat hal itu. Tak kuat rasanya. Ia berjalan agak jauh. Sesekali masih melambaikan tangan ke arah Nayla. Lalu berbelok dan mendapati Aidan dan mobil merahnya yang nyentrik. Ia buru-buru masuk ke dalam mobilnya. "Gimana?" "Apanya?" "Nayla kenapa?" "Cuma berantem doang katanya." "Yakin?" "Ya kalo dari dia sih ngomongnya begitu." Aidan menghela nafas. Ia menyalakan mesin mobilnya. "Emangnya kenapa sih, Dan?" Ia tentu bertanya-tanya. Aidan tak mungkin sampai datang kepadanya jika tidak ada urusan yang maha penting. Ini berarti sesuatu yang sangat serius. "Mas Ahmad sih yang bilang ada sesuatu antara Nay dan Peter." "Sesuatu itu apa?" Ia mengendikan bahu. "Dia gak menyebutkannya. Tapi kayaknya k*******n?" Ia malah bertanya balik. Angie tampak berpikir. Ya masuk akal juga. Walau..... "Tapi gak ada luka sih, Dan. Kalau dipukul pasti ninggalin bekas kan ya?" Ya betul juga. Aidan jadi berpikir. Tak tahu apa yang terjadi sebenarnya. "Coba tanya mas Ahmad deh." Hanya untuk memastikan. Mereka kan tak mau salah curiga. Aidan memencet nonor Ahmad. "Dia bener-bener gak cerita apapun ya?" Angie mengangguk. Ia memang tak mendapatkan apapun yang bisa dikulik. Tapi ya memang Nayla agak takut. Ke mana-mana pasti tak ingin sendiri. "Mas!" Ia mengucapkan salam lantas memberhentikan sebentar mobilnya. Tentu saja untuk berbicara dulu dengan Ahmad. Cowok itu mengangkat teleponnya tapi suasana agak ramai. Sedang di luar kah? "Sorry, Dan. Nanti aja gimana?" "Atau chat boleh, mas?" "Ya boleh." Telepon itu dimatikan. Ia ingin detilnya saja yang dimaksud oleh Ahmad. Begitu membaca pesan dari Aidan, Ahmad jelas termenung. Ia kira Aidan paham maksudnya. Namun ternyata tidak ya? Masih terlalu abu-abu. Ia hendak mengetik tapi tak jadi. Akhirnya ua mencari tempat yang agak sepi lalu membicarakannya dengan pelan pada Aidan. Bukan hanya Aidan yang terkejut tetapi juga Angie. Apalagi kan Aidan sengaja memperdengarkan omongan Ahamd pada Angie. Syok. Angie langsung emosi begiu mendengarnya. Ya marah besar lah. Pantas saja Nayla tak pernah membicarakannya. "Kamu gak tahu? Bener-bener gak tahu, Gie?" Ia menggeleng. "Ya aku tahu sih dia banyak berubah sejak pacaran sama Peter. Tapi aku gak pernah mikir akan sejauh ini." Ya bukan hubungan semacam ini. "Dan, balik lagi." Ia tak jadi pulang. Aidan berhah ria karena belum paham. "Balik ke kosan Nay. Kamu ikut." "Jangan, Gie. Dia mungkin gak akan mau ngomong." Angie menarik nafas dalam. "Tunggu aja gimana? Maksudnya jangan pergi duli. Aku gak tahu gimana respon Nay." Ia mengangguk. Akhirnya mobil itu kembali lagi ke daerah kosnya Nayla. Untung saja mereka memang belum terlalu jauh. Angie ingin sekali memukil sesuatu. Tapi tak bisa. Namun yang jelas, ia marah sekali. Bagaimana bisa Nayla membiarkan Peter melakukan sesuatu yang di luar batas? Mobil Aidan berhenti tak begitu jauh dari kosan Nayla. Angie menarik nafas dalam sebelum membuka pintu. "Kamu masih ada perasaan buat Nay, Dan?" Menurutnya sudah tak ada. Tapi sebagai teman masih memungkinkan. Angie juga tak perlu jawabannya kok. Gadis itu sudah berlari menuju kamar kos Nayla. Tentu saja ia ingin mendesak Nayla. Apa saja yang sudah mereka lakukan? Sesuatu yang di luar batas kah? Ia sungguh ingin tahu. Bukan karena ia suka tapi ini adalah bentuk khawatirnya. @@@ Ia jelas marah karena tak ada celah untuk menghubungi Nayla. Gadis itu memblokirnya. Mau pergi? Oho. Tak akan bisa. Tapi ia bisa seberani ini? Ohooo. "Eh! Eh! Peet! Peet! Mau ke mana?" Ia abaikan panggilan itu. Motornya sudah melaju kencang menuju area kosnya Nayla. Ia tentu datang untuk memaksa agar gadis itu mau bertemu dengannya. Meski hanya sebentar. Ia marah karena nomor ponselnya diblokir dan betapa beraninya gadis itu melakukan ini untuknya. Jelas lah itu membuatnya sangat marah. Peter kebut-kebutan. Ia tak sadar kalau baru sana melewati mobil merah yang terparkir tak begitu jauh dari kosnya Nayla. Beruntung karena Aidan mengenalo motor itu dan juga pemiliknya. Ia buru-buru menyalakan mesin mobilnya. Ya terserah lah kalau Nayla mungkin kaget dengan kehadirannya. Tapi ia ingin menjaga Nayla. Tampaknya sungguh sangat berbahaya. Di dalam kos sana, Nayla hanya bisa menangis. Angie tentu saja histeris. Tapi mau bagaimana? Sudah terjadi. Mereka tak bisa apa-apa. Hal yang membuat Angie tentu marah. Ditambah lagi pintu kamar Nayla diketuk seseorang. Tentu saja bukan lelaki melainkan perempuan. "Ada mas Peter, mbak." Tentu saja penghuni lain sudah tahu. Ia jelas ketakutan lah. Kan mau diajam bertemu "Waah s****n tuh cowok...." Ia berjalan keluar dengan bar-bar. Nayla buru-buru beranjak untuk mengejarnya. Ia tak yakin ini akan menjadi hal baik untuk diceritakan. Karena kenyataannya ya memang tidak baik. "Gie! Gie! Plis jangan!" Ia tak mau ada perkelahian apapun bentuknya. Meski ia harusnya tahu bagaimana kesalnya seorang perempuan begitu mendengar apa yang ia alami. Meski ia menceritakannya sambil terbata-bata. "Kamu harusnya bela diri tauk! Gak bisa cuma diem aja!" Ya mungkin Angie memang benar. Tapi ia tak bisa. Ia tak bisa seperti itu. Hanya orang gila yang rasanya mau diam saja karena tak paham dengan perasaan semacam itu. Angie keluar. Apalagi kan tahu-tahu Peter muncul itu. Nayla makin ketakutan dong. Apalagi Angie langsung berlari ke arah cowok itu. Tapi hal mengejutkan lain terjadi. Tahu-tahu yang muncul malah Aidan dan cowok itu yang memukul Peter habis-habisan. Gaduh. Semua gaduh dan tak akan berhenti. Ya setidaknya sampai akhirnya Nayla sendiri yang berteriak. Karena anak-anak satu kosan juga kaget dengan apa yang terjadi. Wajahnya sudah penuh air mata. Aidan berhenti dengan nafas tersengal. Ia? Ya marah lah. Gila apa ini cowok ya? "Pulang kalian!" Ia mengusir. Ia sudah cukup malu kondisinya. Ya semakin malu lagi karena kemunculan Aidan sih. Ia malu karena cowok itu tampaknya tahu. Padahal dulu ia begitu sombong ketika meninggalkannya. Ia menyedihkan ya? Ya memang. Kini ia hanya bisa menangis di dalam kamarnya. Namun ada teriakan lagi di depan kosnya. Apa? Ketika Peter melompat untuk memukul Aidan. Sempat kena sekali karena Aidan lengah. Lalu ia berhasil menghindar. Lebih beruntung lagi karena ada banyak masyarakat sekitsr yang baru datang. Cowok itu jadi tak melanjutkan aksinya lagi. Lalu? Ya Peter pulang. Ia tentu akan membuat perhitungan pada Aidan. Yang tadi tak akan cukup karena ia memang agak babak belur. Meski kaget juga dengan pukulan Aidan. Kenapa? Karena cowok itu tampaknya bisa bela diri. Tapi tenang. Balas dendan bagibya tak akan pernah cukup jika hanya melibatkan satu orang. Harus banyak dan ia akan pastikan cowok itu mati. Lihat saja. @@@ Sementara itu, pagi ini seseorang baru saja sampai di sebuah gedung apartemen. Padahal dua orang lainnya pergi menjemputnya ke stasiun. Tapi ia malah muncul di bandara. Ya itu pilihan dan terserahnya bukan? Apartemen baru dan tak begitu jauh dari pusat keramaian. Yang paling penting sih tak begitu jauh dari bisnisnya yang baru berdiri. Berhasil ia bangun dengan mengumpulkan banyak koneksi. Tanpa itu akan sulit. Ia juga harus mengeluarkan dirinya sendiri dari sebuah tempat yang yaah yang tak biasa bagi orang-orang waras lainnya. "Nah ini, pak. Seperti permintaan bapak, tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil." Ia berterima kasih. Ia biarkan pegawai itu berpamitan. Toh apartemen ini sudah siap untuk ditinggali kok. Ia biarkan kopernya tergeletak begitu saja lalu berjalan menuju jendela besar yang bisa dibuka. Yang dalam sekejab membuatnya tersenyum. Lalu? Welcome back, mister. @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN