Lea tahu, Melvin pulang ke rumah tidak dalam keadaan sepenuhnya baik-baik saja. Dibandingkan dengan tadi pagi, pria itu jauh lebih pendiam dan terlihat memikirkan lebih banyak hal lagi daripada sebelumnya. Sampai-sampai, Melvin tidak sadar dengan kehadiran Lea yang ada di ruang tengah dan sedang menonton televisi ketika dia pulang.
Cukup lama Melvin yang baru pulang terduduk di ruang tengah rumahnya dan hanya diam, tanpa menyadari bahwa ada Lea di dekatnya. Lea tidak tahu apakah ia harus merasa lucu atau justru miris karena melihat suaminya bersikap seperti itu.
Lea sendiri sengaja membiarkan Melvin hanya diam seperti itu dan tidak menyadari keberadaannya. Hingga sepuluh menit berlalu dan Melvin tidak juga sadar, baru lah Lea berdeham untuk menyadarkan laki-laki itu. Dan Melvin pun tersentak, terkejut dengan kehadiran Lea yang menurutnya tiba-tiba. Padahal, Lea jauh lebih dulu berada di sana sebelum Melvin datang.
"Mikirin apa sih sampai perlu waktu sepuluh menit untuk sadar kalau aku ada di sini?"
Melvin memandang Lea yang ada di sisi sofa satunya dan menggelengkan kepala. "Sorry," ujarnya. "Aku beneran nggak sadar kalau kamu duduk di sana. Udah daritadi?"
Lea terkekeh. "Jelas udah daritadi banget."
"Sorry," ujar Melvin sekali lagi.
"Kamu lagi mikirin apa emangnya? Ada masalah lagi kah?"
Kepala Melvin menggeleng. Hari ini ia tidak menghadapi masalah yang berarti. Semua bisa dikatakan aman dan terkendali di bawah perlindungan anggota The K dan juga Kahraman. Terlepas dari rasa was-wasnya, tidak ada penyerangan lain yang terjadi pada Melvin, maupun terror yang didapat oleh Abby dan ibunya.
Hanya saja, Melvin sedikit tidak fokus seperti sekarang karena masih memikirkan tentang asumsi Lea pagi ini mengenai Savero. It kinda hit him hard. Dan Melvin tidak bisa berhenti memikirkannya sepanjang hari ini.
Melvin pun beranjak untuk pindah duduk ke bagian sofa yang berada persis di sebelah Lea.
"Kita perlu bicara," ujar Melvin.
Lea mengangguk. "Aku tau. Sebelu kamu kerja tadi pagi kamu udah bilang kalau memang mau ngajak aku bicara perihal pernikahan kita, kan?"
Ah, bahkan Melvin lupa bagian itu.
"Nggak cuma tentang itu aja, tapi ada hal lain juga yang mau aku bilang."
"You can tell me everything, tapi nanti setelah kamu istirahat dan bersih-bersih dulu. Kamu baru banget pulang, Melvin baby."
"Itu bisa nanti, aku-"
Lea sudah berdiri dari duduknya di saat Melvin bahkan belum sempat melanjutkan perkataannya. Perempuan itu pun meminta Melvin untuk ikut berdiri, lantas melepaskan jas yang masih melekat di tubuh Melvin dan melonggarkan dasinya setelah Melvin berdiri.
Melvin berhasil dibuat takjub sebentar karena tindakan yang dilakukan oleh Lea itu. Rasanya aneh dan tidak biasa sekali karena baru kali ini Lea melakukan hal semacam itu padanya sejak mereka menikah.
"Kamu mandi dulu sana, aku mau suruh Bibi siapin makan malam. Kita bisa ngobrol habis makan nanti."
Jika pagi tadi Lea lah yang lebih banyak tersenyum geli pada Melvin, maka sekarang yang terjadi justru sebaliknya. Melvin tidak bisa menahan senyuman gelinya karena sikap Lea yang tiba-tiba jadi berubah perhatian begini.
Meski selama ini memang Lea bisa dibilang masih bersikap ramah terhadap Melvin, namun bukan berarti Lea perhatian. Bahkan terkadang, sikap Lea justru tidak bisa ditebak. Kadang ceria dan kerap mengatakan sesuatu untuk menggoda Melvin, kadang ia juga bisa jadi sangat tidak ramah dan menganggap Melvin sebagai seorang musuh.
Yang terjadi saat ini benar-benar sesuatu yang baru. Lea perhatian, seperti seorang istri pada umumnya.
"Kenapa malah senyam-senyum?" Tanya Lea. Tentu ia tidak bisa untuk tidak curiga karena Melvin yang tiba-tiba tersenyum setelah sebelumnya terlihat begitu kusut.
Melvin tertawa kecil dan menggelengkan kepala. "Nggak apa-apa, katanya. Aneh aja ngeliat kamu tiba-tiba perhatian. Sebelumnya kan nggak pernah."
Lea mendengus.
"Aku cuma ngimbangin kamu aja," ujarnya. Ditepuk-tepuknya pelan satu pipi Melvin dan ia lanjut berujar, "Kamu bilang mulai sekarang mau jadi suami yang baik, jadi aku rasa aku juga harus jadi istri yang baik, kan?"
"Rasanya agak aneh."
"Kamu tiba-tiba baik malah lebih aneh lagi."
"But it starts to feel a little normal, right?"
"Normalnya sampai bikin kamu udah mikirin rencana untuk bikin anak nggak?"
"Seriously, Lea?"
Lea hanya terkekeh, lalu berjalan meninggalkan Melvin yang masih berdiri di ruang tengah.
Ternyata, meskipun pernikahan mereka sekarang sudah terasa sedikit normal, bukan berarti Melvin bisa langsung terbiasa dengan gurauan Lea yang semacam itu.
***
Melvin dan Lea tidak bisa langsung bicara setelah makan malam, seperti yang sudah mereka rencanakan sebelumnya. Sebab Hermadi menelepon tepat setelah mereka makan malam dan mengajak Melvin mengobrol cukup lama lewat sambungan telepon itu.
Tentu saja yang mereka bahas bukan lah sesuatu yang tidak penting. Kenyataannya justru mereka membahas sesuatu yang sangat penting. Hermadi memberitahu Melvin bahwa tiga orang pelaku yang berhasil ditangkap itu masih belum mau buka suara sedikit pun. Mereka benar-benar menutup mulut rapat-rapat dan rela dipukuli hingga babak belur dan hampir mati, sehingga Hermadi bilang bahwa dirinya dan anggota lain memutuskan untuk berhenti menyakiti mereka.
Kabar baiknya, Hermadi bilang bahwa pihak Kahraman sudah mengantongi beberapa nama organisasi yang mereka curigai disewa oleh dalang yang hendak menghancurkan keluarga Wiratmaja. Kini Kahraman sedang dalam tahap menyelidiki nama-nama organisasi tersebut dan mencari tahu organisasi mana yang sebenarnya disewa oleh sang pelaku. Hermadi berjanji akan terus memberikan update tentang itu pada Melvin.
Melvin pun memberitahukan rencana yang terpikirkan olehnya untuk memastikan apakah pelakunya memang benar-benar ada di antara orang-orang terdekatnya. Dan Hermadi pun setuju pada rencana Melvin itu.
Selama Melvin bicara dengan Hermadi di telepon, Lea ada di sebelahnya, hanya diam dan mendengarkan. Ia sendiri agak tidak menyangka bagaimana hubungan Melvin dan ayahnya sudah begitu berubah hanya dalam waktu beberapa hari saja.
Melvin sudah tidak lagi menganggapnya sebagai musuh, melainkan sudah seperti rekan bisnisnya begitu. And that's good.
"Jadi, rencananya kamu mau bikin pesta?"
Kepala Melvin terangguk menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Lea tepat setelah Melvin mengakhiri percakapan teleponnya bersama Hermadi. Mereka ada di dalam kamar Melvin sekarang, sebab Melvin ingin percakapannya dan Hermadi tetap private dan tidak didengar oleh orang-orang yang bekerja di rumah mereka ini.
Keduanya duduk di atas tempat tidur, sama-sama bersandar pada kepala kasur dengan posisi kaki mereka tertutup selimut.
"Harusnya aku kasih tau kamu duluan tentang itu, karena di pesta itu nanti kita bakal terlibat secara langsung. Are you okay with that?"
Tanpa ragu sama sekali, Lea langsung menganggukkan kepala. "Sure."
Lea pun bisa langsung mengiyakannya karena tadi ia sudah mendengar Melvin menyampaikan rencana yang akan dilakukannya dalam pesta itu pada Hermadi. Jadi, tanpa perlu Melvin menjelaskannya lagi atau pun membujuk Lea untuk setuju, Lea sudah setuju dengan sendirinya. Ia tahu apa yang harus dilakukannya dan apa resiko yang harus dia hadapi pada pesta itu nantinya.
"Tapi pestanya masih beberapa minggu lagi, karena aku mau nunggu sampai kamu sepenuhnya sembuh. Dan juga, supaya skenarionya nanti terlihat nyata."
"Aku tau. Karena kamu juga harus menipu Savero, kan?"
Melvin melengos. Entah kenapa, ia merasa tertampar dengan perkataan Lea itu. Ia jadi tersadar bahwa rencana yang sudah dibuatnya itu bisa terpikirkan karena rasa curiga yang dia punya untuk Savero. Ia ingin memastikan apakah memang Savero terlibat. Dan jika dipikirkan lagi sekarang, rasanya ia tidak akan merasa siap jika memang terbukti pelakunya adalah orang yang dekat dengannya. Karena jika begitu, maka Savero juga harus dicurigai.
Sadar akan perubahan air muka Melvin, Lea pun mengulurkan tangan untuk menepuk-nepuk bahu suaminya itu.
"Kalau kamu mau rencana ini berhasil, kamu sendiri juga harus yakin untuk ngelakuinnya."
"Tenang aja, aku udah yakin," akhirnya Melvin bersuara lagi. "Dan aku juga bakal pastiin kalau kamu nggak akan kenapa-napa dalam rencana ini. Aku nggak akan ngebiarin sesuatu yang buruk terjadi ke kamu lagi."
"Aww, kamu betulan jadi suami yang manis ya sekarang," goda Lea.
Melvin memutar bola mata. "Aku serius, Lea."
"Loh? Emangnya siapa yang mikir kamu bercanda? I honestly think that you're being so sweet to me."
Melvin memilih mengabaikannya karena ada yang lebih penting untuk dibahas sekarang. Lagipula, ia tidak merasa jika apa yang dilakukan atau dikatakannya tadi manis. Lea terlalu berlebihan dan jelas sekali hanya ingin menggodanya.
Kini perhatian Melvin sudah sepenuhnya kembali pada Lea. Ia bahkan meletakkan ponselnya di atas nakas dan terlebih dahulu mengatur ponselnya tadi dalam mode silent agar pembicaraannya dan Lea nanti tidak akan terinterupsi.
Lea juga melakukan hal yang sama dengan memusatkan perhatiannya pada Melvin, menunggu laki-laki itu untuk membahas apapun itu yang ingin dibahasnya.
"Sekarang aku mau bahas tentang pernikahan kita."
Lea mengangguk paham. "Go on."
"Rencana aku di pesta itu nanti, aku mau itu jadi pekerjaan terakhir kamu yang berhubungan sama Kahraman."
Ada hening yang begitu panjang usai Melvin mengatakan itu. Tentu saja Lea terkejut bukan main sehingga ia hanya mampu terdiam memandangi Melvin dengan tatapan yang sukar untuk diartikan.
Melvin sendiri sengaja menungggu hingga Lea pulih dari keterkejutannya. Ia bisa mengerti bahwa apa yang dikatakannya tadi bukan lah sesuatu yang akan terdengar menyenangkan buat Lea.
"Maksud kamu...gimana?" Lea bertanya setelah ia bisa menemukan suaranya kembali.
"Setelah pesta itu nanti, aku nggak mau kamu kerja sebagai anggota Kahraman lagi."
"Tapi kenapa?"
"Lea, kita udah sepakat untuk ngelanjutin pernikahan ini, kan? I'm so serious when I said I wanted to keep you as my wife. Aku juga serius saat bilang mau berusaha jadi suami yang baik untuk kamu. Karena mau bertahan di pernikahan ini, aku juga mau semuanya jadi lebih real, kita bersikap selayaknya suami dan istri betulan, dan bukan lagi seperti musuh yang terpaksa tinggal di satu rumah yang sama," jelas Melvin dengan begitu serius. "Dan sebagai suami kamu, aku nggak bisa biarin kamu tetap bekerja sebagai anggota Kahraman. Terserah kalau kamu mau anggap aku terlalu mengatur atau apa, tapi aku nggak mau istri aku punya pekerjaan yang berbahaya. Kamu bahkan udah tertembak sekali, dan kalau kamu tetap lanjut kerja di Kahraman, who knows what's gonna happen to you in the future?"
Lewat percakapan ini Lea jadi sadar bahwa Melvin merupakan seseorang yang benar-benar memegang serius perkataannya, dan sangat all out untuk merealisasikan apa yang sudah dikatakannya itu.
"Aku tau, Lea, kamu pasti suka dengan pekerjaan kamu di sana. Walau aku nggak tau pasti apa aja yang kamu lakuin sebagai agennya Kahraman dan apa aja bahaya yang selama ini sudah kamu hadapi, tapi aku bisa menebak se-passionate apa kamu selama bekerja di sana. Dan aku tau, permintaan aku ini pasti berat buat kamu. Tapi tolong pertimbangin permintaan aku itu. Aku benar-benar sudah menganggap kamu sebagai istri aku sekarang, Lea. And I just want my wife to be safe."
Lea memijat pelipisnya sendiri. Tiba-tiba merasa pusing karena percakapan mereka ini. Seperti yang Melvin bilang, Lea memang menyukai pekerjaannya di Kahraman, tidak peduli jika pekerjaannya bisa sangat berbahaya sekali pun. She loves what she did there. Tapi, Lea juga paham kenapa Melvin memintanya untuk berhenti bekerja di sana.
Melvin jelas bukan orang biasa, Lea tahu itu. Bahkan, sedari awal dirinya diminta menikah dengan Melvin, ia tahu bahwa cepat atau lambat ia harus merelakan pekerjaannya di Kahraman. Sebelum ini ia tidak terlalu memikirkannya karena memang hubungannya dan Melvin sangat buruk sehingga ia berpikir bahwa mereka tidak akan bertahan lama.
But things are different now. Dalam satu malam Melvin berubah karena mengetahui kebenarannya, dan berpisah sudah tercoret dari agenda mereka. Lea sudah setuju untuk bertahan dalam pernikahan ini, dan itu artinya ia juga harus serius berkomitmen dengan Melvin sebagai istrinya. Sebagai seseorang yang harus menemani Melvin nantinya dalam semua ups and downs yang dia hadapi, menjadi ibu dari anak-anaknya nanti, dan ikut membantu Melvin untuk menjaga keluarga mereka.
Dan untuk melakukan itu, Lea tentunya tidak bisa membahayakan diri sendiri. Melvin benar, ia harus berhenti dari Kahraman. Hanya saja, Lea rasa ia tidak siap untuk itu.
Seolah bisa membaca pikiran Lea, Melvin pun berujar lagi, "Masih ada waktu untuk kamu mikirin semuanya dengan baik."
Lea menghembuskan napas.
"Kalau aku nggak mau berhenti gimana?"
Melvin menggelengkan kepala. "You have to, Lea. Kalau kamu memang masih mau jadi istri aku."
"Gimana kalau aku lebih memilih stay di Kahraman daripada jadi istri kamu?"
Sepasang mata Melvin mengerjap dan selama beberapa detik ia terdiam karena memikirkan itu. Lalu, ganti dirinya yang menghembuskan napas.
"Aku nggak bisa ngatur jawaban kamu," katanya. "Tapi aku harap, kamu mau mempertimbangkannya secara baik-baik. I really want us to stay in this marriage, for my father. Dan kalau kamu setuju, aku janji akan jadi suami yang baik buat kamu. Kita lupain kesepakatan open marriage yang sebelumnya ada, mulai semuanya dari awal, jadi pasangan suami-istri yang sebagaimana mestinya, dan kalau bisa...juga saling jatuh cinta."