Lea sudah resmi berhenti dari Kahraman. Ia benar-benar memegang ucapannya pada Melvin untuk langsung berhenti dari pekerjaan yang sudah dijalaninya selama bertahun-tahun itu, sebagai ganti agar Melvin tidak menemui Brian Wangsa.
Berhubung Melvin meminta Lea untuk berhenti hari itu juga, maka hari itu juga lah Lea memberitahu ayahnya dan saudara-saudaranya. Mereka sama sekali tidak masalah soal itu, terutama Hermadi yang menghormati keputusan Lea karena ingin menuruti kemauan suaminya. Sang ayah memang jadi yang paling bahagia di keluarga mereka mengetahui bahwa Lea dan Melvin memutuskan untuk tidak jadi bercerai. Even better, mereka justru berniat untuk menjalani pernikahan ini secara sungguhan. Tentu para orang tua sangat senang mendengar kemajuan pesat itu.
Saudara-saudara Lea juga tidak masalah. Sedari dulu, mereka memang tidak pernah mau mencampuri urusan satu sama lain meski selalu pasang badan pertama kali jika salah satu di antara mereka disakiti. Meski begitu, Ella jadi yang agak salty karena tahu Lea memutuskan untuk berhenti dari Kahraman karena Melvin mendesaknya untuk itu.
"Dia terlalu banyak nuntut nggak sih? I mean, it's your job. Something that you really love to do. Kok dia malah ngatur? Padahal, kalau pun emang dia mau mempertahankan pernikahan kalian, harusnya dia bisa terima kamu apa adanya, termasuk pekerjaan kamu di Kahraman."
Bahkan Ella kembali membicarakan topik itu di saat sekarang mereka tengah berkumpul berempat. Sisters' time, bisa dibilang begitu. Keempatnya makan di sebuah private room yang ada di restoran Jepang mewah. Sudah lama sekali sejak mereka hang out berempat seperti ini.
"Alasannya kan karena dia nggak mau istrinya punya pekerjaan yang berbahaya. Jadi, bisa dimaklumi banget." Letta menimpali. "Aku malah menganggap sikap Melvin yang begitu bisa dibilang perhatian. Even my husband wouldn't even care with my job or me."
Ella memutar bola mata dan mendengus. "Tetap aja banyak ngatur dan nuntut. Kalau aku jadi Lea, aku lebih milih cerai dariapada harus nurutin that jerk."
"Itu lah alasan kenapa sampai sekarang kamu masih nggak punya pasangan, bahkan Papa aja nggak tau mau jodohin kamu sama siapa, Kak. Nggak ada yang bisa tahan sama kamu kayaknya." Poppy mencibir sang kakak. "You're too salty as a human being."
"Oh shut up, kid."
Lea hanya bisa tertawa kecil dan menggelengkan kepala mendengar perdebatan kecil antara saudara-saudaranya itu. Sudah lama sekali rasanya mereka tidak mengobrol dan memiliki pendapat yang berbeda-beda seperti ini, karena terlalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Terutama Lea yang sudah disibukkan oleh pekerjaannya, juga disibukkan dengan drama pernikahannya.
Setelah menyuapkan sepotong salmon sashimi ke dalam mulutnya, Poppy bertopang dagu dan memberikan fokus penuhnya pada Lea.
"Jadi, setelah sekarang kamu berhenti dari Kahraman, kamu mau jadi full housewife gitu?"
Lea menggelengkan kepala. "Bisa gila aku kalau cuma jadi ibu rumah tangga dan nggak ada kegiatan apa-apa. Papa udah tawarin aku untuk full kerja di SA Group kok, jadi aku bakal terima tawaran itu dan full kerja di sana."
Poppy mengangguk-angguk mengerti.
Ganti Ella yang kembali bertanya. "Kamu betulan udah maafin suami kamu itu?"
Lea hanya menjawabnya dengan anggukan kepala.
Ella spontan mencibir. "Sampai sekarang aku masih nggak habis pikir kok mau aja kamu langsung maafin dia. Sampai sekarang, aku masih kesel kalau ingat segimananya dia selalu curiga sama keluarga kita. Bahkan, dia dulu kerjanya juga marah-marah terus kan sama kamu?"
"Untuk yang satu ini, aku juga setuju sama Kak Ella." Poppy menyahut.
Letta yang sedari tadi hanya diam dan sibuk mendengarkan pun akhirnya berdecak. Mulai sebal dengan Ella yang terus memberikan komentar-komentar salty-nya terhadap Melvin.
"Mau gimana lagi juga? Melvin nggak bisa sepenuhnya disalahin. He knew nothing back then. Wajar kalau dia was-was dan curiga sama kita yang terkenal dengan rumor buruk. Apa lagi, saat itu dia tau tentang kejanggalan kematian papinya."
Lea tersenyum penuh terima kasih pada Letta atas pembelaan yang diberikannya. Sebagai yang paling dewasa di antara mereka, Letta memang jadi yang paling bijak. Meski tidak selalu menunjukkan kalau dirinya menyukai Melvin, namun Lea tahu bahwa selama ini Letta juga tidak pernah merasa terganggu pada kehadiran Melvin, apa lagi sampai membencinya.
"Kak Letta bener kok, wajar waktu itu Melvin curigaan sama keluarga kita karena dia nggak tau apa-apa. Dan aku juga bukannya langsung maafin dia dan bisa terima kelakuannya. I was mad as well. Makanya aku sempat minta cerai karena capek dituduh yang enggak-enggak terus, dan saat itu Papa masih kekeuh untuk merahasiakan semuanya dari Melvin untuk menghormati permintaan papinya Melvin."
"Ew, you're already in love with him."
"Excuse me? Of course I'm not."
Lea protes dengan asumsi sang kakak, namun Ella memasang tampang menyebalkan seolah tidak percaya sama sekali dengan jawaban Lea. Padahal, Lea sudah mengatakan yang sejujurnya.
Terlalu cepat untuk bilang jika dirinya dan Melvin sudah sampai ke tahap itu. Memang keduanya kini sudah saling peduli kepada satu sama lain, namun untuk sampai ke tahap itu? Rasanya masih jauh. Meski bukan berarti juga, itu tidak akan terjadi nantinya.
"Kalau juga iya apa salahnya sih, Kak? He's your husband. Kalau mau bertahan, ya kalian emang harus saling cinta, kan?" Poppy ikut-ikutan.
Lea pun mendengus. "Belum saatnya, karena masih banyak yang harus diurus."
"You will love him, trust me."
"Not you too, Kak Letta."
Letta mengangkat bahu saja dan tersenyum jahil.
Percakapan ini membuat Lea jadi teringat dengan pillow talk antara dirinya dan Melvin tempo hari. He said he will love her someday in the future. Namun, ketika Melvin bertanya apakah Lea akan melakukan hal yang sama, ia memilih untuk tidak menjawabnya dan berujung hanya menyuruh Melvin tidur. Melvin sendiri pun santai saja dan tidak memaksa Lea untuk memberi jawaban.
Dan alasan Lea untuk tidak menjawab adalah karena ia tidak mau mengatakan sesuatu yang belum pasti akan terjadi. Love is a strong word. Hadirnya juga tidak bisa diprediksi dan tidak bisa direncanakan. Karena itu, Lea tidak mau mengiyakan maupun bilang tidak atas pertanyaan Melvin itu, sebab ia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan nantinya.
"Anyway, beberapa orang masih taunya kamu hamil kan ya?"
Lea menganggukkan kepala saja, sementara Letta yang menanyakan itu sudah kembali terlihat serius, dan tidak tersenyum jahil lagi.
"Kalau dihitung dari pesta kemarin, harusnya sih baby bump kamu udah kelihatan. Kalau orang-orang yang ada di pesta itu sadar perut kamu masih rata, mereka pasti wondering deh. Jadi, mending sekarang pikirin, ujungnya mau gimana sandiwara kehamilan kamu ini."
Lea otomatis melihat ke arah perutnya yang memang masih sangat rata. Well, tentu saja begitu. Sebab Lea memang sebenarnya tidak hamil. Jangan kan hamil, berhubungan badan dengan Melvin saja belum pernah.
Yang dikatakan oleh Letta memang ada benarnya. Orang-orang mungkin akan mulai menyadari, terutama anggota keluarganya Melvin.
"Pura-pura keguguran aja." Ella menyarankan. "Bilang kamu kepeleset di kamar mandi atau apa kek."
"Basi banget kalau keguguran," timpal si adik bungsu. Ia pun tersenyum jenaka pada Lea. "Daripada keguguran, mending make it happen aja. Kamu hamil betulan, Kak. Lagian, Papa sama Tante Mayana pasti senang banget kalau kamu jadinya hamil beneran."
"Ew, disgusting." Ella meringis jijik.
"Apanya yang disgusting sih? Mereka kan suami-istri, jadi ya udah seharusnya punya anak dong?"
"Can't imagine aja Lea berhubungan sama Melvin."
"Oh seriously Kak Ella? Siapa juga yang suruh bayangin? Kalau pun terbayang juga, it's not something disgusting tho. Kak Lea malah bisa dibilang beruntung. Walau suaminya acted like a jerk, but he is hot. Super dupet hot. Dan aku tebak, dia hebat in bed, so it's a win for our sister."
Lea hanya geleng-geleng kepala saja atas kegilaan yang dibicarakan oleh Poppy.
Tapi, diam-diam ia kepikiran juga. Yang dikatakan oleh Letta ada benarnya, ujung dari sandiwara kehamilan ini harus dipikirkan, sebelum orang-orang terlanjur curiga nantinya.
Begitu pulang nanti, Lea berniat untuk membicarakan hal ini dengan Melvin.
***
Rasanya sulit sekali untuk pura-pura tidak tahu apa-apa, di saat sebenarnya tahu banyak hal. Itu lah yang dirasakan oleh Melvin setelah Savero merebut amplop cokelat itu dari tangannya. Ia sangat ingin mengonfrontasi Savero tentang amplop bertuliskan Noir itu, namun ia teringat dengan kata-kata Lea untuk tidak boleh gegabah lagi. Semua langkah yang Melvin ambil menyangkut kasus ini, harus dipikirkan secara matang-matang dan direncanakan karena memang semuanya tricky.
Karena itu, Melvin masih harus tetap bersikap biasa saja, meski Savero berbohong tepat di depan wajahnya. Ia bahkan sampai harus mencari alasan untuk pulang ke rumah tidak lama kemudian, karena tidak sanggup jika harus berada lebih lama lagi di dekat Savero di saat kepalanya terasa ingin pecah.
Sesampainya di rumah, Lea ternyata belum pulang. Padahal, Melvin ingin membahas pertama kali tentang apa yang ditemukannya di apartemen Savero itu pada Lea. Melvin tahu bahwa Lea hari ini sedang menikmati girls' time bersama saudara-saudaranya. Karena tidak ingin mengganggu waktu mereka, Melvin pun memilih menunggu hingga Lea pulang. Dan selama itu, rasanya ia hampir gila.
Lea baru pulang menjelang malam. Melvin tengah duduk gusar di sofa yang ada di ruang tengah, ketika Lea pulang. Melihat istrinya itu datang dengan berbagai kantung kertas hasil belanjanya hari ini, Melvin langsung berdiri. Lea bahkan belum sempat menyapanya, namun Melvin sudah menarik Lea untuk berjalan cepat masuk ke dalam mereka.
Melvin ingin bicara secara private dengan Lea untuk membahas persoalan ini.
"Hey, kamu kenapa? Aku bahkan--"
"You wouldn't believe this. Tadi aku ke apartemen Savero, dan aku nggak sengaja ketemu amplop yang ada tulisan Noir. Aku nggak tau apa yang ada di dalam amplop itu karena begitu aku baru mau buka amplopnya, Savero muncul dan langsung ambil amplop itu dari tangan aku. Dia bilang, isi amplop itu bukan apa-apa dan cuma tagihan maintenance apartemen. He clearly lied in front of my face! Aku rasa, apa yang ada di dalam amplop itu kemungkinan besar kontrak kesepakatan antara Savero dan Noir. f**k it, I can't believe it's happening. Bukti yang aku liat itu semakin bisa memperkuat kalau Savero bisa jadi pelakunya? Aku benar-benar nggak tau harus apa, Lea. It's so f****d up, aku--"
Setelah Melvin memotong perkataan Lea, akhirnya Lea melakukan hal yang sama dengan memotong penjelasan panjang Melvin itu. Ia meletakkan ibu jarinya di depan bibir Melvin, membuatnya sukses berhenti bicara dalam sekejap.
"Slow down, okay? Kamu panik banget sampai ngejelasin itu semua dalam satu tarikan napas."
Mereka bahkan masih berdiri di depan pintu kamar, karena sedetik setelah pintu itu tertutup, Melvin langsung menjelaskan itu semua panjang lebar. Lea pun menarik Melvin untuk duduk di tepi tempat tidur.
"Sorry," gumam Melvin. "Aku udah nungguin kamu pulang daritadi, makanya aku nggak sabar banget mau ngasih tau ini semua ke kamu. Aku bilang siapa-siapa soal ini kecuali ke kamu. It's so shocking for me and it's so f****d up."
"Yang penting sekarang kamu tenang dulu."
Melvin pun mengusap wajahnya dan mengatur napas, berusaha keras untuk menenangkan dirinya sendiri. Sejak pulang ke rumah, Melvin memang belum bisa tenang sama sekali. Baru di saat Lea datang sekarang, ia bisa mengendalikan dirinya dan kegusaran yang semula ia rasakan jadi sedikit berkurang. Mungkin karena akhirnya Melvin bisa membagi informasi ini dengan orang lain, atau mungkin juga karena kehadiran Lea dan caranya mengusap-usap lembut punggung Melvin lah yang membuatnya bisa jadi lebh tenang.
Begitu melihat Melvin sudah cukup tenang, Lea pun bertanya, "Jadi, di apartemen Savero tadi kamu nemuin amplop yang ada tulisan Noir?"
Melvin mengangguk.
"Kamu yakin tulisannya Noir?"
"Aku yakin. Dan tulisan itu asalnya dari cap."
Lea pun mencari ponselnya dalam handbag Chanel yang dia bawa dan bahkan masih tersampir ke bahunya, belum sempat dilepas karena ia sudah keburu meladeni Melvin yang panik. Kemudian, Lea mencari sesuatu dalam ponselnya dan menunjukkannya foto pada Melvin.
"Tulisannya begini?"
Yang ditunjukkan oleh Lea adalah gambar tulisan Noir dengan logo dan font yang sama seperti yang dilihat oleh Melvin di amplop milik Savero. Ia yakin sekali. Meski hanya melihatnya sebentar, namun Melvin ingat dengan betul dan semuanya memang sama persis.
"Persis," jawab Melvin.
Lea mengangguk mengerti. "Kalau begitu, artinya memang amplop itu dari Noir."
"f**k it."
Konfirmasi dari Lea hanya membuat Melvin kian frustasi. Walau sudah melihat buktinya dengan mata kepala sendiri, namun sebagian kecil dari hati Melvin masih sedikit berharap jika apa yang diduganya tidak akan jadi kenyataan. Namun, konfirmasi Lea seolah menamparnya bolak-balik dengan kenyataan.
Kini Melvin sudah menjambak rambutnya sendiri. Dari raut wajah suaminya itu, Lea tahu betapa stressnya Melvin sekarang. Tidak mudah untuk menerima kenyataan bahwa kemungkinan, pengkhianatan dari orang yang sangat dipercayainya akan benar-benar terkuak sebentar lagi.
Lea pun beringsut mendekat pada Melvin untuk memberinya sebuah pelukan. He might need it right now. Lea melingkarkan lengannya di pinggang Melvin, lalu menarik kepala Melvin agar bersandar di bahunya. Melvin tidak menolak dan membenamkan wajahnya di ceruk leher Lea, lalu balas memeluk perempuan itu.
"It's okay. Apapun yang terjadi nantinya, aku selalu ada di sisi kamu. Dan kita bakal cari cara untuk figure it out."
Melvin hanya diam dan kian mengeratkan pelukannya pada Lea.
Satu hal baru yang Lea tahu tentang Melvin sejak mereka menikah, adalah fakta bahwa sebenarnya, di balik cangkangnya yang keras, Melvin merupakan seseorang yang sangat fragile. Selama ini Melvin selalu menjaga inner circle-nya secara eksklusif dan tidak dekat dengan sembarang orang. Dia tidak terbiasa dengan sebuah pengkhianatan karena sudah merasa bahwa orang-orang yang dia pilih untuk percaya adalah orang-orang yang tepat.
Oleh sebab itu, ketika sebuah pengkhianatan mungkin saja terjadi, Melvin merasa sangat tidak siap untuk mengkhianatinya. Hal itu menyakiti Melvin dan menghancurkannya. Di masa seperti ini, yang Melvin butuhkan hanya lah support dari orang-orang terdekatnya.
Dan sebagai istri Melvin, Lea berjanji dalam hati untuk selalu memberi support penuhnya pada sang suami.