Sebelum pulang dari Greece, Lea sudah membuat Melvin berjanji untuk tidak memikirkan apa yang dikatakan oleh Phoebe pada mereka. Lea semata tidak ingin Melvin berpikiran buruk sehingga membawa negative vibes ketika tiba di rumah nanti.
"Kamu sendiri bilangnya mau memulai lembaran baru, dan nggak mau memikirkan apapun yang berhubungan sama masa lalu lagi. Jadi, jangan pikirin yang Phoebe bilang ya? Everything is going to be alright. Sampai di Jakarta nanti, kita harus selalu happy, janji?"
Lea bilang begitu. Ia bahkan tidak menolak untuk berangkat ke bandara sebelum Melvin berjanji soal itu.
Setelah dipikir-pikir lagi, Melvin pun merasa kalau yang dikatakan Lea ada benarnya. Tidak seharusnya ia percaya pada kata-kata Phoebe yang tidak masuk akal dan belum tentu benar itu. Toh, sedari awal memang dirinya tidak pernah percaya akan hal-hal semacam itu. Apa yang Phoebe katakan pasti tidak lebih dari kebetulan yang ditambah kesan dramatis untuk membuatnya terlihat seperti seseorang yang memang bisa melihat masa depan atau tahu seperti apa kehidupan seseorang.
So, f**k it. Melvin hanya akan berbahagia sepulangnya ia dari bulan madu bersama Lea. After everything, that's what he deserves, right? Happiness.
"So, how's your honeymoon?"
Maka, ketika ditanya begitu oleh Abby, Melvin tidak bisa menahan senyum lebarnya. "It's fun," ungkapnya jujur. "Greece was nice."
Abby mencibir. "Greece atau Lea?"
Melvin hanya nyengir.
Kini Melvin sedang berada di rumah orang tuanya, diminta untuk makan siang bersama dengan sang ibu dan juga adiknya. Setelah dua hari tiba di Jakarta dan perjalanan bulan madunya berakhir, Melvin memang belum bertemu dengan keluarganya.
Kebetulan hari ini weekend, jadi Melvin tidak perlu ke kantor. Sementara itu, Lea tidak bisa ikut karena dia jadi in charge untuk membantu mengurus acara pertunangan Ella dan Pandu yang rencananya akan dilaksanakan tidak lama lagi. Berhubung Letta sudah pindah ke Dubai, jadi tugas itu diberikan kepada Lea. Dan katanya, hari ini mereka akan meeting dengan para vendors untuk acara nanti.
Seharusnya Melvin juga ikut menemani Lea, andai saja ia tidak diminta bertemu oleh keluarganya. Mereka bilang, ada hal penting yang perlu dibicarakan.
"Lihat deh, Mi, yang baru pulang bulan madu sumringah banget." Abby kembali meledek sang kakak ketika ibu mereka muncul, dan ikut bergabung bersama mereka berdua di ruang makan.
Mayana melempar senyum pada putranya. "Wajar dong, Abby, namanya juga baru pulang bulan madu," ujarnya.
"Tetap aja aneh, Mi. Dulu kan Melvin benci banget sama Lea dan selalu menganggap kalau Lea sama keluarganya jahat. Look at him now, head over heels over her already. Memang hukum karma tuh berlaku ya." Abby berujar lagi.
"Yah, namanya juga manusia, perasaannya bisa berubah. Lagipula, kemarin itu Melvin dan Lea cuma kurang pendekatan aja."
"Mami sama Papi harusnya kalau mau jodohin jangan dadakan," sahut Melvin.
"Mau dadakan atau enggak juga ujungnya kamu sudah skeptis duluan sama keluarga Sadajiwa."
Melvin meringis. "Itu kan dulu."
"Sekarang?" Tanya Abby.
"They're my family too."
"Oh wow, sebuah character improvement," cibir Abby.
Melihat Melvin yang sekarang sudah dekat dengan keluarga Sadajiwa dan terlihat begitu peduli pada Lea membuat Abby memang agak salty padanya. Bukan karena Abby tidak senang karena sang kakak sudah bisa menerima secara penuh pernikahannya dan Lea, tapi semata karena ia Abby menganggap Melvin menjilat ludahnya sendiri. Untuk itu, ia pantas untuk diledek seumur hidup.
Melvin mendengus saja menanggapinya, sementara Mayana hanya bisa geleng-geleng kepala, kemudian menyuruh anak-anaknya untuk mulai makan. Sebab tidak ada lagi yang perlu ditunggu. Mereka sudah berkumpul bertiga, semua makanan pun telah terhidang rapi dan menggugah selera di atas meja makan.
Tidak lama setelah mereka mulai menyantap makan siang, Melvin kembali membuka percakapan.
"Jadi, hal penting apa yang mau diomongin ke aku?" Tanyanya. "Not a bad thing, kan?"
Setelah mengunyah dan menelan makanan di mulutnya, Abby merespon dengan menggelengkan kepala cepat. "No, no, not a bad thing at all," ujarnya. "Aku sama Mami cuma mau bahas soal kepulangan aku ke Melbourne."
Melvin menganguk-angguk paham. "Kapan rencananya kamu mau balik ke sana?"
"Paling lambat bulan depan."
"Terus?"
"Mami ikut sama aku."
Melvin tidak terlalu kaget mendengarnya, karena memang sudah bisa menebak. Jika Abby kembali Melbourne, itu berarti ibunya akan tinggal sendirian di rumah ini, sementara beliau tidak ingin ikut tinggal di rumah Melvin karena terlalu sayang dengan rumah ini. Kalau pun Melvin menyarankan agar dirinya dan Lea yang pindah ke sini, mungkin sang ibu tidak akan menolak. Namun, Melvin juga tahu jika setelah semua yang terjadi, Abby tidak akan merasa sangat kesepian tinggal di sana sendiri.
Mereka saling membutuhkan, dan Melvin bisa memaklumi itu.
Mayana menatap Melvin lurus, terlihat sedikit berat juga karena harus pergi meninggalkan Melvin lagi. Di saat Melvin belum lama kembali ke Indonesia, ibunya justru yang akan pindah ke Melbourne bersama Abby.
"Nggak apa-apa kan, Melv?"
Melvin tersenyum dan mengangguk. "Nggak apa-apa," ujarnya. "I kind of expected it. Aku ngerti kalau Mami dan Abby butuh satu sama lain. Karena kalau kalian tinggal sendiri-sendiri, rasanya juga pasti sepi banget."
"Terus, kamu gimana?" Tanya Mayana khawatir.
"Aku nggak apa-apa, Mami. Aku kan udah nggak tinggal sendirian lagi sekarang. Ada Lea, ada keluarga Sadajiwa, jadi aku nggak akan kesepian di sini. Dan bisa jadi juga...sebentar lagi orang rumahku anggotanya nambah. Iya, kan?"
Mayana baru bisa tertawa karena Melvin bicara begitu.
"Ditunggu kabar baiknya loh," sahut Abby. "Nggak sabar punya keponakan nih."
"Betul." Mayana mengangguk. "Mami juga nggak sabar punya cucu. Nanti kita sering-sering main ke sini kalau Melvin junior sudah ada."
Melvin tersenyum lebar.
Sejak pulang dari bulan madu bersama Lea kemarin, feeling-nya mengatakan bahwa kabar baik itu akan mereka dengar sebentar lagi. Yah, walaupun belum ada tanda-tanda kalau Lea hamil karena istrinya itu masih sangat bugar, tanpa ada indikasi kelelahan atau mual di pagi hari selayaknya orang yang sedang hamil.
"Nanti aku sama Lea ikut antar kalian ke Melbourne ya," ujar Melvin kemudian.
"Mau extend bulan madu atau gimana nih?" Abby kembali meledek.
"Sebenarnya sih mau nunjukin ke Lea aja dimana tempat aku menghabiskan masa muda, tapi boleh deh. Makasih idenya, Abby."
"Ew, ketagihan bulan madu ya?"
"Iya, ketagihan."
Abby langsung pura-pura muntah dan Melvin tertawa saja. Mereka baru diam lagi setelah Mayana menegur dan menyuruh mereka untuk menghabiskan makanan dengan benar.
Dalam diam, Melvin merasa sangat senang dengan makan siangnya bersama sang ibu dan adiknya siang ini. Their life is starting to get normal. Dan meski perlahan, mereka sudah mulai baik-baik saja sekarang.
***
Setelah dari rumah orangtuanya, Melvin menjemput Lea yang sudah selesai meeting dengan vendors acara pertunangan Ella nanti. Hari sudah hampir gelap ketika Melvin tiba di mall tempat restoran yang menjadi lokasi meeting-nya Lea dan yang lain berada. Ia menyetir sendiri ke sana, karena merasa jika situasinya sudah aman, dan ia ingin bersantai dengan menyetir sendiri di akhir pekan ini.
Lea bilang, semuanya sudah pulang, jadi ia meminta Melvin untuk menjemputnya di pick up point pintu masuk mall yang ada di depan lobi. Sesampainya di sana, Lea sudah menunggu. Melvin tersenyum sendiri melihat Lea yang terlihat seperti seorang mahasiswa. Dengan penampilan kasual hanya mengenakan celana jins hitam, sweater ungu muda, dan rambutnya pun digelung longgar. Yang membuat orang-orang tidak akan berpikir kalau Lea adalah mahasiswa mungkin adalah tote bag keluaran Dior yang dibawanya.
Style Lea memang selalu berubah-ubah dan tidak hanya tetap pada satu style saja. Katanya, sesuai situasi dan suasana hati. Tapi, tetap saja yang membuat Melvin paling kaget adalah penampilan Lea yang nyaris serupa rocker ketika mereka bertemu di sebuah kafe sebelum menikah waktu itu. Ketika Melvin bertanya kenapa Lea tidak pernah berpenampilan seperti itu lagi, ia menjelaskan kalau penampilannya waktu itu bagian dari pekerjaannya sebagai anggota Kahraman.
Lea tidak langsung sadar ketika mobil Melvin sudah berhenti di depannya. Melvin pun membuka kaca mobil, dan baru lah Lea menyadari kehadiran suaminya, lalu cepat-cepat masuk ke mobil. Wajah Lea nampak kusut begitu ia sudah duduk di kursi penumpang sebelah Melvin.
Melvin pun menyadari kekusutan di wajahnya Lea.
"Are you okay?" Tanyanya khawatir.
Lea menghembuskan napas berat. "Pusing. Capek. Aku bete sama Kak Ella yang banyak mau," keluhnya. "Nggak mau ini lah, nggak mau itu lah, rempong banget! Jadinya susah cari jalan tengah dan meeting-nya jadi lama. Untung si Pandu cuma iya-iya aja," keluhnya.
Melvin agak kaget mendengar Lea mengeluh dan terlihat begitu moody. Selama ini, yang Melvin tahu Lea orangnya selalu tenang dan tidak pernah mengeluh seperti itu. Memang, ada kalanya suasana hati Lea buruk. Namun, jika sedang begitu biasanya Lea lebih banyak diam, mengabaikan orang-orang di sekitarnya, atau berbicara pedas sekalian.
Sekarang, bad mood-nya Lea terasa berbeda saja. Yah, tapi bisa jadi karena bukan Melvin penyebab suasana hatinya memburuk seperti ini.
"Kamu nyetirnya agak ngebut ya, aku nggak sabar pulang. Mau tidur," ujar Lea lagi. Lalu, ia bersidekap, merengut, dan menatap lurus ke depan.
Melvin jadi gemas sendiri melihat Lea yang terlihat merajuk begitu.
"Kamu nggak mau makan dulu emangnya?"
Lea menggelengkan kepala. "Masih kenyang makan omelannya Kak Ella."
"Yaudah, entar aku omelin balik si Ella karena udah bikin kamu pusing," ujar Melvin berusaha menghibur. Ia pun mengulurkan tangan untuk mengusap lembut puncak kepala sang istri.
Lea menghembuskan napas berkali-kali, yang Melvin tebak untuk meredakan emosinya sendiri. Setelah merasa cukup tenang, baru Lea kembali menolehkan kepala pada Melvin yang sibuk menyetir.
"Kamu sendiri gimana tadi? Abby sama Mami jadinya ngomongin apa?" Tanya Lea. Nada suaranya sudah kembali seperti biasa dan tidak terkesan merajuk lagi.
"Abby mau balik ke Melbourne," jelas Melvin. "Dan Mami mau ikut Abby ke sana. Tinggal di Melbourne sama Abby, biar sama-sama nggak kesepian."
"Ya ampun...jadi jauh dong kamu sama Mami. Baru juga kamu pulang ke sini, malah ditinggal mereka yang pindah ke sana."
"Nggak apa-apa, kan di sini juga nggak sendirian. Ada kamu."
"Iya sih." Lea mengangguk.
"Rencananya aku mau anterin Mami dan Abby ke Melbourne nanti. Sama kamu juga."
"Emang berangkatnya kapan?"
"Paling lambat sih bulan depan."
Lea mengerang. "Aku nggak tau bisa ikut atau enggak. Habis Kak Ella tunangan, aku bakal langsung sibuk nyiapin urusan pernikahan dia."
"Oh iya." Melvin baru ingat itu. "Yaudah, aku nggak jadi aja."
"Jangan gitu dong. Kamu harus tetap antar mereka walau aku nggak ikut. Setelah mereka udah tinggal di sana, kan jarang-jarang bisa ketemu lagi."
Melvin mengangkat bahu saja. "Lihat nanti," ujarnya singkat.
Rasanya ia agak kecewa karena mengetahui Lea belum tentu bisa ikut untuk mengantarkan ibunya dan Abby ke Melbourne nanti. Padahal, Melvin sangat ingin mengajak Lea pergi ke sana dan menunjukkan banyak tempat di sana yang dulu sering dia kunjungi. Tapi, mau memaksa pun juga tidak bisa karena Lea dibutuhkan di keluarganya.
Di saat Letta pindah ke Dubai, dan yang mau menikah adalah Ella, otomatis Lea jadi yang dituakan dan diberi tanggung jawab untuk bantu mengurus segala persiapannya. Lea sendiri sempat bilang kalau ia sebenarnya tidak terlalu pandai dan suka untuk mengurus hal semacam ini, tapi dia terpaksa melakukannya. Sebab Ella jauh lebih tidak pandai lagi, sementara Poppy sibuk dengan pekerjaannya di Kahraman. Dari yang Melvin dengar, Poppy adalah salah satu orang penting di sana.
Melvin melirik sekilas ketika Lea memundurkan kursinya sehingga posisinya jadi sedikit berbaring. Setelahnya, ia memijat-mijat pelipis sendiri, dan wajahnya makin kusut.
"Pusing banget memangnya?" Tanya Melvin khawatir.
Lea mengangguk. "Sebenarnya, selain pusing karena urusan pertunangan Kak Ella ini, aku juga pusing karena masalah Kahraman."
Sebelah alis Melvin terangkat. "Memangnya kenapa?"
"Mereka lagi sedikit kewalahan karena kekurangan agen perempuan. Aku udah resign, Kak Letta pindah ke Dubai, Kak Ella mau dijodohin dan gara-gara itu Papa ngasih larangan untuk Kak Ella kerja di Kahraman selama beberapa waktu. Bisa kacau kalau ada hal gawat yang kejadian sebelum hari pernikahannya," jelas Lea panjang. "Sekarang tinggal Poppy yang ada, dan jelas itu kekurangan tenaga. Dan buruknya, mereka lagi punya kasus berat."
"Kasus berat gimana?" Tanya Melvin penasaran.
Ia sudah tidak tahu menahu tentang Kahraman sejak ia menemui Selatan waktu itu.
"Versus Noir lagi. Nggak jauh beda sama kasus kamu."
Melvin menghembuskan napas kasar mendengar nama itu. "Aku nggak mau sampai kamu ikut-ikutan kasus itu ya," ujarnya tegas. "Walau kamu diajak karena kekurangan tenaga, tetap nggak boleh. Aku nggak mau kasih izin."
Lea mengangguk. "Iya, aku ngerti. Kamu tenang aja, aku nggak akan ikut-ikutan. Aku juga tau karena Poppy curhat sama aku. Dia lagi kelabakan banget."
Melvin sungguh tidak senang sama sekali mendengar tentang Noir, juga apapun yang berhubungan dengan Brian Wangsa. Ia bahkan sudah melakukan blacklist pada Brian Wangsa pada perusahaannya. Sehingga penawaran kerja sama apapun yang bisa saja ditawarkan laki-laki itu, akan langsung ditolak. Melvin juga berani sumpah tidak akan pernah mendatangi pesta atau acara dimana ada Brian Wangsa di sana.
Sejujurnya, sampai sekarang ia masih geram bukan main karena mereka tidak bisa melakukan apa-apa terhadap Noir. Tidak bisa menuntut mereka, apa lagi menjatuhkannya. Lea pernah menjelaskan bahwa ada kode etik antara para pelaku shadow business. Aturannya berbeda dengan aturan bisnis yang diatur langsung oleh hukum.
Pada dunia shadow business, mereka harus sportif. Dan jika Kahraman memutuskan untuk menyerang Noir di luar urusan dengan klie, mereka akan dianggap melanggar kode etik dan dianggap menyatakan perang. Jika perang itu dinyatakan, maka yang terjadi hanya lah hal buruk.
Melvin sendiri juga tidak bisa menuntut atau menghancurkan Noir dan Brian Wangsa. Mereka pasti punya kuasa untuk bebas dari hukum. Dan jika Melvin berani melakukannya, dengan kekuatan yang mereka punya, Melvin dan keluarganya pasti akan dibalas dengan cara dihabisi.
"Melvin."
Lea memanggil Melvin setelah cukup lama Melvin hanya diam, tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Karena kebetulan mobil berhenti di lampu merah, Melvin jadi bisa menoleh pada Lea.
"Kenapa?"
Dengan wajahnya yang sudah memucat, Lea bergumam, "Mau muntah."
Melvin langsung panik.