Untuk yang pertama kalinya, Melvin membiarkan dirinya menangis di hadapan orang lain. Tidak hanya di depan Lea, tapi juga di depan anggota keluarganya yang lain, juga para anggota Kahraman yang ada di sana. Melvin tidak sempat lagi untuk peduli jika menangis di depan Lea bisa membuatnya terlihat begitu konyol dan menyedihkan.
Tidak ada satu pun dari mereka yang berkomentar. Mereka paham akan perasaan Melvin, terutama Lea, yang membiarkan saja Melvin menangis dengan puas dalam pelukannya. Lea baru mengajak Melvin masuk ke dalam setelah dirinya sudah cukup tenang. Melihat ada Abby, ibunya, serta sang ayah mertua di ruang tamu, Melvin memilih untuk langsung masuk ke dalam kamarnya. Belum siap untuk menghadapi mereka semua dan mengulang cerita atas apa yang dia lihat dengan mata kepalanya sendiri.
Hanya Lea yang Melvin biarkan untuk mengikutinya ke kamar. Sesampainya di sana, Melvin terduduk di lantai, bersandar di pinggir tempat tidur, dan menjambak rambutnya sendiri. Lea duduk di sebelahnya dan ia lah yang melepaskan jambakan Melvin pada rambutnya, tidak ingin laki-laki itu menyakiti dirinya sendiri.
"Lea...pelakunya memang Savero...dia udah ngakuin semuanya sebelum bunuh dirinya sendiri..." gumam Melvin dengan suara serak karena habis menangis. Ia menyerahkan kepada Lea secarik kertas yang sejak tadi digenggamnya dengan erat.
Lea menerimanya, membaca apa yang tertulis di sana. Sulit untuk mendeskripsikan bagaimana perasaannya setelah membaca itu. It's so f****d up. Wajar kalau Melvin bisa sehancur ini sekarang.
"He hated me all this time." Melvin tertawa miris. "Di saat aku menganggap di sebagai saudara aku sendiri, dia justru menganggap aku nggak lebih dari seseorang yang menjadikan dia sebagai kacung. Am I that bad? Apa aku memang sejahat itu sampai dia bisa mikir begitu? Sampai dia bisa ngelakuin ini semua? Sampai dia rela mati?"
Lea tahu, tidak akan ada kata-kata apapun yang bisa digunakan untuk menenangkan Melvin sekarang. Mau Lea bilang bahwa semuanya akan baik-baik saja, kenyataannya justru semua tidak akan jadi baik-baik saja setelah ini. Pasti akan ada perubahan besar dalam hidup keluarga Wiratmaja setelah kematian Savero. Dan apapun yang dikatakan oleh Lea juga tidak akan membuat Savero hidup kembali.
Jadi, ia hanya bisa memeluk Melvin hingga laki-laki itu sepenuhnya merasa tenang dan lebih baik.
"What should I do, Lea?" Melvin berbisik di dalam pelukan Lea.
Hanya ada satu jawaban yang terpikir oleh Lea. Satu jawaban itu mungkin terkesan sadikit tegas, namun itu lah hal paling realistis yang bisa Lea pikirkan. Dan ia pun tidak mau mempermanis jawaban tersebut.
"Survive," katanya. "Itu satu-satunya yang bisa kita lakukan sekarang, Melvin."
***
Setelah Melvin merasa tenang dan bisa mengendalikan dirinya, baru lah ia mau keluar dari kamar dan bertemu dengan keluarganya. Melvin juga sudah menghubungi anggota keluarga Wiratmaja yang lain untuk membahas masalah ini. Sudah waktunya mereka tahu yang sebenarnya.
Begitu keluar dari kamar, ia pun langsung disambut oleh pemandangan Abby dan ibunya yang kini sama-sama berwajah sembab. Bahkan, kedua mata Abby sudah bengkak karena terlalu banyak menangis. Ketika Melvin menghampiri mereka bersama Lea yang masih menemani di sebelahnya, Abby langsung berdiri.
"Aku masih nggak percaya..." ujarnya. "Kasih tau aku, semuanya cuma bohong, kan? Savero nggak benar-benar pelakunya, kan? Dan...dia nggak bunuh diri, kan? Pasti ada kesalahan, Melvin..ini nggak mungkin terjadi."
Hingga detik ini, Abby masih sangat denial.
Tanpa mengatakan apa-apa, Melvin menyerahkan secarik kertas berisi surat dari Savero kepada sang adik.
"Kamu pasti tau kan kalau itu tulisan Savero?"
Abby tertegun. Sama seperti Melvin yang sudah hapal dengan tulisan Savero karena keakraban mereka selama ini, Abby pun begitu. Ia bisa langsung mengenali tulisan Savero. Karena memang ada ciri khas sendiri dari tulisan Savero yang rapi itu.
Melvin memilih melengos ketika Abby membacanya. Ia tidak ingin melihat ekspresi terluka sang adik, karena hal itu hanya akan membuat luka yang Melvin rasakan jadi bertambah dua kali lipat.
"Savero memang pelakunya dan dia bunuh diri. Sekarang kita tinggal tunggu kabar dari Selatan," ujar Melvin. "Aku juga udah panggil anggota keluarga kita yang lain untuk ke sini, termasuk Tante Hanna, selagi menunggu kabar di sana."
Usai membaca surat dari Savero itu, Abby kembali menangis. Sang ibu menenangkannya, begitu juga dengan Lea. Sementara Melvin memilih untuk berjalan meninggalkan ruangan tempat mereka berada. Ia tidak sanggup jika harus mendengar tangisan Abby, karena itu hanya akan semakin menyakiti hatinya sendiri.
Melvin berjalan menuju rumah tamu rumahnya dan duduk di sana untuk menunggu kehadiran anggota keluarganya yang lain. Ia sudah menyuruh mereka untuk datang dengan cepat karena ada sesuatu urgent yang hendak disampaikannya. Mereka semua sedang dalam perjalanan sekarang.
Setelah sudah merasa jauh lebih tenang usai menumpahkan semua emosinya bersama Lea tadi, Melvin jadi lebih bisa berpikir jernih. Selatan belum menghubunginya, masih sibuk mengurusi apa yang terjadi di sana. Mungkin Melvin terkesan serampangan karena telah membiarkan Selatan yang meng-handle semua yang terjadi di sana. Jika dipikir-pikir lagi, seharusnya ia tetap berada di sana, dan mengawasi semua proses yang terjadi. Tapi tetap saja, mau dipikirkan bagaimana pun, Melvin tetap tidak sanggup jika harus melihat Savero yang sudah tewas.
Walau hanya berada di sana sebentar, namun semuanya berhasil terekam jelas di benak Melvin dan tidak mau enyah sama sekali. Ruangan itu sepi perabot, bahkan terbilang nyaris kosong. Hanya ada sebuah meja dan kursi di tengah ruangan yang sebelumnya digunakan oleh Savero. Dan sepertinya, di meja itu lah Selatan menemukan surat yang Savero tulis. Selain itu, tidak ada apa-apa lagi, kecuali Savero yang tergantung entah sejak kapan dengan kondisi kedua matanya terbuka dan lidahnya terjulur keluar.
The image was terrifying. Melvin tidak yakin bisa tidur nyenyak malam ini.
Melvin sendiri sudah menghubungi orang yang dia kenal untuk nantinya mengautopsi Savero, guna memastikan jika Savero memang meninggal karena bunuh diri. Meski di surat itu sudah tertulis jelas bahwa Savero membunuh dirinya sendiri dan ia pun sudah mengkaui kejahatannya, Melvin rasa tidak ada salahnya jika ia masih bersikap waspada. Karena itu, ia tidak ingin mempercayakan proses autopsi Savero pada pihak rumah sakit, melainkan memilih pihak yang dia yakini bisa dipercaya.
Terlepas dari semua ungkapan benci yang Savero utarakan di surat itu, serta terlepas dari rasa marah dan sakit hati Melvin terhadap Savero, setitik bagian di hatinya masih mengharapkan sebuah plot twist. Meski rasanya sudah sangat sekali untuk dipercaya setelah semua bukti-bukti yang semakin terkuak.
Mungkin bukan Savero pelakunya, mungkin ada seseorang yang melakukan framing terhadap Savero. Atau kalau pun memang Savero melakukan semua kejahatan itu, mungkin ia tidak bunuh, melainkan dibunuh oleh seseorang. Karena dari pesan Savero yang dikirimkannya pada Melvin, sama sekali tidak terlihat bahwa ia seperti putus asa dan ingin menyerah. Sebaliknya, Savero justru seolah menunjukkan bahwa dia menang.
Karena harapan yang putus asa itu, tiba-tiba saja Melvin teringat pada perkataan Tristan tempo hari.
Kalau lo nggak mau dia mati, ada baiknya orang-orang lo yang berhasil nemuin dia lebih dulu daripada gue.
Itu yang dikatakan oleh Tristan, Melvin ingat sekali.
Tapi, apa mungkin Tristan yang membunuh Savero diam-diam, namun membuatnya terlihat seperti sebuah bunuh diri? Melvin agak ragu, karena sejauh ini buktinya hanya mengarah ke bunuh diri. Namun, di sisi lain Melvin juga tahu bahwa baik Tristan dan Darel juga bisa bersikap gila jika mereka merasa terusik akan sesuatu. Ditambah lagi rasa benci yang mereka punya untuk Savero selama ini.
Secara kebetulan, dua bersaudara itu tiba tepat setelah Melvin memikirkan teori tersebut. Berhubung Melvin duduk di ruang tamu, ia bisa langsung melihat ketika keduanya tiba. Dari penampilan mereka berdua sekarang, terlihat sekali bahwa keduanya dari kantor. Darel memang sudah sepenuhnya pulih dan kini sudah kembali bekerja, meski ia masih trauma untuk pergi kemana-mana sendirian.
Melvin sengaja belum mengatakan apapun lewat telepon tadi, jadi baik Tristan maupun Darel, terlihat sangat clueless sekaligus khawatir karena Melvin meminta mereka berkumpul secara tiba-tiba.
Darel dan Tristan langsung menyadari keberadaan Melvin ketika mereka memasuki rumah. Melihat wajah Melvin yang sembab dan kalut, serta tangannya yang dibalut perban, kian menambah kekhawatiran Darel dan Tristan pada sang sepupu.
"Ada apa, Melv?" Ujar Darel, ia pun duduk di sebelah Melvin. "Gue sama Tristan langsung ke sini dari kantor. Papa, Mama, sama Adsel masih di jalan."
"Savero bunuh diri." Tanpa perlu basa-basi, Melvin langsung memberitahukan itu pada keduanya. "Dan dia memang pelakunya."
Darel dan Tristan sama-sama tertegun akan informasi itu. Sebenci-bencinya mereka terhadap Savero, namun kabar itu tetap saja mengejutkan. Melvin memfokuskan pandangannya pada Tristan. Ia tahu, tidak seharusnya ia berpikir berlebihan seperti ini. Namun, ia benar-benar memerhatikan apakah Tristan terlihat terkejut atau tidak atas kabar yang disampaikannya.
"Lo jangan bercanda, Melv..." Darel yang pertama merespon. "Gue emang udah dikasih tau Tristan tentang Savero yang kemungkinan adalah pelaku terror keluarga kita selama ini. Tapi, dia bunuh diri? Yang bener aja? Buat apa dia ngelakuin semua yang udah dia lakuin ke kita kalau ujungnya bunuh diri?"
"Dia bunuh diri." Melvin mengulang lagi. "Ngapain juga gue bercanda?"
Darel kembali membisu, memproses informasi yang baru didengarnya, dan tidak mempertanyakan kebenaran informasi ini lagi.
"Gue baru aja dapat lokasi dia siang ini. Dia ada di daerah puncak. Dan waktu gue sampai di sana, gue nemuin dia udah tewas gantung diri." Melvin menjelaskan. "Sekarang semuanya udah urus, dan mungkin sebentar lagi jasadnya bakal dibawa ke sini. Gue ngumpulin sekeluarga besar kita untuk bahas masalah ini. It's time for them to know the truth."
"s**t. It's so f****d up." Darel mengumpat.
Fokus Melvin tidak kunjung berpindah dari Tristan yang masih berdiri di depannya, dan belum mengatakan apapun sedari tadi.
"Lo waktu itu pernah bilang kalau lo juga bakal cari Savero. Apa kemarin-kemarin lo udah nemu lokasinya dimana?"
Pertanyaan Melvin itu membuat Darel jadi ikut menoleh pada sang adik dan mengernyit.
Tristan menggelengkan kepala. "Gue belum ketemu apa-apa," jawabnya.
"Serius?"
"Kenapa lo kayak nggak percaya sama gue?" Tanya Tristan tersinggung.
"Simply karena waktu itu lo bilang ke gue bakal bunuh Savero kalau lo yang berhasil nemuin dia duluan."
"Oh wow, tunggu dulu. Ini kalian berdua ngomongin apa?" Darel menyela karena memang ia tidak tahu apa-apa. Ia pun mencoba menengahi Melvin dan Tristan yang kini terlihat bersitegang.
Melvin bahkan sudah berdiri dan berjalan mendekat pada Tristan. Membuat Darel mau tidak mau juga berjalan mendekati mereka dan memosisikan dirinya di antara mereka berdua.
"Lo nuduh gue yang bunuh Savero?" Tristan tertawa sarkastik. "Lucu. Padahal, jelas-jelas lo yang bilang sendiri kalau dia gantung diri."
"It could be framed, you know?"
"Seriously, Melvin? Lo beneran curiga sama gue?"
Melvin tahu, Tristan pasti sudah sangat tersinggung dengan kata-katanya. Tetapi, ia juga tidak bisa menahan dirinya sendiri untuk mengatakan itu. Semuanya terucap begitu saja, dipengaruhi oleh emosi Melvin yang memang bisa dibilang belum stabil sepenuhnya.
Sorot mata Tristan berkilat marah, begitu juga dengan Melvin. Tristan mendorong Darel menjauh agar tidak menghalangi dirinya dan Melvin. Ia pun menepuk bahu Melvin keras dan menuding padanya.
"Kalau memang gue yang berhasil nemuin Savero duluan, gue bakal pastiin kalau semua orang tahu soal itu," ujarnya. "Dan enggak, gue nggak akan mau repot-repot nge-framing dia gantung diri. Karena kalau gue berkesempatan untuk bunuh dia, gue pastiin dia mati pelan-pelan, sampai dia sendiri yang mohon buat mati. Supaya dia dapat balasan yang setimpal."
"Lo...beneran semau itu Savero mati ya?"
Tristan akhirnya marah dan ia menarik kerah baju Melvin.
"Guys...please stop." Darel mencoba melerai keduanya, namun cengkeraman Tristan pada Melvin terlalu kuat dan ia dengan mudahnya menepis Darel karena memang tubuhnya yang lebih tinggi dan besar dibanding Darel.
Sekali lagi Tristan menuding pada Melvin. "Lo yang terlalu lembek sama dia. Terlalu percaya sampai-sampai nggak sadar, gimana dia udah sangat manfaatin lo selama ini. Dan ujung-ujungnya, lo dikhianati," ujarnya tajam. "Asal lo tau, Melv, Savero pasti sengaja bunuh diri buat bikin lo kacau begini. He knew that it would wreck you down. Jadi, mending lo bangun sekarang!"
Usai mengatakan itu, Tristan melepaskan cengkeramannya pada Melvin dan sedikit mendorongnya hingga Melvin agak oleng ke belakang, namun masih bisa berdiri dengan tegak. Bertepatan dengan itu, Hermadi menghampiri mereka di ruang tamu. Good thing, pria itu tidak melihat perdebatan yang baru saja terjadi antara kedua sepupu itu.
Darel dan Tristan pun menduduk sopan pada Hermadi. Sementara ayah mertua Melvin itu mendekati menantunya dan memberikan sebuah ponsel pada Melvin.
"Selatan nyuruh kamu untuk cek pesan. Dia baru aja ngirim bukti tentang bunuh diri Savero."
Melvin menerima ponselnya yang diserahkan oleh Hermadi, kemudian langsung membuka pesan yang Selatan kirimkan untuknya. Hanya ada dua pesan baru yang dikirim oleh Selatan. Sebuah video dan sebuah pesan di bawahnya.
He really killed himself.
Melvin segera menekan tombol putar pada video itu, yang ternyata merupakan sebuah rekaman CCTV. Melvin nyaris menahan napas melihat video tersebut, dimana dengan jelas, Savero naik ke kursi yang diseretnya ke tengah ruangan, mengikatkan tali di langit-langit, lalu menggantung dirinya sendiri hingga tewas.
Darel yang ada di sebelah Melvin pun ikut melihat video itu dan ia terkesiap. Tanpa mereka bicara apapun, Tristan sendiri juga sudah bisa menebak apa video itu.
"See?" Ujarnya pada Melvin. "Selamat karena udah nuduh sepupu lo sendiri dan masih aja percaya sama si b******k itu, di saat dia bahkan udah di neraka!"
Usai mengatakannya, Tristan berbalik pergi meninggalkan ruangan itu.