Selama di Melbourne, ada banyak hal yang perlu diurus oleh Melvin. Selain harus mengurus kepindahannya dengan menyelesaikan masalah administrasi, serta mulai mengirimkan barang-barang yang ia butuhkan kembali ke Indonesia, tentu saja Melvin juga harus mengurusi masalah perusahaan.
Dirinya merupakan pimpinan anak perusahaan Rangkai Bumi yang berbasis di Australia. Karena dia harus pindah ke Indonesia, posisinya akan digantikan oleh Abby. Dan untuk mencapai tahap transisi tersebut, tentu saja banyak yang harus dilakukan. Mulai dari rapat dengan dewan direksi, membuat para karyawan beradaptasi dengan perubahan yang terjadi, dan sebagainya.
Melvin dibuat benar-benar sibuk di Melbourne, sampai-sampai ia nyaris lupa kalau setibanya ia di Indonesia nanti, pernikahannya hanya tinggal menghitung hari. Dirinya dan Lea pun jarang berkomunikasi, bahkan hampir tidak pernah. Mereka seolah ingin puas-puas menghabiskan waktu tanpa kehadiran satu sama lain, sebelum nanti menikah, dan pada akhirnya mereka harus terus bersama sampai entah kapan. Pikiran itu selalu membuat Melvin muak, karena itu ia tidak mau terlalu memikirkannya.
Melvin baru disadarkan oleh kenyataan bahwa dirinya akan menikah, benar-benar akan menikah, tepatnya seminggu sebelum ia pulang ke Indonesia. Itu karena Lea yang terlebih dahulu mengiriminya pesan. Tidak ada kata apapun, Lea hanya mengirimkan sebuah foto undangan berdesain elegan dengan inisial nama mereka berdua tertera pada undangan itu.
Nah, undangan yang difoto oleh Lea dan dikirimkan padanya adalah undangan yang ditujukan untuk 'Gema & Pasangan'. Melihat foto itu benar-benar membuat Melvin mengumpat. What the hell??? Ia tahu betul jika Lea sengaja ingin membuatnya kesal.
Tanpa pikir panjang, Melvin langsung menelepon Lea.
"f**k you," ujarnya setelah telepon itu diangkat. Tanpa sapaan halo sama sekali yang menjadi pembukanya.
Tawa Lea pun terdengar. Suara yang sudah cukup lama tidak Melvin dengar. Apa Melvin merindukannya? Oh, tentu tidak. Bahkan hidupnya justru terasa nyaman selama ia berada di Melbourne, walaupun ia ditelan oleh kesibukan.
"Nggak gitu caranya nyapa orang di telepon, Mr.Wiratmaja. Itu nggak sopan."
Melvin mendengus. "Kalau gitu, biar aku yang undang Selatan secara langsung nanti. Kalau bisa, aku mau dia jadi best man-ku."
"Berarti, aku juga boleh jadiin Gema sebagai bridesmaid aku dong?"
"f**k you, Azalea."
"I miss you too, Melvin baby," goda Lea. "How's Melbourne anyway?"
"Good. Karena kita nggak perlu ketemu disini."
Suara tawa Lea terdengar lagi, begitu jernih di telinga Melvin.
"Kapan kamu balik ke Indonesia?" tanya Lea.
"Maunya nggak perlu balik kesana."
"Oh, I'd love that too."
Melvin mencibir, lalu menjawab serius, "Minggu depan aku pulang."
"Kalau bisa sih lebih cepat. Soalnya banyak agenda yang udah numpuk disini, perihal pernikahan kita. Kamu bakal langsung sibuk nanti."
Informasi yang sebetulnya tidak ingin Melvin dengar. Ia tidak mau memikirkan segala macam t***k-bengek pernikahannya bersama Lea setelah ia pulang ke Indonesia nanti. Hal itu hanya membuatnya merasa berat hati harus pulang. Karena jika Melvin kembali, itu berarti pernikahannya akan semakin dekat.
Padahal Melvin sudah lama berada di Melbourne, lebih dari sebulan, bahkan nyaris dua bulan lamanya. Tapi entah kenapa, waktu bergulir dengan begitu cepat, dan ia tidak suka itu.
"Aku maunya extend seminggu lagi disini," balas Melvin kemudian.
"Jangan dong. Kamu harus cepat pulang, ada kejutan juga yang udah nunggu buat kamu. Well...buat kita sih sebenarnya."
Sebelah alis Melvin terangkat mendengarnya. "Kejutan apa?"
"You'll see it very soon, Melvin baby."
***
Hari yang tidak ditunggu-tunggu Melvin pun tiba dengan cepat, yaitu kepulangannya ke Indonesia. Sesuai jadwal, ia pulang ke Indonesia dan akhirnya akan menetap di tanah airnya tiga minggu sebelum hari pernikahannya dan Lea.
Dibanding dengan kepulangannya ke Indonesia setelah diminta oleh orangtuanya waktu itu, kepulangannya kali ini terasa lebih berat lagi dan lebih tidak diharapkan. Melvin pun pulang sendirian, sementara Abby dan Savero tidak pulang berbarengan dengannya karena masih ada pekerjaan yang harus mereka urus di Melbourne. Mereka baru akan menyusul satu minggu sebelum pernikahan Melvin.
Tidak banyak barang yang Melvin bawa meski teknisnya ia akan pindah secara permanen dari negara yang sudah ditinggalinya selama belasan tahun. Ia hanya membawa dua koper besar yang berisi pakaian dan dokumen penting. Sementara sisa barangnya yang lain sudah Melvin cicil kirim sejak berhari-hari yang lalu.
Melvin tidak terlalu terkejut begitu melihat Lea lah yang menjemputnya di bandara. Tanpa supir, hanya perempuan itu sendirian. Perempuan mungil itu menunggu Melvin di pintu kedatangan bandara. Ia bahkan melambaikan tangan dengan begitu semangat ketika melihat Melvin.
Berminggu-minggu tidak bertemu sepertinya sudah menghilangkan tension di antara mereka setelah yang terjadi sebelum Melvin berangkat waktu itu. Buktinya, Lea sudah tidak bersikap dingin lagi padanya dan kembali pada sifatnya yang ceria, namun tetap menyebalkan bagi Melvin.
Melihat Lea membuatnya jadi teringat dengan percakapan mereka di kafe tempo hari. Ia jadi penasaran bagaimana kelanjutan hubungan Lea dan Selatan sekarang. Apakah laki-laki itu sudah menyerah sepenuhnya pada hubungannya dan Lea, atau masih terus berjuang? Mungkin, nanti Melvin akan mencoba menggali informasinya.
"Welcome back, Melvin baby." Lea menyapa Melvin dengan nada menggoda begitu Melvin sudah tiba di hadapannya.
Melvin agak menunduk untuk menatap Lea karena perempuan itu yang memang jauh lebih pendek darinya dan berbeda dari biasanya, hari ini Lea tidak memakai sepatu berhak tinggi, melainkan sandal bermerek Dior.
"Kenapa kamu yang jemput?" tanya Melvin.
Lea tersenyum manis. "Karena aku calon istri kamu lah."
Mendengarnya membuat Melvin memutar bola mata jengah, sementara Lea masih tersenyum manis padanya. Lalu, mereka berjalan menuju mobil Lea dengan posisi Lea yang memimpin jalan.
Melvin agak kaget begitu tahu kalau Lea membawa mobi Rubicon, yang mana ia rasa mobil itu terlalu besar untuk Lea yang bertubuh mungil. Ternyata, mobil Rubicon yang dilihatnya di garasi rumah keluarga Sadajiwa waktu itu merupakan mobil Lea.
Menyadari kekagetan Melvin membuat Lea terkekeh. "Kenapa sih? Kok kaget banget tau aku bawa Rubicon?"
"Nggak cocok soalnya. It's too big for you."
"Banyak yang bilang kalau aku tuh kecil-kecil cabe rawit, jadi nggak perlu heran begitu."
Melvin mendengus saja, kemudian ia membuka bagasi mobil untuk meletakkan barang bawaannya disana. Lea sempat ingin membantu, namun Melvin tidak membiarkan. Seburuk-buruknya hubungan mereka, Lea tetap perempuan dan Melvin tidak akan membiarkan seorang perempuan melakukan pekerjaan berat ketika sedang bersamanya.
Setelah ia memasukkan barang bawaannya ke bagasi dan menutup rapat pintunya, ia kembali menghadap Lea dan mengulurkan telapak tangannya yang terbuka pada Lea.
"Apa?" tanya Lea tidak mengerti sembari memandangi telapak tangan Melvin.
"Kunci mobil," jawab Melvin. "Biar aku aja yang nyetir."
"Oh, it's okay, Melvin. Kamu istirahat aja karena habis long flight."
"Kunci mobilnya, Azalea." Melvin mengulang lagi dengan intonasi lebih tegas.
Bukannya menurut, Lea justru sedikit mendongakkan kepala dan memberikan Melvin tatapan yang seolah menantang. Lantas, tanpa bicara apa-apa lagi, ia masuk ke dalam mobil, tepatnya ke kursi pengemudi.
"Seriously, Lea?" Protes Melvin setelah ia membuka pintu penumpang bagian depan dan memandang Lea yang sudah duduk manis di balik roda kemudi dan menyalakan mesin mobil.
"Naik aja, Melvin, nggak usah ngerasa ego kamu terluka karena aku setirin. Lagian, kamu juga belum tau jalan ke tempat tujuan kita."
"Emangnya kita mau kemana?"
"To our new house."
"Our new house?" Melvin mengulang perkataan Lea. Ada kernyitan bingung di dahinya. "Maksud kamu apa?"
Lea nyengir menunjukkan deretan giginya yang rapi ketika berujar, "Surprise! Ini kejutan yang kubilang. Orangtuamu kasih kita rumah baru sebagai hadiah pernikahan." Lalu, cengiran Lea itu hilang dan berganti dengan ekspresi datar ketika ia melanjutkan, "Dan mulai hari ini, kita berdua disuruh tinggal disana."
"What the hell?!"
Melvin tidak bisa untuk tidak berseru kaget. Ia baru saja mendapat kejutan yang sama sekali tidak diharapkan maupun diinginkannya.
***
Belum juga satu jam Melvin tiba di Indonesia, dan ia sudah dibuat kesal dengan kejutan yang diberitahukan oleh Lea padanya tadi. Lea tidak bohong soal rumah yang dijadikan sebagai kado pernikahan dari orangtua Melvin untuk mereka. Juga tidak bohong saat ia bilang, mereka berdua akan tinggal disana mulai hari ini.
"Tapi kita belum nikah!" Melvin sempat berseru begitu setelah Lea menjelaskan tentang kejutan itu padanya dalam perjalanan mereka menuju rumah tersebut. "Masih tiga minggu lagi sebelum kita nikah."
"Kamu pikir aku nggak tau?" balas Lea sewot. "Ini ide orangtua kamu sendiri ya, Melvin. Mereka bilang kita harus tinggal bareng dulu sebelum nikah supaya bisa lebih dekat."
"That's crazy!"
"Tell your parents that! Itu ide orangtua kamu, bukan ide aku."
Rasanya Melvin stress sekali karena membayangkan sudah harus serumah dengan Lea tiga minggu lebih cepat daripada seharusnya. Walau tadi Lea sempat bersikap biasa saja, bahkan terkesan ceria dengan cara yang menyebalkan, Melvin pun tahu jika perempuan itu juga tidak menyukai kejutan ini.
Di saat mereka masih punya waktu tiga minggu untuk diri masing-masing sebelum hari pernikahan, kini mereka justru sudah harus tinggal satu rumah. Rasanya seolah mereka jadi menikah lebih cepat.
Rumah yang disebut oleh Lea ternyata terletak di daerah Senopati. Rumah itu bertingkat dua, memiliki halaman luas, dan tentu saja mewah. Melvin benar-benar tidak tahu kapan orangtuanya memiliki rumah ini. Apakah mereka sudah lama memilikinya sebagai aset pribadi, atau baru membelinya khusus untuk dihadiahkan sebagai kado pernikahan Melvin dan Lea.
Begitu sampai, Melvin langsung menemui ibunya yang kebetulan sudah menunggu di rumah itu. Hanya sendirian, tanpa ayahnya, maupun dari pihak keluarga Lea. Berhubung Melvin ingin bicara dengan Mayana Wiratmaja, Lea pun memberikan ruang bagi mereka berdua dan memilih ke bagian lain rumah yang jauh dari tempat Melvin dan ibunya berada agar ia tidak bisa mendengar apa-apa.
Melvin mengajak Mayana ke salah satu kamar yang ada di rumah itu dan menutup pintunya rapat-rapat sebelum ia melayangkan protesnya. Mayana tampak tenang saja dan tidak mempertanyakan sikap Melvin itu.
"Mami, please explain," ujar Melvin setelah mereka berada di kamar tertutup itu berdua saja.
"Kamu itu baru sampai. Emangnya nggak mau nyapa Mami dulu apa? Sekedar peluk pun enggak?"
"Oh, come on, Mami. You know I love you, tapi aku lagi nggak mau basa-basi," ujar Melvin agak kesal. "Lea bilang, rumah ini buat aku sama Lea sebagai kado pernikahan dari Mami dan Papi. Bener gitu?"
Mayana mengangguk tenang. Ada senyum kecil yang terkulum di bibirnya, begitu kontras dengan putra sulungnya yang kini merasa nyaris frustasi.
"Terus, Lea bilang kalau mulai hari ini, aku sama dia harus tinggal disini? Berdua?"
Mayana mengangguk lagi, tapi kali ini menambahkan, "Nggak sepenuhnya berdua sih. Ada juga orang-orang yang udah Mami siapin untuk kerja di rumah ini, kayak asisten rumah tangga, cooker, gardener, sampai sekuriti."
Sungguh, Melvin tidak peduli akan itu. Ia mengacak rambutnya sendiri. "Mami lupa apa kalau aku sama Lea belum nikah? Masih tiga minggu lagi, Mi!"
"Terus kenapa?"
"Terus kenapa Mami bilang? Of course, aku nggak bisa tinggal sama Lea sebelum kita berdua nikah, Mi!"
Mayana tertawa. "Melvin, Melvin, kamu itu lama tinggal di luar negeri. Mami tau seliberal apa pola pikir kamu. Tapi kenapa kamu malah panik begini gara-gara disuruh tinggal serumah sama calon istri yang bakal kamu nikahin tiga minggu lagi?"
Kata-kata sang ibu sukses membuat Melvin terdiam sejenak. Ia tahu apa yang dikatakan oleh Mayana sama sekali tidak salah. Lama tinggal di luar negeri membuat Melvin memiliki pola pikir yang begitu liberal. Kehidupan Melvin selama tinggal di Melbourne bisa dikatakan sangat bebas.
Keluarga Melvin pun merupakan orang-orang yang berpikiran terbuka sehingga mereka menganggap tinggal satu rumah ketika belum ada pernikahan yang mengikat bukan lah sesuatu yang tabu. Karena itu, orangtuanya begitu santai menyuruh Melvin dan Lea untuk tinggal bersama di saat mereka belum mengucapkan janji pernikahan.
Hanya saja, Melvin tetap tidak menginginkan ini terjadi. Ia pun beralasan, "Mami, ini Indonesia, bukan Aussie. Pasangan yang belum nikah tapi udah tinggal serumah, itu namanya kumpul kebo. It's very taboo."
"Oh, Melvin, siapa yang mau peduli soal itu? Toh, nggak ada yang tau. Kita nggak bilang siapa-siapa dan kalau kamu takut ada tetangga yang bakal julid, tenang aja. Semua yang tinggal di daerah ini tuh kaum elite, mereka terlalu sibuk dengan urusan pekerjaan mereka dan nggak ada waktu untuk gosipin kamu sama Lea."
Melvin mengacak rambutnya lagi. "Tetap aja, Mi! Aku nggak mau tinggal sama Lea sebelum kami berdua nikah. Kita belum sedekat itu."
"Bingo." Mayana menjentikkan jari. "Itu alasan kenapa kamu harus tinggal serumah sama Lea sebelum kalian menikah. Supaya kalian bisa mendekatkan diri dan terbiasa sama kehadiran satu sama lain. Try to get to know her okay, honey?"
"Mami-"
"Shhhh." Mayana meletakkan jari telunjuknya di depan bibir Melvin, menyuruh anak laki-lakinya itu untuk berhenti bicara. "Stop protes dan terima aja. Lagipula, tiga minggu itu nggak lama. After all, kalian juga bakal tinggal serumah kan?"
Melvin tahu, ia sudah tidak bisa mendebat lagi keputuan orangtuanya karena keputusan mereka sudah belat. Yang bisa dilakukannya hanya lah menghela napas lelah dan berdecak kesal karena secara terpaksa, harus menerima ini semua.
Mayana tersenyum pada Melvin dan menepuk-nepuk bahu anaknya itu.
"Ingat ya, honey, get to know your soon to be wife better. Perlakukan dia dengan baik," ujar Mayana. Lalu, ia mengedipkan sebelah matanya pada Melvin, "Kalau bisa, Lea jangan sampai hamil dulu."
"Mami! Of course I won't do that!"
Mayana tertawa dan bergumam jika dirinya hanya bercanda. Tapi, Melvin sudah terlanjur kesal. Sangat, sangat, kesal.
Harus tinggal serumah dengan Lea lebih cepat daripada seharusnya adalah kejutan terburuk yang pernah Melvin dapatkan seumur hidupnya.