Di laboratorium, para Akila berkumpul menunggu giliran memasuki ruang pemeriksaan. Ini adalah pemeriksaan kesehatan rutin yang dilakukan untuk ras Akila. Setiap sebulan sekali, kesehatan para Akila akan diperiksa oleh dokter-dokter ahli dari berbagai penjuru. Ras Akila adalah ras petarung yang keberadaannya sangat sedikit di dunia.
Menurut penuturan kepala ras kami, Sang Penakluk, populasi ras Akila yang saat ini diketahui jumlahnya hanyalah sekitar 10 ribu orang, itu pun yang hanya berada di dalam sangkar. Sementara yang lainnya masih belum diketahui. Ras Akila memiliki 3 jenis, di antaranya: jenis pertama dan tertinggi ialah jenis petarung yang lebih cenderung menggunakan kekuatan fisik atau disebut Akila Combat, jenis kedua ialah Akila jenius yang cenderung menggunakan akalnya untuk menyusun strategi dengan sebutan Akila the Strategist, dan ketiga ialah Akila yang dapat sembuh dari lukanya dengan cepat disebut Akila Recuperation. Sampai saat ini, aku masih belum mengetahui jenisku, tetapi pemeriksaan kali ini akan menentukannya.
"Akila666 segera masuk ke ruang pemeriksaan!"
Aku berjalan ke ruang pemeriksaan. Di dalam ruangan bersih yang serba putih, terdapat banyak alat canggih kedokteran yang tentu saja tak kumengerti fungsinya, beserta para dokter dari seluruh penjuru dunia. Aku segera berbaring di atas ranjang yang telah disediakan. Kemudian, dokter menyuntikkan cairan berwarna biru di lenganku.
"Tidak apa-apa. Ini akan menenangkanmu," ucap sang dokter.
Seketika itu juga, rasa kantuk mulai menyelimutiku hingga tak lama kemudian aku terlelap.
Tolong kami!
Jangan siksa kami!
Bebaskan kami!
Tolong!
Di sebuah ruangan gelap, tanpa sekelebat cahaya, aku mendengar berbagai jeritan dan permohonan. Aku dipenuhi rasa takut dan mencoba berlari sekuat tenaga. Meski tak melihat apa pun, aku tetap berlari. Namun, ruangan itu tak berujung. Tak lama kemudian, aku berpindah ke tempat lain. Di dalam hutan tempatku tinggal, ada yang aneh. Para Akila yang telah lama mati di medan perang, berkumpul dan tampak murung. Aku mendekati mereka.
"Hei! Apa yang telah terjadi? Kenapa kalian ...."
"Tolong, bebaskan kami. Kami tidak ingin membunuh lagi! Tolong kami!"
Aku terperangah, menatap kosong. Mereka yang dulu selalu tersenyum setelah perang usai, kini tampak dibalut penyesalan. Aku masih ingat jelas bagaimana senyuman dan teriakan mereka saat perang diumumkan. Mereka bergembira dan tak sabar dapat membunuh para pemberontak.
Memang, pernah terlintas di pikiran, akan sampai kapan kami membunuh? Meski ras Akila identik dengan kekuatan fisik yang kuat, tetapi akan sampai kapan kami bisa mendapat kebebasan? Tidak dimungkiri, setelah kepulanganku dari medan perang waktu itu, rasa bersalah terus-menerus menghantui. Ah, mungkin karena baru pertama kali aku merasakan perang sungguhan, pikirku. Setidaknya, aku hanya berusaha menenangkan diri sendiri dan berusaha lari dari ketakutan.
"Tolong, bebaskan kami!"
Mereka beranjak bangkit, kemudian berjalan ke arahku. Dengan wajah tak berdaya dan penuh harapan, dengan sekelumit penyesalan, mereka terus mendekatiku.
"Tidak! Aku tidak bisa menolong kalian! Aku tidak bisa!"
Aku berlari dipenuhi rasa takut. Bayangan orang-orang yang telah kubunuh terlintas dipikiran seketika itu. Suara mereka memenuhi telingaku.
"Tidak! Aku tidak bisa menyelamatkan kalian! Maafkan aku! Maafkan aku!" pekikku, sembari menutup kedua telinga, sampai akhirnya aku terbangun dari mimpi buruk itu.
"Tidak! Aku tidak bisa!"
Membuka mata, sang dokter menatap penuh tanda tanya. Dahinya mengerut.
Napasku tersengal-sengal. Rasanya lebih melelahkan daripada perang. Kutatap sang dokter. Ia tampak berpikir, seraya menyangga dagu dengan tangan.
"Membingungkan," gumam dokter itu, menatapku heran.
"K-kenapa, Dok?" tanyaku, mencoba memastikan.
"Saya belum pernah melihat jenis ini. Saya pikir saya sudah melakukan kesalahan, tetapi>"Jadi, saya ini tipe Akila apa, Dok?"
"Kamu tidak termasuk dalam 3 jenis Akila."
"Kalau begitu, apakah saya bukan seorang Akila?"
"Darahmu murni keturunan Akila. Tetapi yang membuat saya bingung saat ini, jenis Akilamu tidak jelas. Sejauh ini saya tidak pernah menemukan masalah yang membingungkan seperti ini," balasnya, mengerutkan dahi, "Begini saja, saya akan membuat riset dulu. Jika saya sudah menemukan masalahnya, tim gabungan akan menjemputmu dan membawamu lagi ke sini."
Aku segera bangkit dari ranjang.
"Untuk sementara ini, ikutlah berperang tanpa memikirkan jenismu," lanjut sang dokter.
***
"Akila8900! Cepat menuju barisan depan. Jenis Akila petarung ambil posisi di depan! Jenis Akila strategi, posisi di belakang Akila petarung. Dan terakhir, Akila penyembuhan menyebar menyesuaikan posisi di sebelah kanan dan kiri!"
Sang penakluk sibuk memberi perintah pada kami. Setiap jenis dari Akila sudah berada di posisi masing-masing. Sedangkan aku yang sama sekali tidak mengetahui jenisku, masih terdiam penuh tanda tanya. Masih terbayang mimpi buruk waktu itu.
"Kamu! Akila kode berapa?!" tanya Sang Penakluk padaku.
"Saya Akila666!" jawabku, tegas.
"Akila666? Itu artinya kamu Akila yang belum diketahui jenisnya, benar?"
"Benar, Ketua!"
"Kalau begitu, kamu ambil posisi mana pun yang kamu inginkan. Cepat!"
Aku segera mengambil posisi terdepan, yaitu di barisan jenis Akila petarung.
Ini kali kedua aku ikut berperang. Lawan kami kali ini adalah para pemberontak yang tidak tunduk pada kekuasaan orang berwibawa. Mereka ingin menciptakan kesatuan mereka sendiri. Menurut beberapa laporan, mereka juga menolak negosiasi dari orang berwibawa. Tidak menutup kemungkinan ada Akila lain di dalam kelompok pemberontak. Menurut kabar yang kudengar, tidak semua Akila bisa menerima aturan orang berwibawa. Akila pemberontak lebih ingin menyelamatkan dunia dari kehancuran. Pola pikir Akila pemberontak juga bertolak belakang dengan Akila seperti kami yang lebih mirip seperti anjing yang tunduk pada tuannya.
"Musuh datang!" pekik salah satu Akila petarung di barisan paling depan, memberitahukan bahwa musuh telah mulai bergerak.
Berbeda dengan kami yang dilengkapi senjata modern bernama Akila Own, para pemberontak tidak punya senjata canggih semacam itu. Mereka menggunakan senjata manual seperti senapan, pistol, tombak, pedang, dan senjata-senjata zaman dahulu lainnya.
Karena aku berada di barisan terdepan, maka aku memulai serangan dengan ledakan sebesar 50 persen agar pasukan musuh terpecah belah.
Hiruk-pikuk suara senjata api dan pedang mulai menghiasi wilayah perang. Di tengah-tengah perang yang sedang berlangsung, tiba-tiba terdengar sebuah suara.
"Tolong!"
Suara tersebut membuatku tak fokus pada lawan. Justru, aku sibuk mencari-cari suara yang entah berasal dari mana.
"Tolong!"
Terdengar lagi suara itu. Aku bersembunyi di antara reruntuhan bangunan. Kedua mataku sibuk mencari-cari sumber suara. Seorang gadis. Di antara reruntuhan batu-bata yang menumpuk, seorang gadis tertindih, tak dapat keluar. Dengan segera kusingkirkan tumpukan reruntuhan tersebut dan mengeluarkan si gadis. Dia tampak tidak berdaya, lalu terbaring lemah, tetapi sesekali menatapku penuh harapan. Seketika itu juga, entah apa yang kurasakan. Sesuatu di dalam dadaku berontak tak menentu. Semangat yang tadinya bergelora, kini sirna seketika.
"Siapa kamu?!" tanyaku pada si gadis.
"A ... air. T-tolong ...." Suaranya serak, matanya sayu. Karena kebetulan aku selalu membawa sebotol air minum, aku memberikan si gadis meminumnya.
"Jadi, kenapa kamu bisa ada di sini?! Atau jangan-jangan kamu adalah musuh?!" ujarku, sembari waspada. Mengacungkan senjataku pada si gadis.
Gadis itu tak merespons, ia masih sibuk meneguk sebotol mineral yang kuberi padanya.
"T-terima kasih ...," ucap gadis kumal itu, kemudian mengulurkan tangannya, memberikan botol minumanku yang masih tersisa setengahnya.
"Cepat pergi dari sini kalau kamu masih ingin hidup! Pergilah yang jauh! Jangan pernah kembali lagi!"
"A-aku ... tidak punya tempat tinggal," balasnya lirih.
Tanpa pikir panjang, aku meninggalkan gadis itu dan kembali ke posisi semula.
Sangat membingungkan. Ketika di hadapan musuh, aku tidak bisa fokus sama sekali dengan pertarungan. Aku hanya berpikir tentang gadis tadi. Hal itu terus mengganggu, akibatnya luka sayat memenuhi tubuhku. Berkali-kali sudah aku menjerit ketika musuh berhasil melukaiku.
Ketika pandanganku tertumbuk pada sebuah tank yang tengah bersiap menembakkan amunisi, ternyata tank tersebut sedang membidik bangunan lusuh yang dipenuhi reruntuhan di mana gadis kumal itu berada. Secara refleks aku berlari sekencang mungkin menuju si gadis. Namun, langkahku tak sampai. Amunisi telah diluncurkan dan bangunan lusuh itu telah hancur lebur, rata dengan tanah. Aku tak tahu disebut apakah ini. Namun, hal tersebut justru semakin menyulut kemarahan. Aku membabi buta lagi. Bergerak secepat kilat. Meledakkan setiap musuh hingga bagian tubuh mereka terurai tanpa sisa.
Berapa lama lagi kami akan terus-menerus seperti ini?
Berperang tanpa tujuan yang jelas. Meski telah berkali-kali memenangkan pertarungan, tetapi kebebasan masih begitu jauh dari penglihatan.
Berapa lama lagi perang ini harus berlangsung?
Kami melihat teman-teman kami mati dan meninggalkan mayat mereka tanpa rasa bersalah. Andai saja yang dilahirkan dapat memilih di mana ia akan dilahirkan. Atau andai saja kami dapat memilih untuk tidak dilahirkan, aku pasti lebih memilih mati dalam kandungan.
Terasa sangat sakit, tetapi tak terluka. Pun tak berdarah, tetapi sakit.
Apakah jika aku mencongkel dan mengeluarkan sesuatu di dalam d**a ini, aku akan menemukan jawabannya?
Jika yang dilahirkan bertujuan hanya untuk mati dengan sia-sia, maka siapa gerangan yang tega membuat dunia ini? Jika bumi diciptakan untuk dihancurkan, maka siapa gerangan yang tega membuat bumi ini? [1]
Perang lagi-lagi berakhir dengan kemenangan kami. Namun, tidak sedikit pun aku merasa gembira atau merasa bangga. Kami hanya membawa kemenangan bagi mereka yang dengan damai duduk di singgasana mewah. Mereka dengan nyenyak tidur di ruangan bersih yang luas. Mereka mendapatkan kedamaian, tetapi memberikan kami kebebasan dan kedamaian palsu. Mungkin sudah saatnya dunia ini sedikit diubah. Namun, siapa yang dapat mengubah dunia yang besar ini? Bahkan, sekelompok orang di luar sana berperang dengan kami tak pernah bisa memenangkan peperangan. Apalagi jika hanya segelintir orang berusaha dan memiliki keinginan mengubahnya. Bukankah itu hanya semacam ilusi semata? Atau hanya kata-kata penyemangat belaka?
***
Catatan:
[1] = Monolog karakter Akila.