Derap langkah kaki pelan terdengar di sebuah istana luas tempat aku tengah terpaku menunggu. Cemerlangnya lantai istana membuatku menatapnya beberapa menit. Bersih dan rapi. Sebuah istana yang merupakan departemen pertahanan di Kota Byzantium. Para militer lengkap dengan persenjataan berbaris rapi mengelilingi sebuah singgasana. Seorang pria tinggi berbadan besar, di mata kanannya terdapat sebuah goresan membentuk garis vertikal dari alis hingg pipi, lalu duduk di atas singgasana berwarna keemasan di hadapanku.
Pria tersebut adalah pemimpin Kota Byzantium bernama Alexander. Ialah yang juga menjadi titik masalah dalam tragedi perang Kota Eretria. Alexander, sang pemimpin, memiliki lebih dari lima ribu prajurit militer yang sudah siap dikirim ke medan tempur. Sementara itu, masih banyak calon militer yang sedang dilatih.
“Jadi, siapa kau yang berani menemuiku di istana ini?” Alexander menatapku tajam.
Aku bersimpuh dengan tangan kanan di depan d**a, memberi hormat pada sang pemimpin.
“Maaf jika menurut Anda saya telah lancang masuk ke dalam istana ini,” ucapku sambil membungkuk.
“Baiklah. Katakan ada perlu apa kau denganku?”
Kuangkat kepala, menatap ke arah Alexander, lalu berkata, “Saya ingin berbicara soal hubungan antar kedua kota, yaitu Kota Eretria dan Kota Byzantium, Yang Mulia.”
“Hah?” Alexander tertawa meremehkan.
“Saya ingin mengakhiri perang ini, Yang Mulia.”
“Jadi kau utusan dari kota bodoh itu?!” Alexander menyeringai. “Apa pemimpinmu, si Aconteus, sudah mau menyerahkan tanah itu untuk Kota Byzantium?”
“Tidak, Yang Mulia. Lagi pula, tanah itu bukan milik siapa pun. Tanah itu tempat singgahnya para Dewa ....”
“Jangan bodoh!” pekik Alexander. “Para Dewa kau bilang? Di dunia ini tidak ada Dewa. Dewa hanya mitos belaka yang dibuat-buat orang di zaman dahulu untuk melemahkan hati manusia. Kau tahu? Tidak ada Dewa di dunia ini. Manusia terlalu berkhayal tentang keberadaan kekuatan paling besar hanya sebagai tempat mereka berpangku tangan. Semua itu hanya ilusi dan bentuk dari lemahnya manusia.”
“Lagi pula, tanah itu tidak begitu luas, Yang Mulia. Itu tidak seberapa dengan luasnya wilayah Kota Byzantium. Tujuan saya kemari untuk bernegosiasi dengan Anda, Yang Mulia. Apa Anda tidak kasihan dengan banyaknya para rakyat dan prajurit yang mati sia-sia akibat tragedi perang itu? Maaf, tapi saya tidak begitu mengerti tentang keberadaan Dewa. Yang pasti, saya datang bukan untuk membicarakan Dewa,” ucapku, mencoba memberi pendapat.
“Mereka mati secara terhormat. Itulah yang mereka ingin—”
“Apa? Mati terhormat?” Amarahku mulai bereaksi mendengar kalimat sampah yang diucapkan Alexander. Sambil mengepal kedua tangan, aku kembali berkata, “Aku yakin mereka ingin kedamaian. Bukan kematian secara terhormat atau tidak terhormat. Mati tetaplah mati. Kau tidak bisa menganggap kematian sebagai sesuatu yang terhormat, Yang Mulia.”
Suasana hening mencekam. Alexander tak membuka mulutnya lagi. Pasukan militer yang berderet tampak curi-curi pandang. Sepertinya mereka tengah dalam posisi siaga jika saja aku melakukan hal buruk di istana tersebut.
“Apa yang kau janjikan padaku jika kami ingin menerima perdamaian yang kau bicarakan, Anak Muda?” Alexander bangkit dari singgasana keemasan itu. Ia maju selangkah, menuruni anak tangga yang membatasi singgasana pemimpin dan orang biasa.
Aku mengangkat tangan, memperlihatkan telapak tanganku pada Alexander.
“Apa kau tahu soal ini?”
“Apa?! Akila?!” Alexander terbelalak menatap telapak tanganku yang bertuliskan tiga digit nomor sebagai tanda bahwa aku adalah ras Akila.
Ketika salah satu prajurit militer yang menjaga singgasana Alexander menyadari hal tersebut, ia segera mengacungkan senapan ke arahku. Beberapa militer serentak mengikuti. Tak heran karena aku adalah ancaman terbesar di dunia saat ini.
“Tidak. Turunkan senjata kalian. Dengarkan dulu penjelasanku,” ucapku kemudian, bersikap tenang.
Alexander memberi isyarat pada prajuritnya untuk menurunkan senjata mereka.
“Aku tahu. Itu adalah nomor yang diberikan untuk ras Akila. Dan itu artinya kau adalah pasukan Kota Plataia. Benar?” jelas Alexander.
“Ya, benar sekali. Saya adalah pasukan yang berasal dari ras terkuat di muka bumi ini. Jangan salah. Meski sendiri, saya bisa mengalahkan semua prajurit Anda, Yang Mulia,” ucapku, sedikit menggertak.
“Baiklah kalau begitu. Mari, kita bicarakan semua ini agar lebih jelas lagi.”
Alexander kembali duduk di singgasananya. Sepertinya ia mulai tertarik dengan apa yang akan kujelaskan lebih rinci padanya. Aku yang tadinya bersimpuh karena menghormati sang pemimpin, akhirnya berdiri tegap menghadap Alexander.
“Pertama-tama saya minta pada Anda dan semua yang ada di sini untuk merahasiakan keberadaan saya. Maukah Anda berjanji untuk itu?”
“Hmm.” Alexander mengelus jenggot panjangnya sambil mengangguk. “Baiklah.”
“Apakah saya bisa percaya kepada Anda dan semua prajurit Anda yang menyaksikan hal ini?” tanyaku memastikan.
“Ayolah, memang apa untungnya bagi kami jika melaporkan seorang Akila yang kabur dari sangkar? Kami juga membenci para petinggi Plataia. Dengan begitu, bagaimana kami akan melaporkanmu, Anak Muda?” Alexander tampak meyakinkan.
“Baiklah. Anda dapat memanggil saya dengan nama Darien. Saya adalah seorang pengembara. Saya bertujuan mendamaikan seluruh dunia ini ....”
Sebelum penjelasanku tuntas, Alexander tertawa terbahak-bahak sembari menahan perutnya.
“Mengapa Anda tertawa, Yang Mulia?” tanyaku dengan dahi mengerut.
“Ah, tidak. Ternyata kau adalah pemuda ras Akila terkonyol yang pernah kutemui semasa hidupku,” jawab Alexander, masih tertawa keras. Seakan perkataanku adalah sesuatu yang sangat mustahil di mata pemimpin tersebut.
“Terserah Anda mau percaya atau tidak, Yang Mulia. Saya sudah mengatakan yang sebenar-benarnya. Maka dari itu, langkah awal saya adalah menyatukan Kota Eretria dan Kota Byzantium. Saya berpetualang di dunia ini untuk mencari orang tua saya dan arti dari hidup ini. Saat saya sudah menemukan jawaban atas pertanyaan saya di dunia ini, maka saya akan kembali untuk membuat rencana dan menghancurkan Kota Plataia. Tentu saja dengan bantuan seluruh prajurit di kota-kota yang ada di dunia ini,” jelasku.
Alexander terdiam. Ia tak tertawa lagi. Pun tak merespons. Wajahnya datar tanpa ekspresi. Sedangkan kedua matanya kosong.
“Bagaimana, Yang Mulia? Apakah Anda sedikit tertarik dengan apa yang saya tawarkan?”
“Sebelumnya, apa kau sudah melihat bagaimana keadaan kota ini?” tanya Alexander. Kali ini wajahnya berubah sedih. Aku tidak tahu mengapa sangat yakin dengan anggapanku. Yang jelas, aku melihat kesedihan di matanya.
“Tidak, Yang Mulia.”
“Kalau begitu, akan kutunjukkan kau sesuatu. Sesuatu yang mungkin bisa membuatmu tidak bisa tidur malam ini.” Sang pemimpin bangkit, kemudian melangkah ke arahku. “Ayo, ikuti aku, Anak Muda.”
Alexander menuntunku berkeliling menyaksikan bagaimana suasana Kota Byzantium. Tidak dimungkiri, Kota Byzantium tampak sangat indah. Kota tersebut banyak ditumbuhi pepohonan yang membuat suasana sejuk ketika angin berembus. Namun, tidak pada beberapa tempat. Jauh di pinggir Kota Byzantium, terdapat sekelompok orang dengan pakaian compang-camping. Kumal. Wajah mereka tertutup kesedihan yang mendalam.
Tak lama kemudian, langit diselimuti awan gelap. Halilintar menyambar-nyambar di seluruh jagat raya. Hujan turun beberapa saat kemudian.
“Yang Mulia, mari mencari tempat teduh,” saranku.
“Tidak. Lihatlah. Tidak ada tempat semacam itu di sekitar sini.” Alexander menatapku kembali. “Inilah apa yang ingin kutunjukkan padamu, Anak Muda. Lihatlah orang-orang itu, mereka sama sekali tidak peduli hujan ataupun panas. Mereka tetap tak beranjak dari tempat itu.”
Aku pun sadar dengan apa yang sebenarnya ingin ditunjukkannya. Sekelompok orang yang tak beranjak meski hujan turun atau terik panas menyengat. Alasan yang paling berpengaruh ialah bahwa mereka tidak punya tempat tinggal. Dengan alasan itu, mereka pun tidak peduli basah oleh hujan atau tersengat terik matahari. Sedangkan, di pusat kota, Byzantium sudah padat oleh penduduk dan rumah-rumah.
Jadi, seperti inikah?
Seperti inikah keadaan kota ini yang sebenarnya?
“Jadi ...,” ucapku, lirih.
“Benar, Anak Muda. Apa yang kau lihat dan apa yang kau pikir tentang kami tidak sepenuhnya benar. Inilah kenyataannya. Kami berusaha merebut tanah tak seberapa itu memang karena ingin memperluas wilayah kami. Namun, inilah alasan di balik semua itu. Mengapa kami bersikeras merebut tanah itu, sehingga kami dengan berani membantai seluruh pasukan Kota Eretria yang menghalangi jalan kami? Angka kelahiran di kota kami sangat tinggi. Meskipun banyak dari mereka yang mati, angka kelahiran sepuluh kali lipat bertambah setiap tahun. Kami tidak punya tempat lagi untuk membangun rumah.
Kami ingin membangun sebuah rumah untuk orang-orang itu, Anak Muda. Sekarang, apa kau masih percaya pada Dewa? Dengan begitu, manakah yang akan kau dahulukan? Para Dewa yang tidak pernah kau lihat, atau orang-orang malang yang ada di sini?” jelas Alexander. Ada sebuah tatapan penuh misteri di kedua matanya.
Ternyata, apa yang dipikirkan seluruh penduduk Kota Eretria, serta pemimpin mereka tidak sepenuhnya benar. Maka aku di sini menyaksikan kebenaran itu. Di balik kekejaman mereka, yang dengan keji merenggut nyawa siapa pun yang menghalangi tujuan mereka, ada sebuah niat mulia yang disembunyikan di dalamnya.
“Kenapa, Anak Muda? Dengan melihat kebenaran ini, masihkah kau bisa berbicara dan menentang kemauan keras kami?” Alexander tertunduk menyembunyikan kesedihannya. “Lihatlah, Nak. Kami tidak punya pilihan. Mereka adalah pendudukku. Mereka rakyat yang telah dengan bangga memilihku sebagai seorang pemimpin. Lalu, dengan tega aku tidak memberikan tempat bagi mereka di kota ini.”
“Saya tidak tahu ada hal semacam ini di Kota Byzantium. Meski begitu, tindakan merebut hak milik orang lain tidak pernah dibenarkan, Yang Mulia.”
Lagi-lagi kepalaku dipenuhi kebingungan yang luar biasa sampai-sampai tidak sanggup memikirkannya lagi. Aku sadar apa yang dilakukan manusia di dunia ini pasti punya alasan masing-masing. Meski begitu, merenggut milik orang lain tak pernah bisa dibenarkan. Membunuh tidak pernah benar meskipun ada niat baik di baliknya.
“Kota Byzantium memang lebih luas daripada Eretria. Tapi, penduduk kami tiga kali jauh lebih banyak. Dan seperti inilah jadinya. Kami tidak dapat menampung semua penduduk di kota ini dengan padatnya seluruh bangunan di kota.
Anak Muda. Jika kau berhati mulia. Dan jika kau ingin mendamaikan dunia ini, maka katakanlah padaku, apa yang seharusnya aku lakukan?” jelas Alexander. Kini tatapannya berubah menjadi sebuah harapan. Ada harapan yang terpancar di sana.
Jangan bercanda! Mengapa semua pemimpin kota mengandalkanku? Kenapa mereka menaruh harapan padaku?
Aku semakin dibingungkan dengan keadaan dunia yang begitu rumit ini. Jika dipikir-pikir kembali, mendamaikan dunia memang bukan masalah yang mudah, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Namun, aku sadar bahwa beginilah alam mengajariku untuk beradaptasi. Beginilah alam menuntunku untuk dapat membuat dunia menjadi damai.
“Yang Mulia. Maafkan saya.” Aku bersimpuh di hadapan Alexander.
Meski hujan merenggut akurasi pandanganku, tetapi aku tahu Alexander sedang meneteskan air mata untuk semua penduduk berpakaian lusuh itu.
“Saya berjanji akan membantu Anda. Saya akan bicara pada pemimpin Kota Eretria. Saya yakin dia akan mengerti. Tapi, setelah semua bisa kuselesaikan dengan baik, saya ingin Kota Byzantium dan Kota Eretria membuat sebuah persatuan antar kota.” Aku bangkit kembali, menatap sang pemimpin. “Bagaimana, Yang Mulia? Apakah Anda setuju untuk mengabulkan permintaan saya?”
“Jika kedamaian bisa tercipta dengan cara itu, maka aku bersedia mewujudkan keinginanmu, Anak Muda,” balas Alexander, mantap.
“Kalau begitu, saya akan kembali ke Kota Eretria sekarang juga. Jika saya berbicara pada Aconteus, dan dia mennyetujui, maka saya akan kembali ke sini untuk membawa Anda menuju Kota Eretria.”
“Terima kasih, Anak Muda,” ucap Alexander, tersenyum bijaksana. Tampaknya kini dia memperlihatkan raut penuh syukur.
Aku akhirnya melangkah pergi dari Kota Byzantium menuju Kota Eretria untuk membicarakan perihal tersebut pada Aconteus. Aku sangat yakin dengan kerendahan hati yang dimiliki Aconteus, maka ia akan menyetujui terjalinnya sebuah kerja sama antara Kota Eretria dengan Kota Byzantium.
***
Setelah akhirnya berbicara dengan Aconteus dan berusaha meyakinkannya, ia setuju memberikan lahan tersebut untuk Kota Byzatium dengan syarat Kota Byzantium akan bekerjasama dalam bidang perdagangan antara kedua kota. Dengan begitu, resmilah lahan tersebut menjadi milik Kota Byzantium, yang kemudian dibangun menjadi sebuah rumah besar untuk menampung para penduduk gelandangan.
Dalam beberapa bulan terakhir, kerja sama antara Kota Eretria dengan Kota Byzantium terlihat lancar-lancar saja. Para penduduk bisa menerima satu sama lain tanpa keberatan sedikit pun. Sekian bulan berlalu hubungan tersebut semakin terikat erat, sampai akhirnya kedua pemimpin sepakat menyatukan kedua kota sesuai dengan apa yang kusarankan. Kini, kota Eretria dan Byzantium sudah tidak terpisah lagi. Kedua kota itu menjadi satu kota, yang kemudian dinamakan Kota Eretium. Eretium berarti Eretria dan Byzantium, yang digabung menjadi satu kata. Alexander menjadi pemimpin tertinggi Kota Eretium, kemudian Aconteus menjadi wakil pemimpin di kota itu.
Dengan begitu, terpenuhi sudah harapan kedua pemimpin untuk melihat kedamaian bersama rakyat mereka. Begitu juga denganku, aku beryukur bisa menyatukan kedua kota tanpa adanya perselisihan. Alexio dan Achila semakin bangga padaku atas hal tersebut. Namun, ini hanyalah awal yang tidak seberapa dibandingkan dengan menyatukan seluruh kota di dunia ini.
***