POV 3
“Apa kau ingin mati?!”
“Ah, tidak. Aku tidak ingin mati. Memangnya siapa orang bodoh di dunia ini yang ingin mati?” Julio menatap remeh beberapa pria paruh baya di hadapannya.
“Pergilah kau dari kota ini!” Salah satu pria paruh baya di hadapan Julio mengusir sambil berwaspada terhadap segala tindakan yang bisa merugikan.
“Mengapa aku harus pergi?” Julio bertanya dengan pelan. Lantas mengerutkan dahi.
“Kau mencuri beberapa buah dari pedagang kami. Wajar saja jika kami mengusirmu. Sekarang, pergilah sebelum—“
“Sebelum? Apa?” Tiba-tiba Julio menajamkan sorot mata. Menatap seluruh pria paruh baya yang mengepung. Kewaspadaannya makin tinggi.
Sejak beberapa jam yang lalu, Julio telah tiba di Kota Eretium. Ya, sebuah kota damai yang pernah berhasil dipersatukan Darien.
“S-sebelum kami membunuhmu di sini.” Pria paruh baya itu tampak agak gemetar. Ya, bagaimana tidak? Lihatlah, betapa mengerikan tatapan Julio. Meski warna biru memang melambangkan suatu keindahan, tetapi sesungguhnya tatapan yang diarahkan Julio kepada beberapa pria di hadapannya merupakan tatapan seorang iblis yang siap menghabisi siapa saja.
“Sudahlah, jangan banyak basa-basi. Jika kalian ingin melakukannya, maka cepatlah lakukan!” tegas Julio, masih tak beranjak sedikit pun.
Secara perlahan salah satu pria berambut putih mengambil sebuah tongkat yang bertengger di dinding. Pria itu berpikir gerak-geriknya tak diperhatikan Julio. Tentu Julio tidak selengah itu, maka ketika tongkat dilayangkan ke kepala, Julio dapat menangkis dengan mudah, lalu memelintir tangan pria tersebut hingga menjerit kesakitan.
“Aw! Aw! L-lepaskan!” Pria berambut putih memekik meminta dilepaskan.
Sementara pria lainnya yang melihat kawan mereka sedang terpelintir tangan besar Julio, lantas bergidik ngeri. Mereka beringsut mundur, lalu berlari terbirit-b***t meninggalkan kawan mereka dalam genggaman Julio.
“A-ampun! Ampuni saya!” kata pria berambut putih itu dengan napas terengah-engah.
Tanpa membalas, Julio kemudian melepaskan tangan pria tersebut. Dan si pria pun mengambil langkah seribu tanpa pernah menolehkan pandangan ke belakang tempat Julio berada.
“Hei, Anak Muda!” Sebuah suara menyapa Julio.
Ketika membalikkan badan ke belakang, Julio mendapati seorang pria tua. Di mata kanan terdapat goresan vertikal yang tampak seperti bekas siratan pisau. Tentu dia adalah Alexander, pemimpin Kota Eretium yang bijaksana.
“Ada apa? Apa kau juga ingin aku mematahkan tanganmu?” kata Julio tanpa berbasa-basi.
“Ah, tidak, tidak. Aku hanya penasaran denganmu sejak kedatanganmu di kota ini, Anak Muda. Aku punya seorang teman yang punya tatapan sepertimu.” Lantas Alexander menyunggingkan senyuman ramah.
Tatapan tajam Julio perlahan berubah keheranan. Dahi mengerut penasaran. “Siapa yang kau maksud itu?”
“Seorang lelaki yang lebih muda darimu. Dia sangat berjasa bagi kami. Bagi kota ini.”
“Berjasa? Memangnya apa yang pernah dilakukan lelaki itu untuk kota ini?”
“Kota ini dulu terbagi menjadi dua. Ada suatu perselisihan yang telah lama tak pernah bisa kami selesaikan dengan perdamaian. Dan anak muda itu datang kepada kami menawarkan kedamaian. Menawarkan kebahagiaan yang abadi dan melepaskan belenggu perang. Itulah yang dia lakukan pada kota ini. Menyatukan kota.” Alexander menerangkan dengan semburat senyum nostalgia mengingat anak muda yang dibicarakannya. “Dan mata birumu mengingatkanku padanya.”
Julio menunduk, tampak berpikir.
“Kau sendiri bertujuan ke mana, Anak Muda?” sambung Alexander.
“Ah, aku kebetulan sedang mencari seseorang. Sebelumnya, maaf aku telah membuat keributan di kota damai ini.” Julio pun menggores sebuah senyum tipis.
“Bolehkah aku tahu siapa gerangan yang sedang kau cari?” Alexander terlihat penasaran.
“Aku mencari seorang anak muda. Persis seperti yang kau sebutkan tadi.”
“Seorang anak muda dengan bola mata biru? Jangan-jangan kau ....” Alexander menggantungkan kalimat. Ia kemudian terdiam. Matanya dengan lamat memandangi Julio dari ujung kaki hingga rambut.
“Kenapa, Pak Tua?”
“Sepertinya kita harus membicarakan ini di kediamanku. Kau, ikutilah aku.” Alexander pun berjalan menuju kediamannya di pusat kota.
***
“APA?! Akila666? D-Darien?” Julio terhenyak mendengar Alexander bahwa anak muda yang dimaksudnya merupakan ras Akila dengan nomor 666.
“Sudah kuduga bahwa kau—“
“Ya, aku juga salah satu ras Akila yang telah puluhan tahun bersembunyi.”
Alexander tak kalah terkejut mendengar lelaki di depannya mengaku sebagai ras Akila. Seperti yang Alexander tahu bahwa ras Akila dengan pola pikir seperti Julio telah cukup membuktikan bahwa ia juga merupakan Akila jenis keempat. Sama seperti Darien. Dan itu artinya Julio masih memiliki hubungan darah dengan Darien.
“Lalu, kau sebenarnya siapa? Ada hubungan apa kau dengan Darien? Aku yakin aura Darien yang sangat kuat diturunkan darimu, Anak Muda.”
“Aku yakin anak muda bernama Darien yang kau sebutkan tadi ialah anakku,” jelas Julio. Ada semburat senyum yang kemudian tercetak di wajahnya. Sepertinya ia lega mengetahui Darien, yang diakuinya sebagai anak itu, bisa tumbuh sebagai pria yang mewarisi tekad dirinya.
“Jadi ... kau juga mencarinya?” lirih Alexander.
“Apa maksudmu, Pak Tua? Tentu saja aku akan mencari anakku satu-satunya, yang bahkan mewarisi tekad dan semangatku ini.”
“Faktanya dia juga sedang melakukan perjalanan di daratan ini untuk menemukanmu. Lalu, apakah kau tidak bertemu dengannya di perjalanan?”
“Tidak. Aku sama sekali tidak melihat seorang pun yang menjelajahi Daratan Asterovos dari Bukit Naulus maupun Bukit Montius.” Julio menghela napas dalam. “Namun, aku melihat sesuatu yang aneh di Bukit Naulus.”
“Apa itu?”
“Ada banyak sekali bangkai pasukan militer Kota Plataia di sana. Entah apa yang terjadi. Tapi, aku yakin dengan bukti-bukti yang aku lihat, menandakan bahwa yang melakukannya ialah seorang ras Akila.” Julio mengungkapkan. Ia tampaknya berpikir semakin keras dengan keanehan yang dilihatnya di Bukit Naulus.
“M-mereka mati dan k-kepala mereka lebur?” Kedua mata Alexander membulat sempurna. Terkejut.
“Iya. Seperti itulah bagaimana seorang Akila membunuh tanpa senjata.” Julio menyilangkan tangan, lalu membenarkan posisi duduk.
“Sangat mengerikan ....” Alexander berlirih. ‘Ngeri dan kejam’. Kata itulah yang terucap di dalam benaknya. Dia memang tak habis pikir, mengapa ras Akila bisa menjadi ras paling ditakuti di muka bumi. Jika saja dulu dia melawan, mungkin nasibnya akan sama dengan pasukan militer itu.
“Kalau begitu, aku harus segera menemukan anakku. Akan sangat rumit jika sewaktu-waktu ia hilang kendali. Darien mewarisi gen dariku. Itu artinya ia juga seorang Akila jenis keempat. Tidak ada seorang pun yang tahu tentang jenis Akila ini, kecuali seseorang melakukan riset pada Akila ketika telah tumbuh dewasa.”
“Jadi, itulah mengapa kau—“
“Benar. Salah satu alasan mengapa aku melarikan diri dari sangkar, ialah bahwa aku tidak ingin siapa pun mengetahui jenis Akila keempat ini. Sebenarnya bukan hanya aku, tetapi masih banyak yang lain. Namun, entah di mana mereka berada.”
Alexander masih tertegun mendengar penjelasan Julio, ayah dari Akila666 atau Darien. Ia sekarang tahu. Terungkap sudah misteri akan keberadaan jenis Akila keempat yang sama sekali tidak pernah tersiar kabarnya di mana pun. Bahkan mungkin para petinggi dari Kota Plataia tidak pernah mengetahuinya.
***
“Seorang Akila jenis keempat seperti Darien tidak mungkin bisa mati semudah itu. Saya yakin!” Dokter Elasmus berkata kepada Achila guna membuatnya bersemangat lagi menjalani hidup.
Ya, faktanya Achila kini menjadi seorang gadis pendiam yang tak banyak bicara ataupun bertingkah. Sebelumnya, ia selalu bersikap optimis dalam menjalani keseharian. Baginya, menjaga hidup yang telah diberikan oleh Darien merupakan suatu amanah yang harus dilaksanakan. Akan tetapi, kini Darien, lelaki Akila yang pernah menyelamatkan dirinya dari kematian itu telah tiada. Entah. Benar atau tidak Darien telah mati oleh serum beracun itu.
“Dengan berdasarkan apa kau yakin dengan pendapatmu, Dok?” tanya Achila berlirih.
“Dengan berdasarkan bahwa Darien tidak termasuk dalam tiga jenis Akila. Kamu tahu? Ketika serum itu dibuat di laboratorium Kota Plataia, kami merisetnya berdasarkan dengan kelemahan bakteri pelindung ketiga jenis Akila. Ya, ketika serum itu dibuat, saya belum mengetahui ada jenis Akila keempat seperti Darien.” Dokter Elasmus menerangkan.
“Tapi, Dok. Bagaimana jika serum itu sudah dikembangkan menjadi lebih baik oleh ilmuan Kota Plataia lain?”
“Tidak, Achila. Mereka bahkan tidak tahu kelemahan ras Akila jenis keempat. Oleh sebab itulah mengapa saya meminta Darien melarikan diri dari sangkar dan mencari kehidupan yang layak untuk dirinya sendiri.”
Cukup masuk akal. Otak Achila menerima penjelasan Dokter Elasmus yang mengatakan bahwa tiada seorang pun yang tahu kelemahan Darien. Meski begitu, tidak ada sesuatu apa pun yang dapat menenangkan hati gadis itu. Pada akhirnya makhluk apa pun di dunia ini bisa saja mati, bukan? Dan hal inilah yang dipikirkan Achila. Jadi, tidak ada juga yang menjamin teori dari Dokter Elasmus itu merupakan seratus persen kebenaran.
“Achila? Apa kamu masih meragukan penjelasan saya?” Dokter Elasmus bertanya.
“Tidak ada seorang pun di dunia ini yang dapat menghindari takdir kematiannya, Dok. Aku bahkan tahu hal itu. Namun, aku masih tidak terima jika Darien harus mati dengan cara mengerikan seperti di foto itu.” Tatapan Achila kembali hampa. Ia menatap lurus papan sasaran panahan yang berderet rapi di dalam ruang bawah tanah itu.
“Ya, benar apa yang kamu katakan, Achila. Namun, dari awal saya sangat yakin bahwa sebenarnya Darien merupakan seseorang yang sudah ditakdirkan untuk mengubah dunia ini. Bahkan saya sering kali bermimpi tentangnya.”
“Bukan hanya kau, Dok, tetapi aku juga sering kali memimpikan Darien dapat mengubah dunia ini. Dan saat itu ... kami tersenyum sama-sama. Aku rindu mimpi itu, Dok. Dan sekarang mimpi itu telah menjelma menjadi mimpi buruk, yang tidak pernah kami inginkan.” Ada setitik cairan bening di manik Achila. Namun, ia tak menyeka air mata itu. Justru, ia semakin erat memeluk dirinya sendiri.
***
Acacio, pemimpin Kota Eleusina, tertegun di singgasana. Nyatanya, tidak hanya Achila yang terpukul atas kematian Darien, tetapi juga Acacio dan Alexio sangat-sangat terpukul hingga tidak dapat mengucapkan satu kata pun. Perasaan mereka tidak dapat diungkapkan. Mereka kecewa atas takdir Sang Dewa. Sebab, asa telah terajut dengan rapi, tetapi secara tiba-tiba rajutan itu dirobek oleh kenyataan pahit.
“Lapor!” Antonius, kaki-tangan sang pemimpin, berdiri tegak, memberi hormat kepada Acacio.
“Ada apa, Antonius?” Acacio tersadar dari ketertegunan.
“Di luar ada seorang pria besar sedang mengamuk-ngamuk, Sir.”
“Apa?! Mengamuk? Siapa dia, Antonius?” Jelas sekali Acacio terkejut. Ia kemudian bangkit dari posisi duduk.
“Saya tidak tahu, Sir. Yang jelas, pria itu membawa senjata yang sangat besar. Mirip seperti bola terbuat dari logam. Dan semua rakyat berlari ketakutan.”
“Kurang ajar! Siapa dia?! Berani-beraninya membuat keributan di kota ini!” Lantas Acacio menampilkan mimik murka. Dia menggertakkan gigi untuk membendung api emosi yang semakin mencuat.
***