Bab 22

2848 Kata
Setelah makan malam dengan makanan yang dipesan oleh Adrel melalui layanan online yang saat ini sedang booming, Mama memutuskan untuk pulang ke rumahnya. Sekarang tinggal Adrel, Mesya dan juga Dira yang sedang duduk bersama di ruang tamu. Mesya membawa sepiring biskuit dengan teh hangat kesukaan Adrel untuk menemani waktu santai mereka. “Jadi gimana? Mbak Dira setuju kalau kita berkunjung ke desa?” Tanya Adrel begitu Mesya duduk di sampingnya. Mesya tidak tahu kalau Adrel sudah bertanya pada Mbak Dira mengenai rencana mereka untuk berkunjung ke desa. Sekarang, yang bisa Mesya lakukan adalah menunggu Dira menjawab. Apakah wanita itu akan menolak atau justru menerima rencana itu dengan senang hati. Sejujurnya, Mesya sudah ingin mengajak Dira untuk memeriksakan kesehatan mental wanita itu. setelah mendapat permasalahan yang lumayan berat, seharusnya Dira memang mulai melakukan konsultasi dengan orang yang lebih berpengalaman. Semua itu hanya agar Dira tidak merasa tertekan sendirian. Kadang, manusia tidak sanggup menerima sebuah masalah dengan lapang d**a. Jika sudah begitu, yang pasti diserang adalah kejiwaan. Mesya tidak ingin ada masalah apapun yang menyerang kakaknya. Bagaimanapun juga, Dira adalah kakaknya. Jika kakaknya tertimpa musibah, Mesya tentu tidak akan senang. Dua orang saudara yang dulunya sangat sering bertengkar dan selalu bermusuhan memang memiliki cara masing-masing untuk tetap menunjukkan kepedulian satu sama lain. Saat masih di desa, Mesya dan Dora sangat jarang berdamai. Selalu ada hal yang membuat mereka bertengkar setiap hari. tapi meskipun begitu, Mesya tetap sangat menyayangi kakaknya. Sekalipun dalam tubuh mereka tidak mengalir darah yang sama, mereka tetap merasakan kasih sayang yang sama. Sebesar apapun masalah di masa lalu, semua itu tidak akan terlalu mempengaruhi masa depan. Mesya memang akan tetap mengingat apa yang sudah terjadi di antara dirinya dan Dira. Masalah itu akan tetap Mesya ingat seumur hidupnya sebagai sebuah pelajaran berharga. Dulu, saat belum bertemu dengan Dira, Mesya merasa jika mereka akan sangat canggung dan sebagainya jika harus berada di ruangan yang sama. Tapi, begitu sudah bertemu, sudah melihat Dira secara langsung, mengerti beberapa persoalan berat yang sedang dihadapi oleh wanita itu, sekarang Mesya merasa lebih baik. Dira akan tetap menjadi kakaknya. Semua orang pernah membuat kesalahan, bukan? “Aku nggak masalah kalau harus kembali ke sana. Aku mungkin akan merasa lebih baik kalau bisa berdamai sama mereka semua.. tapi, apa mereka mau berhubungan sama aku?” Rasanya seperti ada yang menghantam diri Mesya. Kakaknya memang mengkhawatirkan hal yang tadi dikatakan oleh Mama. Dira memang khawatir kalau sampai keluarga tidak menerima wanita itu. Ya ampun, jika seperti ini, Dira bisa semakin tertekan. Mesya sangat yakin kalau keluarga mereka di desa tidak akan mungkin mengatakan sesuatu yang akan menyakiti Dira. Mereka pasti sangat menghargai keputusan Mesya yang memaafkan kakaknya. Dan sama seperti Mesya, mereka juga akan mencoba untuk menerima Dira dengan sangat baik. Karea sejujurnya, mereka juga pasti sangat merindukan bocah nakal yang sombong seperti Dira. Mesya sangat yakin jika mereka tidak akan berbuat buruk ketika melihat Dira datang bersama dengan Mesya. Sama seperti yang dikatakan oleh Adrel. Tapi, bagaimana jika mereka bertanya mengenai Damar? Sampai saat ini, kata bude Karti, orang tua Damar juga masih sering pulang ke desa setelah mereka memutuskan pindah ke kota yang sama dengan tempat tinggal Dira dan Damar. Bagaimana.. bagaimana kalau mereka bertanya mengenai Damar? Apa Dira sudah siap untuk menjawab? “Mereka jelas mau, Mbak. Bagaimanapun kesalahan Mbak Dira, kalau Mbak Dira mau minta maaf, mereka pasti akan menerima kok. Di sini, sebenarnya yang paling merasa sakit hati itu aku, tapi Mbak Dira lihat, aku baik-baik saja” Mesya memang merasa jika perkataannya sedikit menyinggung perasaan Dira. Tapi biarlah, Mesya mengatakan ini agar Dira sadar dengan kesalahannya dan tidak berani membuat kesalah fatal lainnya. “Aku mungkin belum minta maaf ke kamu. Aku minta maaf, Sya..” Mesya tersenyum lalu menganggukkan kepalanya. Tidak masalah, sebenarnya sejak Dira mengatakan akan datang ke sini, hal pertama yang Mesya pastikan adalah dia sudah memaafkan kakaknya. Semuanya akan sangat rumit kalau Mesya ternyata belum memaafkan kakaknya. Semuanya tidak akan bisa berjalan dengan lancar kalau Mesya tidak memaafkan kakaknya. Lagi pula, sesuatu yang ada di masa lalu bukanlah hal yang bisa di banggakan sehingga Mesya harus membawanya seumur hidup. Yang penting sekarang semuanya baik-baik saja dan Mesya bisa berusaha membantu kakaknya untuk bisa sedikit terbebas dari beban hidup yang dia tanggung. Mesya juga wanita, Mesya tahu bagaimana rasanya jika harus kehilangan orang yang sangat dicintai. Mesya tidak berharap jika dia harus mengulangi rasa sakit kehilangan itu dengan Adre. Tidak, Mesya tidak akan sanggup jika harus kehilangan Adrel. “Aku sudah maafin Mbak Dira. Sudah, nggak perlu ingat semua itu, aku Cuma mau Mbak Dira belajar dari kesalahan. Kita nggak akan hidup sendirian selamanya, Mbak. Kita butuh orang lain. Kita butuh saudara dan juga keluarga. Jadi, jangan melakukan kesalahan yang sama lagi” Mesya tersenyum ketika melihat Dira menganggukkan kepalanya. Tidak masalah, semua orang belajar dari kesalahan. Mungkin memang membutuhkan waktu yang sangat lama. Yang penting, Dira mengerti dan akhirnya mulai belajar dari kesalahannya di masa lalu. Mesya tidak akan membiarkan masalah mereka bergulir selamanya, jika memang sudah selesai, ya sudah.. Mesya akan berusaha untuk bersikap baik-baik saja meskipun hatinya tidak akan pernah bisa lupa. Begitulah manusia, kadang sering melupakan kebaikan tapi selalu mengingat kesalahan di masa lalu. Sebenarnya, mengingat orang yang pernah melukai hati kita juga bukan hal yang salah. Sebagai manusia, kita harus belajar dari hal yang terjadi. Saat orang menyakiti kita, minimal kita harus belajar agar kita tidak lagi disakiti dengan cara yang sama. Begitulah adanya, kita harus berubah dari hari ke hari. setelah sekali dilukai, mana mungkin kita kembali dilukai dengan cara yang sama? “Iya, Sya..” Mesya kembali tersenyum. Dengan kata maaf, luka memang tidak langsung sembuh. Tapi setidaknya, pengakuan salah dari orang lain membuat kita merasa jika semuanya harus segera diselesaikan. Dira sudah meminta maaf dan Mesya juga sudah memaafkan. “Jadi gimana? Mbak Dira setuju kalau kita berkunjung ke desa?” Tanya Adrel. Pria itu yang tampaknya sangat semangat untuk berkunjung ke desa. Perjalanan yang jauh hingga membutuhkan waktu berjam-jam, tapi setelah hampir sampai, mereka akan disambut dengan banyaknya jajaran gunung dan pemandangan indah yang memanjakan mata. Adrel selalu berdecak kagum, mengagumi ciptaan Tuhan yang tampak sangat indah. Adrel senang jika Mesya mengajaknya pulang ke desa saat mereka masih awal-awal menikah. Dulu, dalam satu bulan Mesya bisa pulang sebanyak dua kali. Terlampau sering padahal perjalanan yang mereka tempuh sangat jauh. Tapi sebagai suami, Adrel tidak pernah mengeluh. Pria itu tampak senang ketika melewati semua pemandangan indah yang akan menyejukkan mata. Sering kali Meya bertanya-tanya, bagaimana caranya Adrel bisa pulang satu minggu sekali saat dulu mereka masih baru lamaran? Apa pria itu tidak kelelahan harus menyetir mobil selama berjam-jam tanpa ada teman untuk berbicara. Tampaknya itu memang perjuangan Adrel untuk mendapatkan Mesya. Tapi Adrel bukan tipe pria yang hanya berjuang di awal saja, pria itu tetap berusaha untuk membuat Mesya senang sekalipun mereka bukan lagi sepasang kekasih yang saling mengejar satu sama lain. Setelah mendapatkan Mesya, Adrel malah semakin memperlakukan Mesya dengan sangat baik. “Nggak masalah. Aku juga rindu ingin pulang. Sudah tiga tahun aku nggak pulang ke desa” Kata Dira sambil tersenyum. Tampaknya wanita itu berbicara dengan sangat baik hari ini. Dira tidak bertingkah aneh seperti kemarin malam atau tadi pagi. Mesya bersyukur kalau memang Dira tidak bertingkah aneh. Setidaknya Mesya tidak perlu merasa khawatir karena jujur saja, melihat orang yang dekat dengna kita bertingkah seperti orang asing, itu semua sedikit membuat Mesya merasa takut. “Mbak Dira siap dengan konsekuensinya? Mereka pasti juga akan menanyakan tentang Mas Damar” Kata Mesya dengan suara lirih. Untuk sejenak Mesya melihat jika cahaya mata kakaknya berubah jadi redup. Dira seperti kembali terkurung dalam luka yang membuat hatinya terikat. Mesya tidak mungkin tidak menyayangi mengenai hal ini karena jujur saja, keluarga mereka yang ada di desa akan banyak yang menanyakan tentang Damar. Lagi pula, siapa yang tidak mengingat Damar? Pemuda itu pernah tertangkap basah mencuri ayam Bude Karti padahal dia sudah menikah dengan Dira. Mesya masih mengiat jelas semua itu. pagi-pagi seluruh kampung heboh dengan berita itu. Bude Karti memang tidak bersikap buruk dengan memperpanjang masalah, itu semua karena dibanding dengan Dira dan Damar, Bude Karti lebih menghormati ibu dan bapak sebagai saudaranya. Saat itu, nama orang tua Mesya benar-benar tercoret. “Mau bagaimana lagi? cuma di sana aku bisa menyelesaikan masalahku, Sya” Mesya mengernyitkan dahinya ketika mendengar jawab Dira. Apa yang dikatakan oleh Dira? Masalah yang mana yang dimaksud oleh kakaknya? Ketika akan bertanya lebih lanjut, Dira tiba-tiba bangkit berdiri. Wanita itu menatap Mesya sejenak sebelum berpamitan untuk ke kamar karena merasa lelah. Astaga, padahal seharian ini Dira hanya tidur di dalam kamarnya, bagaimana mungkin wanita itu merasa lelah? Tapi Mesya tentu saja tidak melarang Dira. Wanita itu hanya tersenyum dan menjawab Dira dengan persetujuan. “Aku harap Mbak Dira nggak terbeban dengan rencana kamu ini” Kata Mesya ketika melihat jika Dira sudah tidak terlihat lagi. sepertinya wanita itu benar-benar masuk ke dalam kamarnya untuk tidur. Tangan Adrel yang sedang terulur untuk mengambil biskuit terhenti, untuk sejenak Adrel menatap Mesya sebelum kembali mengulurkan tangannya. Makanan dan minuman apapun yang disajikan oleh Mesya, Adrel akan sangat menyukai itu. Sejak dulu, sejak bertahun-tahun sebelum Adrel berani secara terang-terangan mendekati Mesya, Adrel memang sudah tertarik dengan wanita itu. Mesya adalah gadis yang sering lewat depan rumah Adrel untuk menemani ibunya pergi ke pasar. Dulu, yang bisa Adrel lakukan sebagai bentuk kekaguman dari wanita itu adalah selalu diam-diam tersenyum ketika melihat Mesya sedang lewat depan rumahnya. Lalu, semuanya semakin berlanjut. Adrel jadi sering menunggu di depan rumah Mesya untuk melihat gadis itu keluar rumah saat menyapu halaman. Adrel juga jadi semakin sering ikut nongkrong di warung bersama dengan Damar dan teman-teman yang lain agar memiliki kesempatan untuk mengantar Dira pulang ketika Damar menolak wanita itu. Saat mengantar Dira, jika Adrel beruntung dia akan bisa menikmati teh buatan Mesya. Tidak disangka, semua perjuangannya terasa tidak sia-sia. Sekarang, tanpa harus berusaha seperti dulu, Adrel bisa mendapatkan teh manis buatan Mesya dengan sangat mudah. Lengkap dengan wanita itu yang selalu duduk di dekatnya. Rasanya, jika sudah seperti ini Adrel akan sangat menyesal karena pernah membuat wanita itu terluka ketika mereka sedang bertengkar. Seperti yang Adrel lakukan tadi. Beberapa kalimat yang tadi Adrel katakan mungkin bukan kalimat yang tepat untuk didengarkan oleh Mesya. Adrel jadi merasa sangat bersalah. “Enggak, Sya. Ini masih untung, ada kamu yang temenin dia ke sana. Bagaimana kalau dia sendirian? Mungkin dia akan berpikir kalau lebih baik dia nggak akan pulang ke desa sampai kapanpun. Langkah ini sudah yang paling bener, kita juga bisa bisa buat Dira ketemu lagi sama orang tua kandungnya..” Mesya menghela napas. Benar apa yang dikatakan oleh Adrel. Ah, sayang sekali, padahal Mesya sudah berencana untuk membawa Dira ke prikiater atau psikolog. Tapi itu sama sekali tidak masalah, mereka bisa pergi ke psikiater setelah pulang dari desa. Lagi pula, di saat seperti ini, biasanya Adrel sangat sibuk dengan pekerjaannya. Pria itu mau mengambil cuti selama satu minggu untuk pulang dan mengunjungi makan neneknya yang berulang tahun. Sebagai seorang wanita, Mesya selalu merasa jika Adrel adalah pria yang sangat romantis. Tidak seperti kebanyakan pria yang sering melupakan tanggal istimewa, Adrel selalu mengiat bahkan sering kali menyiapkan beberapa kejutan istimewa untuk merayakan saat istimewa. Mesya memang sangat beruntung memiliki suami seperti Adrel. Dia pria yang selalu belajar untuk menjadi sempurna. Mesya merasa jika pilihannya untuk menghabiskan sisa hidupnya bersama dengan Adrel adalal pilihan yang tepat. Semakin bertambahnya usia, Adrel semakin menjadi lebih baik. Tidak hanya itu, pria itu juga membawa Mesya untuk menjadi lebih baik. Mereka saling menyempurnakan satu sama lain. “Dulu Mbak Dira nggak terlalu suka ketemu sama keluarga kandungnya..” Mesya berbicara dengan suara lirih. Teringat dengan jelas hari-hari dimana Mesya yang harus menyambut kedatangan orang tua Dira yang tampak sangat bahagia karena bisa bertemu dengan putri mereka. Sayang sekali, mereka malah hanya bertemu dengan Mesya. Dira biasanya mengunci diri di kamar. Saat kecil, bapak masih bisa memaksa Dira yang tidak mau keluar dari kamar, tapi ketika beranjak dewasa, Dira semakin tidak terkendali. Wanita itu bisa menyelinap keluar rumah agar tidak perlu bertemu dengan orang tua kandungnya. Entahlah, Dira memang tidak pernah menikmati momen yang seharusnya dia bagi dengan orang tua kandungnya. Dulu juga bapak sering marah-marah karena kelakukan Dira yang seperti itu. Kakaknya yang keras kepala tidak pernah bisa diatur dengan mudah. Mesya sudah sangat sering melihat Bapak hanya bisa menghela napas lalu meninggalkan Dira yang sulit diatur. Sejak saat itu, Mesya selalu berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak berlaku seperti Dira. Apapun yang dikatakan orang tuanya, selagi itu baik, Mesya akan selalu berusaha melakukan. Mesya selalu mencoba melakukan apapun yang dia bisa agar setidaknya, setelah Dira membuat mereka kesal, Mesya bisa sedikit mencairkan suasana. Padahal sering kali juga Mesya menegur Dira agar tidak bertindak semena-mena, tapi bukannya mengerti, Dira malah marah dan membuat Mesya juga terpancing emosi. Ketika Dira sudah mulai dewasa, Mesya masih seorang remaja yang sangat mudah terpancing emosi. “Dulu mungkin memang begitu, tapi sekarang Mbak Dira jelas sudah berubah, Sya” Mesya mengangguk, berusaha untuk percaya dengan kalimat yang dikatakan oleh Adrel. Sejujurnya sejak dulu juga Mesya ingin agar Dira bisa bersikap baik pada keluarga kandungnya. Mereka semua keluarga, sekalipun tidak terikat dengan hubungan darah, ibu selalu meminta agar Mesya bersikap hormat pada orangtua Dira. Kata ibu, Dira adalah anak mereka yang dirawat oleh keluarganya, jadi.. sebagai gantinya Mesya harus bersikap sangat baik. Sekalipun dulu Mesya sering menyangkal kalimat ibunya dengan berkata bahkan Dira yang adalah anak kandung saja tidak mau menghormati mereka, tapi Mesya yang bukan siapa-siapa, dia malah disuruh bersikap hormat. Saat itu ibu hanya tersenyum sambil mengusap rambut Mesya dengan lembut. Kata ibu, siapapun itu, Mesya harus selalu menghormati orang yang lebih tua. Bersikap sopan harus selalu dilakukan pada siapapun, tidak peduli jika mereka bukan saudara atau keluarga. Mesya sangat bangga memiliki orang tua seperti Ibu dan Bapak. Mereka mengajari Mesya banyak pelajaran berharga yang tidak bisa Mesya lupakan sampai saat ini. Mesya sangat beruntung karena memiliki mereka sebagai orang tua. Di luar sana, banyak anak yang tidak beruntung karena memiliki orang tua yang tidak bertanggung jawab. Kadang, ada orang tua yang tidak tahu cara mendidik anak dengan baik sehingga mereka mengajarkan hal yang salah. Jika sudah salah didikan, bagaimana mungkin anak akan hidup menjadi orang yang baik? Keluarga adalah pembelajaran pertama untuk anak-anak. Jika dasarnya saja sudah salah, bagaimana mungkin anak itu diharapkan menjadi orang yang benar di masa depan? Mesya belajar banyak hal dari orang tuanya. Mesya juga sudah menyiapkan banyak bekal untuk kehidupannya di masa depan. Mesya belajar bagaimana cara untuk mendidik anak dengan baik. Karena kelak, ketika Tuhan akhirnya memberikan Mesya dan Adrel seorang anak, saat itu Mesya tidak mau salah langkah. Anaknya harus menjadi anak yang baik dan jujur. Satu-satunya cara untuk menjadikan anaknya seperti itu adalah dengan mendidik mereka dengan didikan yang benar. Membahagiakan dan memberi bekal yang baik untuk anak tidak melulu harus memberikan segala hal yang anak inginkan. Ada beberapa hal yang memang harus dibatasi jika anak belum cukup mengerti. Kadang, sebagai seorang anak, Mesya menyadari jika dulu dia juga sering meminta hal yang akan membahayakan dirinya. Mesya ingat jika dulu dia pernah menangis karena Bapak melarangnya bermain menggunakan piau dapur saat dia berusia 5 tahun. Saat itu Mesya jelas menangis sambil terus berkata jika Bapak jahat karena tidak mau menuruti apa yang Mesya mau. Saat sudah dewasa Mesya baru sadar jika keinginannya hari itu bisa saja membuat di terluka. Bapak tidak mau Mesya terluka, oleh sebab itu dia rela dikatai jahat oleh anaknya sendiri. Dari pada melihat jari anaknya terluka, Bapak rela melihat Mesya menangis selama beberapa saat. Mesya juga mau mendidik anaknya dengan cara seperti itu. Hanya saja, sekarang Mesya masih perlu berdoa lebih lagi agar Tuhan bisa segera melihat keseriusannya. “Ya, aku harap juga begitu. Dulu aku sering nggak tega kalau lihat raut sedih orang tuanya. Mbak Dira sering malas ketemu sama orang tuanya..” Mesya merasakan jika sekarang Adrel sedang memeluk pinggangnya. Membuat Mesya jadi semakin mendekat ke arah suaminya. “Pasti. Mbak Dira pasti juga berubah, Sya. Semua orang berubah, kita hanya perlu memastikan kalau Mbak Dira berubah ke arah yang lebih baik. Jangan berprasangka buruk terus, nanti bisa kejadian..” Adrel memang benar. Mesya tidak seharusnya berpikiran terlalu buruk mengenai kakaknya. Dira sudah semakin dewasa. Sekalipun beberapa kali ini Mesya sering melihat Dira seperti orang lain yang tidak dia kenali, Mesya masih berharap jika wanita itu akan segera berubah ke arah yang lebih baik. Tadi pagi Dira bersikap tidak sopan pada ibu mertua Mesya, sekarang Mesya harap Dira tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Mesya tidak mau kakaknya terus melakukan hal yang tidak baik. Usianya semakin bertambah, dia juga harus semakin bertambah baik. Sebagai seorang saudara, tidak ada salahnya jika mereka terus saling mengingatkan agar semakin bertumbuh dengan baik. “Enggak, aku cuma khawatir saja” Sebagai manusia, kita sangat sering menjadikan masa lalu sebagai tolak ukur untuk kehidupan di masa depan. Padahal tidak, itu sama sekali tidak benar. Masa lalu adalah pembelajaran yang luar bisa. Jika dulu buruk, belum tentu di masa depan kita akan tetap buruk, tapi juga belum tentu akan baik. Lalu, jika di masa lalu baik, belum tentu selamanya akan baik. Yang menjadi patokan untuk kehidupan kita ide masa depan adalah kita sendiri. Bagaimana cara kita menyikapi satu demi satu masalah lalu belajar dari masalah itu. “Iya, aku tahu. Sudah, jangan khawatir. Semuanya akan baik-baik saja, Sya. Aku janji sama kamu” Mesya tersenyum. Janji yang diberikan oleh Adrel bukan janji biasa. Adrel tidak pernah mengingkari janjinya. Sepanjang mengenal Adrel, pria itu selalu saja mengatakan janji yang sudah pasti bisa dia tepati. Jadi, kalau Adrel saja sudah berjanji jika semuanya akan baik-baik saja, kenapa Mesya terus membuang waktu dengan merasa khawatir dengan apa yang akan terjadi? Tidak, bersama dengan Adrel, semuanya akan tetap baik-baik saja. Sekalipun akan tetap datang satu atau dua masalah, selama Mesya tidak melepaskan tangan Adrel, semuanya akan tetap baik-baik saja. Mesya tahu semua itu dengan pasti.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN