Bab 24

2727 Kata
Mesya tersenyum ketika melihat bude Karti yang lagi-lagi sedang berdiri dan menyambut kedatangan Mesya. Mobil yang dikendarai oleh Adrel baru saja berhenti di pekarangan luas rumah orang tua Mesya. Tidak ada yang berubah dari rumah ini selain beberapa catnya mulai mengelupas karena dimakan usia. Mesya sudah ada di rumah ini, mungkin tidak ada salahnya untuk memperbaiki rumah orang tuanya agar terlihat jauh lebih baik lagi. sekalipun orang tuanya sudah meninggal, tidak ada salahnya jika Mesya memperbaiki rumah ini. Mesya menolehkan kepalanya ke arah belakang, melihat kakaknya yang selalu saja diam selama perjalanan pulang ke desa. Beberapa kali, baik Mesya ataupun Adrel memang berusaha membuat wanita itu berbicara dengan cara bertanya mengenai beberapa hal. Tapi Dira hanya menjawab sekenanya, setelah itu wanita itu kembali diam. Hampir separuh perjalanan juga dihabiskan Dira untuk tertidur. Padahal, di jok depan Adrel dan Mesya terus bernyanyi dengan suara yang lumayan kencang. Wanita itu tampak asyik dengan dunianya sendiri. “Mbak, kita sudah sampai. Kita turun sama-sama, ya?” Mesya berujar pelan. Dia sangat tahu apa yang sekarang ada di pikiran Dira. Untunglah kemarin malam Mesya sudah sempat menelepon bude Karti. Mesya sempat menceritakan sedikit mengenai keadaan Dira dan saat mereka nanti sampai di desa, Mesya melarang aga orang yang bertanya mengenai keadaan pernikahan Dira jika wanita itu tidak mengatakannya sendiri. Awalnya bude Karti sangat terkejut ketika Mesya menceritakan mengenai Dira, tapi beberapa saat kemudian, sama seperti yang dikatakan oleh Adrel, bude Karti tampak sangat mengerti dan menyadari apa yang terjadi. Katanya, sama seperti mereka menyayangi Mesya, keluarga besar juga sangat menyayangi Dira. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan karena sama seperti mereka menyambut Mesya, mereka juga akan menyambut Dira. Memang benar kenyataannya seperti itu, sekarang saja Mesya bisa melihat jika semua keluarga berkumpul di depan rumah dan menyambut kedatangan mereka sama seperti mereka menyambut kedatangan Mesya satu tahun lalu. “Iya..” Dira menjawab sambil tersenyum. Bersama dengan Dira yang membuka pintu mobil, Mesya juga melakukan hal yang sama. Menuruni mobilnya untuk segera bertemu dengan keluarganya yang lain. Orang pertama yang langsung memeluk Mesya adalah bude Karti, sama seperti sebelumnya, wanita itu kembali menangis. Punggungnya bergetar karena kembali merasa emosional setiap kali bertemu dengan Mesya. Mesya juga demikian, wanita itu tentu tidak akan bisa menahan tangisannya ketika bertemu wanita yang kasih sayangnya sudah seperti ibunya sendiri. “Bude kangen banget sama kamu. Kenapa lama nggak pulang lagi?” Mesya tidak sanggup menjawab. Satu-satunya hal yang bisa Mesya lakukan adalah terus mengusap punggung budenya, dia juga menangis. Ada banyak hal yang kembali teringat ketika Mesya memeluk wanita ini. Mesya merindukan ibunya. Sungguh, sudah tiga tahun Mesya hidup tanpa pelukan ibunya. Bagaimana cara Mesya melewati ini semua? Segala hal yang ada di dunia ini tidak lagi sama jika tanpa ibunya, tapi dengan Adrel, Mesya bisa melewati semuanya. Jujur saja, jika sudah sampai di sini, Mesya akan merasa sangat senang. Dia senang karena akhirnya kembali bisa bertemu dengan saudaranya yang masih tinggal di desa. Dengan banyak bude dan juga buliknya. Mereka semua selalu ada di sini, selalu menyambut Mesya dengan sangat baik ketika Mesya pulang. Di sini.. di sinilah rumah Mesya yang sebenarnya.. “Ada Mbak Dira juga Bude..” Begitu Mesya melepaskan pelukan dari bude Karti, Mesya langsung menarik tangan kakaknya yang sedang berdiri kaku di belakangnya. Berbeda dengan Adrel yang langsung bersalaman dan berbincang dengan keluarga yang lain, Dira lebih memilih untuk diam di belakang tubuh Mesya. Mesya tersenyum maklum, saat pertama pulang ke rumah ini, Mesya juga merasa jika dirinya linglung. Ada sesuatu yang terus membuat Mesya ingin kembali ke masa lalu. Dulu, saat Mesya masih kecil, ada banyak sekali kesalahan yang dia buat. Mesya ingin kembali ke masa itu. Dia ingin memutar waktu ke setiap kesalahan yang dia buat dan memperbaiki itu semua. Kebanyakan, salah yang Mesya buat adalah kepada orang tuanya. Jika sudah seperti ini, yang bisa Mesya lakukan adalah menyesal karena dulu dia tidak bisa menyenangkan orang tuanya setiap waktu. “Dira..” Sama seperti memeluk Mesya, bude Karti juga merentangkan tangannya, membawa Dira ke dalam pelukannya. Lalu, sekali lagi wanita itu menangis. Ya, sebenarnya ini sama seperti sambutan saat Mesya datang tahun lalu. Mereka akan menangis di depan pintu dan berpelukan dalam waktu yang lama. Baiklah, tapi yang sekarang jelas terasa lebih menyenangkan karena bukan hanya Mesya, Dira juga pulang ke rumah ini. Mesya menghela napas, di tempat ini Mesya selalu merasakan hangatnya kasih sayang orang tua. Waktu terasa begitu cepat berlalu karena orang tuanya selalu membuat Mesya merasa bahagia. Sekarang semuanya sudah berubah. Tidak ada lagi bapak dan ibu. Mereka sudah berada di alam yang jauh di atas sana. Entahlah, yang pasti.. Mesya rindu mereka. *** Mesya melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar yang dulu dia tinggali. Di kamar ini dulu Mesya sering menempelkan hasilnya menggambar selama seharian. Mesya memang sangat menyukai seni lukis. Mungkin itu juga yang membuat Mesya sampai sekarang suka mendekorasi ruangan rumahnya dengan cat yang dia sukai. Sejak kecil, selain pergi ke sekolah dan membantu ibu membersihkan rumah, hal yang paling sering Mesya lakukan adalah menggambar dan melukis. Dua kegiatan sepele yang sangat disukai oleh Mesya. Dulu Mesya bisa menghabiskan waktu selama berjam-jam untuk bisa menghasilkan satu gambar menakjubkan yang akan dengan bangga dia tunjukkan pada bapak saat pria itu pulang dari sawah. Ketika bapak melihat hasil gambarnya, pria itu akan tersenyum lalu mengatakan jika Mesya adalah pelukis yang handal. Suatu saat, kalau sudah besar Mesya pasti akan menjadi seorang pelukis. Sampai sekarang Mesya masih mengingat perkataan bapaknya. Sayangnya, Mesya tidak bisa menjadi seperti yang diinginkan oleh bapak. Sekarang, kamar milik Meysa jauh lebih bersih. Dulu dindingnya dipenuhi dengan kertas gambarnya yang ditempel hingga memenuhi satu bagian dinding. Saat itu Mesya mungkin masih SMP. Semenjak duduk di bangku SMA, Mesya semakin jarang melukis. Dari pada melukis, Mesya lebih suka pergi ke rumah bude karti untuk melihat wanita itu membuat pesanan kue. Dulu, selain sebagai petani, Bude Karti adalah seorang pembuat kue yang terkenal di desa ini. setiap kali ada acara hajatan, mereka pasti akan memesan kue dari bude Karti. Sejak saat itu, dibanding menggambar Mesya lebih suka melihat bude membuat kue. Karena sering melihat bude Karti, lama-kelamaan Mesya jadi tertarik untuk ikut mencoba. Sampai sekarang, Mesya juga masih sering membuat kue basah karena suaminya memang suka makan kue. Jika sedang bekerja, kadang Adrel suka sambil makan kue. Dari pada membeli kue di luar yang kadang ada kandungan pengawet buatan, Mesya lebih memilih untuk membuat sendiri. Lagi pula, untuk apa juga membeli di luar jika Mesya saja bisa membuatnya? Mesya kembali melangkahkan kakinya untuk menelusuri ruangan yang dulu menjadi tempat yang paling dia suka. Dulu, saat sedang menangis, Mesya suka mengunci diri di kamar. Atau juga saat dia bertengkar dengan Dira. Begitulah, persaudaraan mereka selalu diwarnai oleh pertengkaran. Tidak ada hari yang bisa membuat merek damai sepenuhnya. Mereka selalu bertengkar hingga pernah Mesya pergi dari rumah dan memilih untuk tidur di rumah bude Karti karena dia merasa sangat marah pada Dira. Saat itu orang tuanya sudah kebingungan mencari Mesya keliling kampung. Padahal Mesya sedang bersembunyi di kolong tempat tidur anaknya bude Karti. Ya ampun, tidak terasa jika semuanya berjalan dengan sangat cepat. Dira tumbuh dewasa, begitu juga dengan Mesya. Beberapa tahun kemudian Dira menikah dan meninggalkan rumah untuk beberapa saat karena dia mengikuti suaminya. Beberapa tahun kemudian Mesya yang ganti menikah dan ikut Adrel untuk tinggal di luar kota. Saat itu Dira sudah kembali ke rumah dengan suaminya karena ternyata selama ini mereka hidup susah karena Damar tidak memiliki pekerjaan. Saat tahu jika Dira hanya merepotkan bapak dan ibu setelah wanita itu menikah, Mesya sebenarnya sudah sangat ingin menegurnya. Tapi ibu melarang Mesya, katanya, selamanya pintu rumah orang tua akan selalu terbuka untuk anaknya. Sekalipun dia sudah menikah, kapanpun dia mau, dia bisa pulang dan kembali bersama dengan orang tuanya. Mesya saat itu tidak tahu kenapa ibunya berpikir seperti itu. Tapi, saat Mesya mulai belajar dewasa, dia mulai tahu kalau memang seperti itulah pemikiran orang tua. Mau seperti apapun keadaan seorang anak, orang tua akan tetap memeluk ketika mereka kembali pulang. Mesya belajar banyak hal dari ketulusan hati orang tuanya. “Ini semua tas yang kamu bawa?” Tanya Adrel ketika pria itu masuk ke dalam kamar bersama dengan seorang keponakan Mesya yang bernama Ando. Anak itu mungkin sekarang sudah berusia 18 atau 19 tahun. Mesya melihat jika dua pria itu tampak kesulitan membawa tas Mesya yang jumlahnya ada 4 buah. Mesya tersenyum melihat Adrel yang tampak takjub dengan barang bawaan Mesya. “Yang ini oleh-oleh buat keluarga. Nanti sore aku mau bagiin sama Bude Karti” Kata Mesya. “Oh, ya sudah taruh sini saja kalau begitu, Ndo” Adrel memang tampak sangat akrab dengan semua keluarga Mesya. Pria itu sudah sejak lama mengenal keluarga Mesya. Dulunya juga Adrel juga sudah lama tinggal di desa sehingga pria itu mengenal banyak orang di tempat ini. “Taruh sini?” Tanya Ando sambil meletakkan sebuah tas besar di depan lemari Mesya yang tampaknya sudah semakin tua karena dimakan usia. Untungnya itu adalah lemari dari kayu jati. Jadi, tidak akan ada rayap yang merusak lapisan kayunya. Inilah yang Mesya sukai dari rumahnya. Semua perabotan di rumah ini terbuat dari kayu jati yang kokoh sehingga sekalipun lama tidak ditinggali, semua perabotannya masih tetap aman. “Iya, terus kamu ambil itu satu hadiah buat kamu. Khusus kamu, boleh pilih sendiri” Kata Mesya sambil tersenyum menatap keponakannya yang langsung memekik girang sambil cepat-cepat membuka tas besar yang isinya adalah puluhan baju yang dibeli oleh Mesya. Kemarin, karena tidak memiliki banyak waktu, yang bisa Adrel dan Mesya lakukan saat sampai di toko baju adalah mengambil apapun yang menurut mata mereka bagus. Ada banyak saudara yang ada di sini sehingga Adrel dan Mesya harus membawa banyak sekali oleh-oleh. “Aku boleh ambil yang ini?” Ando kembali bertanya ketika anak itu menemukan sebuha kemeja hitam dengan corak kotak-korak putih. Terlihat sangat keren jika digunakan oleh seorang remaja seperti Ando. Mesya segera menganggukkan kepalanya. Setelah itu Ando mengucapkan terima kasih sambil mencium tangan Mesya dan Adrel. Beberapa saat kemudian anak laki-laki itu berjalan keluar dari kamar Mesya lalu menutup pintunya. Membiarkan Mesya dan Adrel istirahat di dalam kamar. “Aku seneng kembali pulang..” Kata Mesya sambil ikut duduk dengan Adrel di atas ranjang. Mesya menolehkan kepalanya, menatap Adrel yang sedang melayangkan tatapannya ke arah sebuah foto yang menampilkan figur Mesya di masa kecil. Tampak sangat lucu dengan setelan berwarna merah muda dan rambutnya yang diikat dua. Saat itu Bapak sedang mengajak Mesya dan Dira untuk berfoto di studio foto. Saat itu mereka belum memiliki kamera ataupun ponsel canggih seperti saat ini. Kalau sekarang, semua orang bisa dengan mudah mengabadikan setiap momen berharga menggunakan ponsel canggih yang siap memotret ataupun mengambil video. Ya, kemajuan teknologi berjalan dengan sangat cepat. “Kamu emang sudah cantik dari dulu, ya Sya..” Adrel berdiri untuk mengambil satu bingkai foto itu. Sejujurnya dulu Mesya sangat tidak menyukai foto itu. dia terlihat sangat jelek dengan pose yang sedikit menggelikan. Berbeda dengan Dira yang sudah besar, wanita itu sanggat pandai mengatur pose sehingga bisa terlihat sangat cantik dan menggemaskan di depan kamera. Satu hal yang paling jelas dari foto itu, ya.. gigi Mesya yang ompong. Entah bagaimana, dua hari sebelum pengambilan foto itu, Mesya jatuh dari sepeda saat dia masih belajar menggunakan sepeda roda tiga. Seingat Mesya saat itu dia berusaha mengejar Dira yang sudah bisa menggunakan sepeda besar. Sayang sekali, roda kecil yang ada di kedua sisi sepeda Mesya terkena batu besar sehingga Mesya tidak bisa menjaga keseimbangan. Sepedanya jatuh dan tentu saja Mesya juga terjatuh. Sejak saat itu Mesya sangat benci naik sepeda. Kalau bisa, Mesya akan selalu jalan kaki dibanding harus naik sepeda. Seperti ada trauma tersendiri yang selalu membuat Mesya ketakutan. “Gigi kamu lucu banget, deh..” Adrel menatap Mesya lalu mencubit kedua pipinya. Mesya memberontak karena merasa kesakitan. Suaminya memang sangat jahil! “Alah, nggak usah sok lihat fotoku kalau mau ngejek kaya begitu!” Mesya menjauhkan dirinya dari Adrel. Segera menatap sengit ke arah Adrel yang sepertinya masih inggin menggodanya dengan foto masa kecil Mesya. Padahal Mesya sangat tidak menyukai foto itu, tapi dulu ibu membelikan figura agar foto itu bisa diletakkan di atas meja yang ada di kamarnya. Huh, sungguh itu adalah foto paling memalukan yang pernah Mesya miliki. Tapi, karena ibu memaksa agar fotonya bisa diletakkan di atas meja, akhirnya Mesya diam saja. Entahlah, foto itu diambil 20 tahun yang lalu. Tapi Mesya masih bisa mengingat momen bahagia itu sampai sekarang. Mesya masih ingat bagaimana senangnya bapak karena bisa mengajak Dira dan Mesya mengambil gambar. Saat itu, hanya orang tertentu yang bisa membayar untuk selembar foto seperti ini. Dira dan Mesya adalah salah satu anak yang beruntung karena memiliki orang tua yang berada. “Enggak, Sya.. ini emang cantik banget. Kayaknya aku terlambat dateng ke desa. Harusnya aku tinggal di sini dari aku kecil biar bisa selalu lihat malaikat cantik kaya kamu” Mesya memutar bola matanya. Tampak pura-pura muak dengan apa yang dikatakan oleh Adrel. Padahal, di dalam hatinya sekarang ada banyak bunga yang sedang bermekaran. Mesya selalu saja merasa senang ketika mendengar gombalan seorang pria yang sekarang sudah menjadi suaminya. Adrel tidak pernah berubah, padahal mereka sudah menikah, tapi pria itu tidak pernah berhenti bersikap manis dengan mengatakan beragam gombalan dan juga rayuan seperti seorang kekasih yang sedang dimabuk cinta. Banyak orang yang mengatakan jika setelah menjadi suami, pria tidak akan lagi memberikan gombalan atau kata-kata manis. Kata seperti itu hanya akan diucapkan seorang pacar yang sedang berusaha memperjuangkan hubungan ke jenjang yang lebih serius. Tapi, Adrel jelas berbeda. Pria itu selalu memperlakukan Mesya seperti kekasih barunya. Mengatakan berbagai kalimat manis lengkap dengan perbuatannya yang selalu membuat Mesya tersenyum. Pria itu jauh lebih manis dibanding ketika mereka dulu berpacaran. Ah, andai saja Mesya ingat masa mereka pacaran sebelum mereka lamaran. Sayangnya sampai saat ini, seperti orang yang hilang ingatan, Mesya tidak bisa mengingat apapun. Hanya kejadian ketika Mesya lamaran, hanya itu yang Mesya ingat. Mesya mengingat jika saat itu dirinya kebingungan karena tiba-tiba dihadapkan dengan dua keluarga besar yang berkumpul untuk acara lamaran. Mesya tidak ingat jika dia pernah berpacaran dengan Adrel dan sekarang akan melanjurkan hubungan ke jenjang yang lebih serius. Saat itu Mesya merasa benar-benar kebingungan. Tapi, meski merasa bingung, Mesya tetap saja mengikuti acara dari awal sampai akhir tanpa membuat satupun kekacauan. Mesya masih memikirkan nama baik kedua pihak keluarga jika sampai Mesya membuat ulah dengan mengatakan jika dia tidak tahu apapun mengenai perceraian. Hari itu Mesya merasa kebingungan setengah mati. Tapi, seiring berjalannya waktu, Adrel seperti selalu berusaha untuk meyakinkan Mesya. Pria itu melakukan banyak hal yang membuat hati Mesya tersentuh. Pada akhirnya, mereka mulai menikmati kehadiran satu sama lain. Mesya mulai sadar kalau hatinya telah ditaklukkan oleh seorang pemuda tampan yang sudah lama melamarnya. Mesya merasa sangat beruntung saat ini. Andai saja hari itu Mesya membatalkan lamaran mereka karena merasa kebingungan dengan apa yang terjadi, sudah pasti saat ini Mesya merasa sangat menyesal. Hanya Adrel satu-satunya pria yang mencintanya sama seperti bapak mencintainya. Pria itu selalu memberi tanpa pernah menuntut untuk menerima. Pada dasarnya, memang begitulah konsep mencintai. Memberi tanpa pernah berhenti, jika dibalas maka itu adalah keberuntungan. Tapi, jika tidak.. kita juga harus tetap ikhlas. “Kalau kamu tinggal di sini sejak kamu kecil, kayaknya aku yang bakal pindah ke kota. Aku dulu ‘kan nggak suka sama kamu. Risih banget begitu..” Dengan gayanya yang sedikit dibuat sombong, Mesya menggerakkan tangannya untuk bermain dengan rambutnya. Gerakan khas seorang cewek centil. Adrel tertawa melihat tingkah istrinya. Tidak biasanya Mesya membalas Adrel dengan cara yang sama. Jika sudah seperti ini, dibanding tidur untuk istirahat, Adrel dan Mesya lebih memilih tertawa bersama sambil saling menggoda satu sama lain. Adrel baru saja akan kembali membalas Mesya ketika suara ketukan pintu terdengar. Sekalipun dengan mengernyitkan dahinya, Mesya akhirnya bangkit berdiri lalu melihat siapa yang mengetuk pintu kamar mereka. Melihat Dira yang sedang berdiri di depan pintu kamarnya, Mesya kembali merasa kebingungan. Dibanding dengan Mesya yang tadi sempat mengobrol dengan beberapa saudara sebelum dia akhirnya masuk ke dalam kamar untuk istirahat, Dira jelas lebih dulu masuk ke kamarnya dengan alasan wanita itu merasa sangat kelelahan. Tapi sekarang Dira sedang berdiri di depan pintu kamarnya. Ada apa? “Kenapa, Mbak?” Tanya Mesya sambil membuka pintu lebar-lebar. Adrel yang merasa penasaran jadi ikut berdiri lalu berjalan mendekati pintu. Berdiri di samping istrinya. “Itu.. Adrel.. dia dipanggil sama pakde Rana. Katanya mau ada yang dibicarain” Mesya semakin mengernyitkan dahinya. Pakde Rana? Kenapa suaminya Bude Karti memanggil Adrel? Pria itu yang tadi segera menyuruh Adrel dan Mesya untuk istirahat setelah menempuh perjalanan jauh. Lagi pula, kalau memang ingin memanggil Adrel, kenapa Pakde tidak langsung mengetuk pintu kamar Mesya saja? Kenapa malah mengganggu Dira yang sedang istirahat untuk meminta wanita itu memanggil Adrel? “Aku.. aku tadi lagi ke dapur buat ambil minum. Pakde minta ke aku untuk panggil Adrel” Mesya menganggukkan kepalanya setelah mengetahui alasan Dira. Baiklah, mungkin memang seperti itu. “Oh, iya.. aku ke sana dulu. Kamu istirahat aja, Sya” Adrel segera berjalan melewati Mesya lalu tersenyum sambil meminta agar Mesya kembali istirahat. Jujur saja Mesya memang sudah ingin tidur di kasur kapuknya yang empuk. Jadi, Mesya hanya menganggukkan kepalanya sejenak sebelum kembali menutup pintu kamarnya. Membiarkan Adrel menemui pakde Rana yang katanya sedang mencari pria itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN