Bagian 7

689 Kata
Pov Naya Tujuh tahun pernikahan kami aku belum mampu menjelaskan mengapa aku sampai saat ini mampu bertahan dan mencintai Mas Arya. Total kebersamaan kami hari ini sudah sembilan tahun, dua tahun merajut kasih sebagai sepasang kekasih, tujuh tahun setelahnya terikat dalam pernikahan. Ku pandang jam dinding yang masih saja berdetak meskipun sudah dua belas tahun menemani. Waktu menunjukkan pukul tiga sore, hari ini cukup melelahkan setelah acara arisan pertama dilakukan di rumah. Aku harus membersihkan rumah dan memastikan semuanya dalam keadaan rapi, sebelum Mas Arya tiba. Dia suamiku, sosok laki-laki yang selalu ku anggap sebagai kekasih. Di acara Arisan tadi, aku bertemu dengan teman baru, dia cantik dan terlihat sangat baik, namanya Ranisa. Hanya sayang dia tak jadi ikut dan terpaksa harus pulang sebelum acara di mulai, entah kenapa alasannya, aku seperti menemukan kepanikan di wajahnya. Beberapa hal sempat ku tanya pada Dea tentang teman lamanya itu, ternyata pandangan pertamaku benar adanya, dia perempuan yang baik. Bahkan Dea menggambarkan Ranisa bak ibu peri, aku rasa itu tidak berlebihan. Si sulung dan si bungsu sudah nampak rapi, mereka selalu begitu bila akan bertemu dengan ayahnya, mungkin karena mereka hanya bertemu dua Minggu sekali. Aku pun begitu, selepas selesai berbenah, aku berendam dengan lulur yang wanginya bak aromaterapi, rambut yang sudah harum dan lembut, kami semua siap menyambut sang kekasih. Sampai menjelang sore, mobilnya terdengar datang, kami menyambut, anak-anak memberi salam begitu pun aku. Ia berbalas senyum pada anak-anak, tapi tidak padaku. "Mas mau makan sekarang? Aku sudah masak makanan kesukaan kamu." "Nanti saja!" jawabnya dingin. Ku lihat ia bermain sebentar dengan anak-anak setelah itu masuk ke dalam kamar mandi. Segera aku bersiap menghidangkan berbagai macam makanan di meja makan untuk disantap makan malam. Selepas salat Maghrib semuanya berkumpul dan mulai menikmati makanan. "Masakan Bunda selalu enak," ucap si bungsu. Anak lelakiku ini memang sangat romantis dan rajin memuji ibunya. "Iya, enak banget," balas si Kaka. "Makasih sayang. Gimana kalau menurut Ayah?" Mas Arya hanya mengangguk tanpa sepatah kata pun. Bahkan sama sekali tak melihat ke arahku. Tanggapannya itu masih saja membuat badanku nyelekit, padahal ini sudah berlangsung lama. Menjelang malam, ia sempat menemani anak-anak mengerjakan PR, lalu setelahnya masuk ke dalam kamar. Dengan jantung berdebar, aku berganti pakaian dengan baju tidur minum, berharap Mas Arya akan senang melihatmu malam ini. Aku lihat dia menatapku sekilas, kemudian duduk di sofa persis di hadapan ranjang kami. Ia membuka ponselnya, terlihat jarinya bermain di atas sana, ia tersenyum dengan raut wajah mendamba. Tak tahu siapa seseorang di balik ponsel yang sudah membuatnya tersenyum itu, aku sering melihatnya begitu. Senyum yang tak pernah ia berikan padaku. Ia meletakkan ponselnya, lalu mendekat ke arahku. Jantung ini berdebar luar biasa, aku merasa seperti menjadi pengantin baru. "Kamu tak perlu berpakaian seperti ini, hasratku sebagai suami bahkan bisa muncul ketika melihatmu dari kejauhan, tapi maaf hasrat itu sudah lama hilang, Nay. Semua terserah padamu." Wajahnya datar. Aku hanya mematung, ini adalah penolakan kesekian kalinya. Aku seperti tertampar berkali-kali, jiwa ragaku remuk dengan sikapnya. Tanpa banyak berkata aku turun dari ranjang sambil menyeka air mata yang masih saja jatuh, ku ambil daster panjang dalam lemari dan lekas mengganti baju di kamar mandi. Mas, kemana tatapan penuh puja yang dulu selalu kamu berikan padaku? Saat ini ... aku hanya bisa larut dalam tangis diam-diam yang selalu ku sembunyikan darimu, agar kamu selalu merasa bila aku tetap bahagia sehingga kata "Ya sudah, terserah kamu maunya apa!" Tidak lagi ku dengar. Mas ... Masih ingatkah sembilan tahun yang lalu ketika motor bututmu menjemputku di rumah untuk nonton bioskop dan jalan pertama kalinya kita berdua. Di sana kamu mengungkapkan cinta dan memintaku untuk kita selalu berdampingan. Aku masih ingat betul, Mas. Setiap titik momen kebersamaan itu masih ku ingat. Andai waktu bisa ku putar kembali, aku ingin menghilangkan badai itu, menghapus catatan kelam, sehingga hari ini mungkin kamu akan tetap menjadi Mas Arya seperti yang aku kenal dulu. Kamu meringkuk dengan selimut, bahkan hancurnya perasaanku pun tak kamu tanyakan. Apa yang harus aku perbuat untuk mengembalikan kebahagiaan yang dulu. Beri tahu aku, Mas! Akan ku lakukan, akan ku perbaiki, walau tujuh samudera harus ku sebrangi. Kembali lah, Mas. Kembali pada cintamu padaku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN