8 ; Hidden

2169 Kata
“Yara, kamu sibuk hari ini?” Ayyara terdiam sejenak. Menetralkan detak jantungnya yang menggedor tanpa diminta. “Ehm nggak. Kenapa, Jun?” Iya, Arjun yang menghubunginya. Kejadian yang sangat langka. Bahkan Ayyara sempat dibuat bodoh sejenak saat ponselnya berbunyi dan menampilkan nama Arjun di sana. Apa lelaki itu baru saja bangun dari tidur siangnya? Atau semalam kepalanya sempat terbentur benda keras? Arjun tidak begini sebelumnya, tidak pernah. Ayyara yang selalu menghubungi lelaki itu terlebih dahulu. Ayyara yang mencarinya dan selalu Ayyara. “Kita ke VB hari ini. Kamu bisa, ‘kan?” Ayyara menutup mulutnya menahan pekikan heboh. Tersenyum begitu lebar. Arjun mengajaknya pergi … ke butik? “Ngapain? Bukannya kita baru aja pesan gaun pengantin kemarin?” Helaan napas lelah. Ayyara bisa memprediksikan lelaki itu sedang bersandar nyaman di punggung kursi. Melemaskan otot-ototnya yang digunakan untuk bekerja seharian ini. Dan di jam makan siang ini Arjun sengaja menghubunginya, membuatnya melambung terlalu jauh. Merasa benar-benar bahagia. “Ada undangan makan malam dari rekan bisnis.” “Dan kamu ngajak aku menghadiri undangan itu?” Ayyara tahu pertanyaannya terlampau percaya diri. Tapi Ayyara tidak bisa menahan rasa senangnya. Arjun menyempatkan menghubunginya di jam makan siang, mengajaknya ke butik yang tentu saja untuk membeli beberapa dress untuk digunakan ke acara makan malam dengan rekan bisnis lelaki itu. Sepertinya kesabaran Ayyara selama ini mulai membuahkan hasil. “Kamu pikir untuk apa aku menghubungi kamu kalau bukan untuk alasan mengajak kamu ke acara makan malam?” Ayyara semakin menggigit bibir bawahnya. Menahan senyuman sebisanya. Tidak mau bereaksi berlebihan. Takut Arjun akan merasa aneh dengannya. Walaupun memang Arjun sudah merasakannya. Ayyara memang perempuan aneh, ‘kan? “Iya, aku siap-siap dulu.” “Ehm, setengah jam lagi aku jemput.” “O-oh kamu yang akan ke sini? Bukan aku yang ke kantor?” Lagi-lagi lelaki itu menghela napas. “Biar aku yang jemput.” “Ehm, ya aku tunggu” Telepon dimatikan dari seberang sana. Ayyara langsung memekik heboh sembari berlarian mencari pakaian terbaiknya. Ini hari yang bersejarah. Ayyara akan mengingat hari ini sepanjang hidupnya. *** “Cup, cup anak Mama. Iya cantiknya.” Yena menyunggingkan senyuman tapi air matanya terus menetes deras. Memperhatikan sosok perempuan di depan sana. Sedang sibuk menimang bayinya dengan sayang. Sesekali mengusap kepalanya, menepuk-nepuk agar si bayi cepat tertidur. Senyuman yang kian melebar sembari terus mengajak bayinya berbicara. Walaupun siapa pun tahu, sampai kapan pun juga tidak akan direspon. Perempuan yang saat ini terlihat berantakan tapi tidak mengurangi kadar kecantikannya. Apalagi dengan bibir yang menyunggingkan senyuman. Yena masih bisa melihat beberapa bekas sayatan di pergelangan tangan itu, yang saat ini sudah dilapisi plester warna-warni. “Sabria selalu meminta warna plester yang beragam, bayinya menyukai itu,” jelas dokter. Yena mengangguk paham. Menyeka air matanya yang terus menetes deras. “Perkembangannya cukup baik. Sabria tidak lagi melukai dirinya sendiri. Tapi untuk saat ini saya sarankan jangan dekati dia dulu.” “Apa Kak Sabria makan dengan teratur, Dok?” Dokter lelaki itu tersenyum ramah sembari mengangguk. “Beberapa hari ini pola makannya baik. Perawat berhasil membujuk dengan alasan bayinya.” “Terima kasih banyak.” Mengalihkan pandangannya pada si dokter yang sama-sama sedang menatap sosok perempuan di depan sana. Ada senyuman yang terasa berbeda dari si dokter. Yena tahu betul apa maksudnya. “Tidak perlu begitu, Yena. Sudah menjadi tugas saya.” “Sebelumnya saya hampir putus asa. Sudah berjalan dua tahun tapi belum ada perkembangan juga. Sebelum datang ke sini saya juga sudah mengantisipasi seandainya lagi-lagi Kak Sabria tidak menunjukkan perkembangan. Tapi sekarang saya merasa benar-benar lega.” “Sabria perempuan yang kuat. Dia sedang berusaha melawan semuanya. Kamu hanya perlu mendukung dan terus mendampingi. Sabar sebentar lagi Yena.” Dokter lelaki itu menepuk pundak Yena beberapa kali. Yena tersenyum dengan air mata yang lagi-lagi menetes. “Jangan beritahu keberadaan Kak Sabria saat ini, Dok.” “Iya, saya tidak akan memberitahukan sebelum mendapat izin dari kamu.” “Terima kasih banyak, bahkan sampai saat ini saya sudah membawa Dokter terlalu jauh. Tidak seharusnya saya seperti ini.” Yena mengusap air matanya. Menatap penuh rasa bersalah pada dokter di hadapannya yang sedang menampilkan senyuman menenangkan. “Yena, saya sudah pernah bilang sebelumnya. Jangan anggap saya sebagai dokter saat seperti ini. Yang menjadi urusan kamu, Vigo dan Sabria adalah urusan saya juga. Kalian sudah saya anggap seperti adik sendiri. Begitu juga Ivy, keponakan pertama saya.” “Saya tidak tahu harus berterima kasih dengan cara apa lagi.” “Tidak perlu berterima kasih. Saya membantu karena saya tahu kamu berada di pihak yang benar. Saya akan sangat bersalah jika membiarkan mereka menemukan Sabria saat ini.” “Mama.” Keduanya menoleh pada gadis kecil yang sedang berlari mendekat. Diikuti Vigo sembari membawa tas kecil Ivy. “Hallo Om Dokter,” sapanya pada dokter. Si dokter tersenyum ramah, menyesuaikan tinggi badannya dengan Ivy. “Hallo Ivy, apa kabar?” “Ivy baik.” “Masih suka es krim?” tanyanya. Ivy mengangguk antusias. “Ivy bisa ngabisin banyak es krim. Om Dokter mau beliin Ivy es krim?” Ivy tersenyum lebar. Menampilkan wajah menggemaskannya. Membuat sang dokter terkekeh sembari mengusap pipi gadis kecil itu lembut. “Ivy baru ngabisin satu cup besar tiga rasa, ‘kan?” Yena menyela, membuat Ivy menunjukkan wajah cemberut. Sementara dokter dan Vigo hanya menggelengkan kepalanya. Sudah terlampau sering melihat ibu dan anak ini bertengkar gara-gara perbedaan pendapat. “Om ‘kan pernah bilang, jangan terlalu sering makan es krim. Nanti gigi Ivy habis dimakan bakteri.” “Tapi Papa sering beliin Ivy es krim,” ucap Ivy membela diri sembari melirik Vigo yang hanya tersenyum singkat. “Papa?” tanyanya. Melirik Yena dan Vigo bergantian. Sedikit memberi tatapan menggoda membuat dua orang dewasa itu terlihat salah tingkah. Sang dokter hanya meresponnya dengan tawa pelan. “Tapi Ivy harus rajin sikat gigi yaa.” “Siap Om Dokter.” Mengangkat tangannya. Memberi gerakan hormat pada dokter membuatnya menerima usapan lembut di kepala. “Kayaknya harus segera diresmikan, Go,” ucapnya setelah berdiri. Vigo terkekeh pelan melirik Yena yang sudah memerah malu. “Maunya begitu. Tapi Yenanya belum mau.” Dokter itu kembali terkekeh, menepuk bahu Vigo beberapa kali. “Sabar-sabar. Sepertinya Yena masih harus diyakinkan lagi.” “Ya sepertinya memang kurang meyakinkan,” jawab Vigo singkat. Lagi-lagi disambut kekehan pelan si dokter. Yena semakin merona dibuatnya. Merasa malu saat sudah membahas mengenai pernikahan. Padahal keduanya sudah sedekat itu. “Mama kok Tante mainan boneka?” Ketiganya beralih, menatap ke arah Sabria yang masih sibuk menimang-nimang anaknya. Tidak terganggu dengan kehadiran orang-orang di depan pintu ruangannya. Mungkin belum sadar karena terlalu menghayati perannya sebagai seorang ibu. “Iya, Sayang. Tante suka sama bonekanya.” “Kalau Ivy bawain Cera untuk Tante boleh, Mama?” Yena diam. Melirik ke arah dokter dan Vigo bergantian. Sementara Ivy menunggu jawaban dengan terus memperhatikan bagaimana perempuan di depan sana sibuk dengan kegiatannya. “Bukannya Ivy suka Cera?” Ivy mengangguk. “Suka. Tapi di rumah Ivy punya banyak, sedangkan Tante cuma punya satu.” Dokter tersenyum lembut, mengusap kepala Ivy dengan sayang. “Kalau Ivy sama Mama ke sini lagi, Ivy boleh bawain Cera untuk Tante ya.” Ivy mengangguk dengan senyuman merekah. Yena terpaku, merasa sedikit aneh dengan respon Ivy. Masih teringat jelas pertemuan pertama Ivy dengan Sabria. Saat itu Sabria sampai mengamuk, membanting banyak peralatan sampai Ivy ketakutan. Gadis kecil itu juga enggan diajak menemui Sabria lagi setelah aksi mengamuk itu. Baru hari ini Ivy mau kembali mengunjungi Sabria, karena Vigo turut serta. Untuk Cera, boneka beruang seukuran badan itu, Yena tahu betul boneka besar itu adalah kesukaan Ivy. Satu-satunya yang selalu menemani Ivy saat tidur. Ivy terlalu menyukai Cera. Sedikit aneh jika saat ini Ivy merelakan Cera begitu saja. *** “Echa?” Ayeesha yang sebelumnya sedang sibuk mengurusi gaun menoleh saat pintu butik terbuka disusul panggilan seseorang. Tersenyum ramah pada perempuan yang beberapa hari kemarin baru saja mengunjungi butik. “Oh, Mbak Yara,” sapanya. Menghentikan kegiatannya dan beralih menyambut pengunjung. Arjun menyusul kemudian. Menampilkan wajah datar seperti biasanya. Ayeesha masih mengingat jelas apa yang dilakukan lelaki ini pada Yena kemarin. Melihat wajahnya yang saat ini seolah tidak terjadi apa-apa membuat Ayeesha diam-diam menaruh dendam. Sepertinya memang tipe laki-laki menyebalkan. Ayeesha hanya mengangguk singkat, sebagai bentuk penghormatan. Karena bagaimanapun kehadiran Arjun akan menambah pemasukan di butik. Ya setidaknya uang yang dimiliki lelaki itu masih cukup untuk mendapatkan penghormatan. “Kok sepi. Yena ke mana?” tanya Ayyara saat mendapati butik ini hanya dihuni oleh Ayeesha dan dua orang lain yang biasa membantu. Tidak ada Yena dan Ivy. Padahal ini sudah lewat jam makan siang. Kalaupun Yena sedang makan siang dengan Vigo, seharusnya sudah kembali ke butik, ‘kan? “Mbak Yena ke kantor Mas Vigo tadi.” Bukan hanya Ayyara yang tertarik dengan kalimat Ayeesha, tetapi Arjun juga. Lelaki yang tadinya sibuk mengedarkan pandangannya, kini menatap Ayeesha. Menunggu kalimat lanjutan dari asisten Yena itu. “Mas Vigo akhir-akhir ini sibuk. Sepulang sekolah tadi, Ivy merengek kangen papanya,” ucap Ayeesha yang pasti bukan alasan sebenarnya. Ayeesha hanya menggunakan kesempatan untuk memanas-manasi Arjun. Ayeesha bukan siswi SMA lagi yang tidak paham arti tatapan kagum dari sosok Arjun. Mungkin Yena memang secantik itu sampai lelaki yang baru bertemu saja bisa langsung mengagumi. Tapi bagi Ayeesha yang sudah berteman dengan agent tubir tiga tahun lamanya lengkap dengan keahlian mengeruk informasi, bisa melihat ada hal lain dari tatapan Arjun. Lelaki itu terlalu mendamba Yena. Seperti sudah mengenal lama. Semacam perasaan yang terpendam begitu lama. Sebenarnya, Ayeesha juga bisa melihat tatapan rasa bersalah dari sosok Arjun. “Ya ampun. Entah gimana, aku lagi-lagi mengagumi keluarga Vigo.” Ayyara kembali dengan kebiasaan fangirlnya. Arjun memutar bola matanya malas. Arjun memang mengajak Ayyara ke butik untuk membeli dress. Tapi ada alasan lain yang lebih kuat yang membuatnya memilih VB untuk tujuan kali ini. Tentu saja untuk melihat Yena. Karena perempuan itu masih enggan bertemu dengannya, setidaknya dengan alasan membeli pakaian Arjun bisa melihat wajah cantik itu. Walaupun tidak bisa dipungkiri, dengan membeli pakaian di VB sama dengan membuat Vigo semakin kaya. Malangnya nasib Arjun. Harus mengayakan Vigo dulu untuk bisa bertemu Yena. Apa ini semacam harga yang harus dibayar? “Jangankan Mbak Yara, aku aja yang ketemu tiap hari kagum sama mereka.” Ayeesha tersenyum sumringah. Sempat melirik Arjun yang sepertinya mulai terbawa alur pembicaraannya. “Vigo sosok laki-laki idaman banget, ‘kan?” “Iya, Mbak. Mas Vigo itu idaman kaum perempuan banget. Mas Vigo hampir nggak pernah nuntut Mbak Yena. Dia selalu menghormati Mbak Yena, nggak pernah memaksakan kehendak. Perempuan paling seneng kalau dihormati ‘kan, Mbak?” Mulut berbisa Ayeesha memang terkadang sangat-sangat berguna untuk masalah seperti ini. Ayeesha tersenyum dalam hati saat melihat wajah Arjun yang sudah berubah mengeras. Matanya menatap tajam, tapi Arjun tidak bisa berbuat lebih. Jika lelaki itu marah justru akan mempermalukan dirinya sendiri. Ayeesha yang selalu digertak zaman SMA karena beritanya, sekarang bisa memanfaatkan kemampuannya dengan baik. “Bener banget Cha, dan saat ini jarang banget ketemu laki-laki kayak gitu. Ya ampun Vigo, nggak cuma ganteng mukanya ya hatinya juga.” Ayyara semakin antusias. Ingatkan Ayeesha untuk membuat persatuan anti laki-laki b******k. Ayyara akan menjadi anggota pertama yang Ayeesha rekrut nantinya. “Iya, ‘kan? Aku juga iri sama Mbak Yena bisa dapetin laki-laki sebaik itu. Zaman sekarang ‘kan, laki-laki cuma mikir enaknya aja. Otaknya nggak jauh-jauh dari ya begitulah.” Ayyara mengangguk-angguk antusias. Membuat Arjun semakin geram dengan dua perempuan ini. Apa semua perempuan akan berubah seperti ini saat bertemu? Apa tidak ada topik yang lebih menarik daripada menjelek-jelekkan kaumnya? Dan sebenarnya Arjun merasa benar-benar sebal dengan pembicaraan yang dibawa Ayeesha. Perempuan itu seperti sedang menyindirnya. “Mbak tahu nggak sih, ada tuh tipe laki-laki yang asal nyosor aja. Baru pertama kali ketemu loh Mbak asal mepet-mepet. Nyebelin banget, ‘kan? Nggak menghormati kaum perempuan banget ‘kan Mbak?” Arjun semakin melotot tajam. Apa-apaan ini? Ayeesha benar-benar menantangnya atau bagaimana? Perempuan itu sengaja menjadikannya subjek utama dalam pembicaraan? “Ya ampun itu keterlaluan banget, Cha. Udah aku tendang, getak kepalanya, kalau bisa aku lempar dari gedung 47 lantai biar mampus sekalian.” Arjun mengalihkan pandangan ke Ayyara yang sudah geram. Mengepalkan tangannya dengan wajah galak. Arjun dibuat merinding mendengar kalimat sadis itu. Ayyara tidak pernah marah sebelumnya. Perempuan itu hanya sebatas kesal, dan sangat jarang mengucapkan kalimat sadis seperti ini. “Memang Mbak, tapi laki-laki kayak gitu masih banyak loh.” “Bukan kamu yang asal dipepet gitu ‘kan, Cha?” “Bukan dong Mbak, tapi temenku. Kasihan banget ‘kan, dia sampai nangis ngerasa dirinya nggak berharga banget. Tapi emang dasar laki-lakinya aja yang nggak tahu diri. Aku tuh heran sebenarnya dia punya otak apa nggak, bisa-bisanya asal pepet di hari pertama ketemu.” “Aku yakin laki-laki itu nggak punya otak, Cha.” Arjun tidak bisa berbuat lebih. Hanya diam sembari mendengarkan percakapan yang semakin lama semakin membuat telinganya memerah. Jangan lupakan hatinya yang terus-menerus menyabarkan diri. Jangan sampai ada skandal pembunuhan di dalam butik dengan dua korban perempuan yang sempat membicarakan keburukan kaum laki-laki. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN