Masuk Perangkap

1518 Kata
Mat membuka matanya ketika aroma masakan memenuhi hidungnya. Ia lalu keluar dari kamar untuk mengikuti aroma masakan. Sudut bibirnya terangkat ketika melihat Nidya tengah memasak. "Pagi," sapa Nidya ketika ia melihat Mat membuka lemari pendingin. Mat mengambil air minum lalu mendekati Nidya yang sedang menyajikan makanan di atas meja. "Nasi goreng, kenapa tidak ada te--" ucapan Mat tertahan ketika Nidya menyimpan telor ke atas nasi gorengnya. Ia tersenyum lalu duduk di kursinya. Mat tidak menyangka jika Nidya masih mengingat nasi goreng favoritnya dengan telur mata sapi diatasnya. "Pak Leo memintaku untuk segera kembali ke Indonesia karena berkas yang saya bawa harus segera dibagikan ke setiap divisi," ucap Nidya. "Nanti aku akan menyuruh orangku untuk mengantarkan berkas itu," timpal Mat santai. Nidya menghela napasnya, menatap Mat yang sama sekali tak menoleh ke arahnya. "Tak bisakah kamu bersikap profesional sebagai atasan? Aku karyawanmu, aku mencari uang di perusahaanmu. Jangan sampai orang lain menduga jika aku simpananmu, apa lagi hanya memanfaatkan kekayaanmu saja." Mat menggebrak meja, berlalu meninggalkan Nidya sendiri. Ia lalu mengambil ponselnya yang berada di kamar kemudian keluar dari apartemen. "Perubahan sikapnya benar drastis, baru semalam bersikap manis. Sekarang sudah berubah seperti binatang buas," gerutu Nidya. Ia bergegas membersihkan piring bekas mereka makan. Setelah selesai, Nidya lalu memesan tiket untuk kembali pulang ke Indonesia tanpa meminta ijin terlebih dahulu kepada Mat. Ketika ia sudah siap dengan kopernya, baru ingat jika berkas yang harus ia bawa tertinggal di kantor Mat. "Ah sial," gumam Nidya. Terpaksa dia pergi ke M&D Corp untuk mengambil berkasnya lalu kembali ke Indonesia. Lima belas menit berlalu, taksi yang ia tumpangi berhenti tepat di depan lobby. "Aku bayar pakai ini ya," ucap Nidya menscan barcode yang tertera di sana. Nidya menghampiri sekuriti yang sedang berjaga, untuk menitipkan tasnya. "Permisi Pak, aku titip koper sebentar. Aku hanya mengambil berkas di ruang Pak Mat." "Iya Bu, silahkan," jawabnya dengan sopan dan lembut. Nidya berjalan ke arah lift. Tanpa ia sadari, seseorang tengah memperhatikannya sedari tadi. "Bu, wanita itu datang," ucapnya singkat lalu menantikan panggilannya. Ia memasang wajah ramahnya menyapa tamu yang datang. Sementara itu, Nidya masuk ke dalam lift, menunggu hingga pintunya terbuka di lantai 10. Ia terkejut ketika melihat Mat sudah berdiri di depan lift tepat ketika pintu terbuka. Tak hanya Mat, ada pria tua yang berdiri disampingnya kemudian masuk ke dalam lift yang sama. Tak ingin mengganggu, Nidya melangkah keluar dari pintu dan hanya membungkuk ketika melihat pintu lift tertutup yang membawa Mat dan pria tersebut. Terlihat dingin dan seperti orang lain, hal itulah yang dirasakan Nidya ketika berhadapan dengan Mat seperti awal pertemuan mereka dulu. "Ternyata sudah masuk ke mode awal," gumamnya lalu pergi ke meja sekretaris Mat. "Permisi, Pak." Seorang pria mengangkat kepalanya menatap Nidya. "Di-Dimas, kamu sekretaris Pak Mat." Pria itu berdiri kemudian tersenyum menatap Nidya dan berkata, "Ternyata kamu masih mengenaliku." "Jelas, aku masih muda dan daya ingatku masih sangat bangus. Oh iya, aku disuruh mengambil berkas di ruangan Pak Mat." "Berkas apa ya?" "Aku sekretaris Pak Matheo dari pusat. Hari ini aku akan kembali ke Indonesia, tetapi berkas yang harus aku bawa masih tertinggal di ruangannya." "Ah, baiklah. Mari aku antar." keduanya masuk ke dalam ruangan atasannya. Dimas memperhatikan Nidya yang sedang melihat isi berkas, memastikan jika semua sudah di tandatangani oleh Sang Bos. "Ehm ... aku pikir kamu bukan sekretaris Pak Mat dari pusat." "Apa kamu pikir aku simpanannya," sela Nidya tak mengalihkan pandangannya dari berkas yang ia pegang. "Iya, aku hampir berpikir seperti itu saat Pak Mat memperlakukanmu berbeda dari biasanya. Ternyata--" "Ternyata, aku hanya sekretarisnya. Singkirkan pikiran yang bukan-bukan, karena kami hanya rekan kerja, tidak lebih," jelas Nidya. "Hm, sekarang aku mengerti." Dimas mengangguk, ia masih bisa mengingat dengan jelas saat Mat mengangkat tubuh polos Nidya yang hanya di tutupi kain. "Sekretaris," batinnya seolah mencemooh apa yang dia liat sebelumnya. Nidya membawa semua berkasnya. "Aku sudah mendapatkannya. Terima kasih atas semua bantuanmu, semoga kita masih dipertemukan kembali dilain waktu dan ditempat yang nyaman." "Aku harap seperti itu. Mari aku bantu," ujar Dimas. Keduanya lalu keluar dari ruangan Mat. Namun, langkah Nidya tertahan ketika melihat Sabrina yang berdiri menatapnya dengan tajam. "Bu Sabrina," ucap Nidya. Sabrina masih menunjukkan wajah yang penuh emosi. Ia kemudian menoleh ke belakang Nidya mencari sosok Mat di sana, tapi yang ia lihat malah Dimas yang juga sedang membantu Nidya membawa berkas. "Dimana Mat?" tanya Sabrina. "Pak Mat sedang keluar bersama Pak Burhan," jawab Dimas. "Papah, untuk apa dia menemui Mat," batin Sabrina. Ia kemudian menoleh ke arah Nidya, setelah merasa lega karena Mat tidak sedang bersama wanita lain. "Ah, Nidya. Maaf aku lupa menyapamu. Kapan kamu datang?" "Kemarin. Aku harus mengantarkan berkas yang harus ditandatangani oleh Pak Mat. Sekarang aku mau kembali ke Indonesia karena tugasku sudah selesai disini." "Jadi wanita itu Nidya." Sabrina bermonolog, ia memperhatikan Nidya dari ujung kaki hingga ujung kepala. Penampilannya sangat sopan tidak seperti sekretaris penggoda. Meski menggunakan pakaian yang simpel, tetapi orang akan menilai penampilan Nidya yang, wah. Apa lagi ia memiliki wajah yang begitu cantik dengan tubuh bak model. "Jam berapa pesawatmu berangkat?" Nidya melihat jam yang ada di tangannya kemudian berucap, "Jam 1." "Masih ada waktu untuk kita makan siang bersama. Aku harus menjamu temanku yang jauh-jauh datang dari Indonesia dan berhentilah memanggilku, Ibu!" protes Sabrina. Nidya hanya menyunggingkan senyum lalu mengikuti langkah Sabrina. "Tu-tunggu, berkasku tertinggal." Nidya mengambil berkas yang ada ditangan Dimas yang masih berdiri di sana. "Terima kasih sudah membantuku." "Sama-sama," jawabnya. Dimas memandangi keduanya yang terlihat begitu akrab. Bahkan Sabrina membantu Nidya membawakan berkas yang ada di tangannya. "Benar-benar hubungan yang rumit," gumamnya lalu kembali ke mejanya. *** Setelah memesan makanan, keduanya duduk berhadapan dan saling berbincang seperti teman yang sudah lama tidak bertemu. "Kamu sangat cantik, Nidya," puji Sabrina. "Benarkah, kamu juga cantik Sabrina. Sebelum memuji orang lain kamu harus memuji dirimu sendiri agar tidak merasa insecure." "Dan sayangnya aku benar-benar insecure," ucap Sabrina sembari tertawa. "Oh iya, apa hubunganmu dengan Alex? Aku lupa bertanya soal ini." Nidya berpikir sejenak, ia tidak ingin salah berucap karena ia tahu saat ini wanita yang ada di hadapannya itu sedang mencari tahu tentang dirinya. "Kami hanya cukup dekat." "Benarkah. Aku senang karena Alex memiliki seseorang yang membuat harinya menyenangkan. Mat tidak perlu mengkhawatirkan adiknya lagi." Tak lama makanan mereka datang, pramusaji menyajikan makanan ke meja mereka kemudian pergi meninggalkan mereka berdua. Sabrina menatap Nidya yang terlihat begitu menikmati pasta yang ia makan. "Kamu sama dengan Mat, dia juga sangat menyukai pasta disini," ucap Sabrina. "Benarkah." Sabrina mengangguk, bahkan cara Nidya makan pun sama dengan apa yang dilakukan Mat. "Oh iya, menurutmu Mat pria seperti apa?" Nidya berhenti mengunyah ketika mendengar ucapan Sabrina. Ia menyimpan sendok lalu menjawab, "Pria yang tegas." Sabrina mengangguk. "Tapi bukan itu maksudku, apa menurutmu dia gatal ke wanita lain?" Nidya tertawa mendengar ucapan Sabrina. "Dia tipikal pria yang hanya mencintai satu wanita. Meski dihadapkan banyak wanita, jauh di dalam lubuk hatinya ia menyimpan satu wanita yang tidak akan tergantikan." "Aku harap, hanya aku yang ada di hatinya." Nidya menunjukkan senyum palsunya lalu memakan kembali pastanya. "Maaf sebelumnya, apa tidak ada anak di antara kalian berdua?" Suara Sabrina tercekat, ia ragu untuk menjawab ucapan wanita yang ada dihadapannya. Namun, tak lama ia membuka mulutnya. "Tidak, aku tidak memiliki anak. Kami sudah berusaha, tapi mungkin Tuhan masih belum mau menitipkan janin di rahimku." "Nikmatilah masa pernikahan kalian dan tetap berusaha. Kadang pria ingin segera mendapatkan keturunan agar dia tak lagi berkelana di luar sana," ucap Nidya. Sabrina mengangguk, jika dipikir lagi apa yang di ucapkan Nidya memang benar. Mungkin itu juga salah satu alasan kenapa Mat seperti menjauhinya. Padahal dulu meski tak menyentuhnya tapi Mat memperlakukannya dengan baik. Tanpa mereka sadari seseorang tengah memperhatikan mereka berdua. Nidya mengambil ponselnya ketika berdering. Dilihatnya nama Mat yang muncul di layar ponselnya. Ia sengaja mengabaikan panggilan Mat karena tidak enak dengan Sabrina yang ada dihadapanya. Mat : Cepat pergi dari sana kalau kamu masih mau bekerja denganku. Matanya melihat ke sekeliling memastikan jika Mat tidak ada di sekitarnya. Namun, nyatanya Nidya bisa melihat dengan jelas jika Mat sedang berdiri di belakang Sabrina dan tengah memperhatikan keduanya. Ia pun memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas lalu berpamitan kepada Sabrina. "Aku pergi dulu, terima kasih atas makan siangnya. Jika kamu datang ke Indonesia, aku akan mentraktirmu," ucap Nidya beranjak dari kursi. "Oke, mau aku antar?" tanya Sabrina menawarkan diri. "Tidak usah aku sudah memesan taksi untuk mengantar aku ke Bandara. Terima kasih Sabrina, senang bertemu denganmu." Sabrina hanya melambaikan tangan melihat Nidya pergi keluar sembari menggeret kopernya. Ia tak mempedulikan Dimas yang sedang berdiri menatapnya. Nidya yakin jika Mat menyuruh Dimas untuk mengantarnya ke Bandara atau mungkin kembali ke apartemennya. Nidya menghentikan taksi lalu masuk ke dalam taksi. Dimas mencoba menghentikan mobil itu tetapi Nidya tak mengijinkan supirnya untuk berhenti. "Jalan saja, Pak." "Baik." Nidya lalu mengeluarkan benda pipih yang ada di sakunya karena terus berdering. ia menggeser tombol hijau dan mengangkat panggilan tersebut. "Aku akan kembali ke Jakarta. Terima kasih karena telah merawatku selama di sini." "Jangan pergi, aku akan mengantarmu kembali ke Jakarta." "Tidak perlu. Aku akan menunggumu di Jakarta, jadi cepatlah." Nidya mematikan panggilannya sepihak. Ia tersenyum penuh kemenangan setelah berhasil mendapatkan hati Mat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN