8 November 2015...
Akhirnya, setelah hampir 5 bulan berlatih teater, hari pementasan yang ditunggu-tunggu itu datang juga.
Jika sebelumnya aku akan merasa tenang dan santai, namun yang aku rasakan sekarang justru sebaliknya. Jantungku rasanya seperti akan meledak karena rasa gugup ini. Berulang kali aku menarik nafas untuk menenangkan diri, tapi tidak juga berhasil.
Astaga! Bagaimana jika aku tidak bisa menampilkan yang terbaik nanti? Aku takut mengecewakan teman-temanku yang lain. Aku--
"Hei,"
Sentuhan yang aku rasakan dibahu membuat aku tersadar. Aku menatap melalui cermin dan menemukan Abdee berdiri dibelakangku. Cowok itu sudah siap dengan walkie talkie ditangan kirinya, memudahkannya untuk berhubungan dengan anggota yang bertugas dibagian penjualan tiket. Aku pun berbalik menghadapnya.
"Lo gugup ya?" tanya Abdee. Cowok itu membuka tutup air minum yang ia pegang lalu memberikannya padaku. "Minum dulu,"
Aku menurut, meminum beberapa teguk saja.
"Udah mendingan?"
Aku mengangguk pelan, meski masih belum benar-benar tenang. "Penontonnya udah rame belum?"
"Bagian aktor nggak boleh tahu. Nanti lo makin gugup kalo tahu."
"Gue gugup banget, Dee. Gimana kalo gara-gara gue penampilannya jadi nggak bagus?"
"Hei," tegur Abdee. Ia meletakan walkie talkie miliknya diatas meja rias, kemudian menggenggam erat kedua bahuku. Sementara matanya menatapku serius. "Percaya sama gue, lo pasti bisa." ia tersenyum, menatap kedua mataku bergantian.
Aku mengerjap pelan. "Tapi--"
"Udah! Lebih baik sekarang kita berdoa, supaya pementasan kali ini lancar."
Tanpa mendengarkan protesku, Abdee memanggil seluruh anggota--kecuali yang berada diluar gedung--untuk berdoa. Aku pun menurut. Kami semua berdiri, membentuk pola melingkar, lalu mulai berdoa sesuai agama masing-masing.
Usai berdoa, kami kemudian menyerukan yel-yel. Berteriak sekencang-kencangnya sebelum berbalik ke tempat masing-masing.
Abdee kembali menghadapku setelah berbicara dengan Defta. "Lo siap-siap ya. Jangan gugup, oke?" ucapnya sambil menepuk bahuku. Aku hanya bisa mengangguk pelan.
"Kalo gitu gue tinggal dulu. Semangat!" ucapnya sambil mengepalkan kedua tangannya di depan d**a. Kemudian berbalik pergi untuk mengecek anggota yang lain.
Aku tersenyum tipis sambil memandangi punggung Abdee yang perlahan menjauh. Hingga kemudian aku tersadar saat mendengar suara MC. Para penonton mulai bersorak, membuatku kembali dibuat gugup.
"Astaga! Dari suaranya aja udah kedengeran rame!" gumamku sambil berusaha menenangkan diri.
****
Kini tiba pada babak terakhir, dan itu adalah giliranku untuk masuk. Ketika mendengar dialog terakhir yang diucapkan oleh Kiki--aktor yang berperan sebagai pengemis--aku pun berjalan masuk dengan perlahan, diiringi oleh suara musik.
Aku berdiri di titik lampu pertama, ketika aku menghadap ke depan, aku tidak bisa melihat penonton yang ada di depanku karena ada lampu yang langsung menyorotku dari depan. Hal itu membuat rasa gugupku perlahan menghilang. Aku pun mulai mengucapkan dialog yang selama ini aku hafal dengan lancar.
Semuanya berjalan sesuai apa yang aku harapkan, hingga tak terasa kami tenyata sudah sampai diujung acara. Ketika dialog selesai, semua lampu yang menyorot ke arah kami segera dimatikan. Dan selagi lampu dimatikan, kami para aktor bergegas ke belakang panggung.
Saat lampu dihidupkan kembali, sang MC kembali ke atas panggung. Menyapa para penonton dan juga menanyakan perihal pementasan kami tadi.
Dari belakang panggung, bisa aku dengar jika mereka semua bersorak senang dan menjawab jika mereka menikmati pementasan yang kami sembahkan.
Aku merasa terharu, tanpa sadar air mataku menetes. Ya Tuhan! Aku benar-benar senang ketika pementasan pertamaku berhasil. Aku sampai tidak bisa berkata-kata, bahkan ketika Abdee datang, aku masih sibuk dengan tangisanku.
"Udah kali nangisnya. Nggak malu apa diliatin anggota yang lain?" Ucap Abdee. Dan aku tahu, ia berkata seperti itu untuk menghiburku. Tapi tetap saja aku merasa kesal mendengarnya.
"Abdee ish!!" protesku sambil membersit hidungku. "Gue tuh terharu tahu!" ucapku masih dengan sisa tangisan.
Abdee tersenyum tipis. Tangannya bergerak untuk menepuk-nepuk pelan puncak kepalaku. "Iya-iya. Sekarang udahan nangisnya. Kita masih harus ke panggung lagi, buat perkenalan sama penonton."
"Iya," ucapku sambil membersit hidung lagi. Tiba-tiba saja Abdee memberikan sapu tangannya padaku.
"Pake ini aja."
Aku menerima sapu tangannya dan memakainya untuk membersihkan bekas air mataku. Kemudian seluruh anggota dipersilahkan untuk naik ke panggung, termasuk aku.
Sambil menggenggam sapu tangan Abdee, aku melangkah perlahan. Sampai dipanggung, aku dibuat terkejut saat tahu betapa banyaknya penonton yang ada disana. Seluruh kursi penuh, bahkan ada beberapa orang yang duduk ditangga.
Astaga! Mendadak aku merasa gugup.
"Kaget kan lo?" bisik Abdee padaku.
"Yang nonton banyak banget, Dee. Ini beneran?"
"Iya dong," ia merangkul bahuku. "Dan lo hebat karena udah tampil di depan orang sebanyak ini." ucapnya sambil mengacungkan satu jempolnya.
"Kan semua karena lo juga. Kalo nggak ada lo yang nyemangatin, gue nggak tahu bakal kayak gimana tadi." aku tersenyum padanya. "Makasih ya,"
Abdee ikut tersenyum, menampilkan deretan giginya yang rapi. "Sama-sama,"
Kami kemudian berdiri menghadap ke depan bersama seluruh anggota teater. Sekarang adalah waktu untuk sesi tanya jawab. Penonton berhak bertanya dan memberikan kritik kepada para anggota mengenai pementasan tadi.
Aku melihat ada lebih dari lima orang yang mengangkat tangannya untuk bertanya. MC pun memilih satu penonton yang duduk dibarisan kelima. Penonton itu segera berdiri, menerima mic yang baru saja diberikan.
"Perkenalkan nama saya Dani. Disini saya ingin bertanya, apa fungsi dari tulisan 'melawan' yang kalian pasang didekat panggung? Karena saya pikir kalimat itu tidak terlalu penting untuk diletakan disana. Bahkan penonton yang berada di paling atas belum tentu bisa membacanya," Dhani tersenyum tipis pada kami. "Itu saja yang ingin saya tanyakan. Terima kasih," ia kembali duduk dikursinya.
Abdee sudah siap dengan mic ditangannya untuk menjawab pertanyaan Dhani tadi. Aku lihat dia tampak menghela nafas sebelum berbicara. "Perkenalkan semuanya, nama saya Abdee. Disini saya sebagai ketua teater sekaligus sutradara untuk pementasan kali ini, saya disini akan menjawab pertanyaan yang diberikan oleh Mas Dhani. Jadi fungsi tulisan 'melawan' yang kami letakan di dekat panggung itu sebagai simbol. Karena tema pementasan kami ini bertepatan dengan hari pahlawan, jadi untuk itulah kami meletakan tulisan 'melawan' itu di dekat panggung. Dan arti dari tulisan melawan itu adalah mengenang pahlawan. Disini kami ingin menyampaikan cara untuk mengenang perjuangan para pahlawan, yaitu dengan penampilan kami tadi."
Suara tepuk tangan dari penonton menggema setelah Abdee menyelesaikan ucapannya. Aku juga merasa terkesan dengan penjelasan panjang Abdee tadi. Sekali lagi, ia mampu membuatku menyukainya lebih dalam.
Apa lagi ketika matanya menatap kearahku dengan senyum hangat yang ia tunjukan padaku, membuat jantungku kembali berdebar tak karuan. Aku balas tersenyum padanya. Hingga kemudian tangannya bergerak menggenggam tanganku. Ia kembali menghadap ke depan lalu membungkukan tubuhnya untuk perpisahan dengan penonton.
Astaga, jantungku!