Terjerat Kenangan Masa Silam

1926 Kata
SEMENJAK pagi, tak ada lagi yang dikerjakan Kinanti di rumah selain berada di dalam kamarnya yang sempit. Dia membuka-buka album lama, setelah itu membaca n****+-n****+ lawas, koleksi pribadinya semenjak remaja yang selalu dirawatnya di mana pun dia tinggal. Tak terasa waktu telah menunjukkan pukul sebelas siang, dia menutup n****+ kedua yang belum tuntas dibacanya. Lalu beranjak dari tempat duduk. Sesaat, menatap wajah dan tubuhnya di depan cermin yang sudah retak. Seraut wajah yang tanpa sapuan bedak dan polesan bibir. Bentuk alis yang dibiarkan begitu saja, rambut sebahu yang acak-acakan dan lebih memilih selalu dikepangnya dengan ikat rambut yang terkadang memakai ikat rambut yang itu-itu saja. Warna merah daru bahan tebal dan agak empuk. Kinanti mengamati pakaian yang dikenakannya. Kemeja kotak-kotak paduan warna merah muda dan biru muda berlengan panjang, bawahnya celan jins. Penampilanku yang selalu seperti ini, mana mungkin akan menarik hati lelaki, dia pun bergumam sendiri dalam hati. Lalu bibirnya tersenyum merasa geli pada dirinya yang belakangan ini tiba-tiba jadi suka memikirkan lelaki. Mengapa dan mengapa? Sebelumnya tidak pernah dia meluangkan waktunya untuk memikirkan laki-laki setelah dirinya berpisah dari lelaki yang pernah menjadi suaminya. Ayah dari ketiga anaknya. Albani, Baginda, dan Satria. Seluruh hidupnya nyaris tertumpu untuk merawat dan membesarkan ketiga anaknya laki-lakinya. Apapun akan dia lakukan demi ketiga putranya yang kian tumbuh membesar. Telepon selularnya yang bersemayam di dalam saku kemejanya, berdering. Nada panggilan. Dia merogohnya lalu mengeluarkan benda pipih itu. Lalu ditempelkan di telinga kirinya. Suara Mirna, ibunya menyeruak masuk. Memberitahukan bila perempuan itu tak akan buru-buru mengantarkan Baginda dan Satria karena mereka bertiga singgah dulu di rumahnya yang berdua di sebah kompek perumahan. Baru menjelang sore, dia dan kedua anak Kinanti hendak kembali ke rumah Kinanti. “Ya, Ma. Tidak apa-apa. Tadinya Kinan mau menjemput ke sekolah Baginda.” “Lho, kenapa harus dijemput, kan Mama bilang Mama yang mau jemput dia. Mama tadi semat ke tukang jahit, tapi ya Mama kembali lagi ke sekolah Baginda biar bisa sama-sama lagi pulang. Masa sih Mama tinggalkan!” “Maksud Kinan, menyusul Mama...” “Oh, ya tak usah. Sekarang Mama menuju rumah bersama Satria dan Baginda. Tadi di sekolah, Mama ketemu Albani, sudah Mama kasih uang jajan dua puluh ribu.” “Maaa, Albani jangan dikasih uang gede terus, Ma! Nanti dia jadi kebiasaan!” “Tidak apa-apa, kalau Mama lagi punya uang, kalau Mama lagi tak punya uang, dia juga tidak suka meminta.” “Emang tadi Albani minta sama Mama?” “Tidak. Mama yang kasih, dia jarang minta ko. Udah dulu, ya? Mama lagi di angkot nih, tidak enak dilihat orang-orang di dalam sini,” ucap ibunda Kinanti lalu menutup perbincangan. Kinanti pun mematikan telepon selularnya. Dia menuju ruang tamu yang merangkap ruang keluarga untuk menonton TV juga. Sekaligus ruang tempat makan. Lalu dia duduk di atas sofa lawas. Dihelanya napas perlahan. Mengapa akhir-akhir ini, dia acap terjerambab dalam kenangan masa silam? Masa-masa sekolah dulu. Masa-masa yang indah. Bersama teman-teman yang menyenangkan. Bersama teman yang dipilihnya menjadi sahabat. Firda, Rosa, Nayla, Nurul, dan Pretty. Hari-hari yang berwarna-warni, seolah dunia ini milik mereka di masa remaja. Lalu... di benak Kinanti, acap melintas sosok... guru muda itu! Pak Rama! Ah, mengapa dan mengapa? Di manakah kini gerangan sosok muda itu? Bibir Kinanti mengulas senyum, geli juga menganggap guru itu guru muda. Ya, mungkin muda saat Kinanti masih duduk di bangku SMA. Saat ia masih menjadi muridnya. Saai lelaki itu menjadi gurunya. Dan kini, usia Kinanti pun sudah lebih tiga puluh. Tiga puluh tiga tepatnya bila tanggal dua belas April bulan depan. Tentu, lelaki itu pun usianya kini-- sudah lebih dari usia Kinanti. Saat Kinanti masih kelas dua SMA pun, Kinanti teringat betul meski sedikit ragu, usia Pak Rama... sekitar dua puluh lima tahun. Atau lebih sedikit. Atau mungkin kurang dari itu. pokoknya, sekitaran itu meski Kinanti tak sampai tahu kapan lelaki itu dilahirkan. Dia hanya mengira-ngira. Apa yang menyebabkan aku kepikiran terus masa lalu? Terlebih masa sekolah. Masa SMA. Kinanti terus berpikir heran. Dia merasa tak membayang-bayangkannya. Awalnya pun tiba-tiba kenangan itu datang sendiri dan masuk di ruang ingatannya lalu menjeratnya. Kenangan itu mengitarinya. Mengajaknya singgah dan berlama-lama di situ. Membuat Kinanti terperangkap. Namun, dia pun tak memungkiri, menikmati kehidupan masa lalu di sana. Dan seolah, ia pun enggan beranjak kalau saja tak suara di dunia nyata, kini ia siapa... kini ia di mana... dan bagaimana kehidupannya saat ini. Di rumah yang sempit ini, yang hanya berukuran empat kali tujuh metar dengan teras yang sempit sekali, ia dan ketiga putranya tinggal. Sudah lima tahun dia di sini, sebelumnya, dia mengontrak sebuah rumah luas di kawasan lain. Rumah ini dibangun di atas tanah milik orang tuanya bahkan biaya untuk membangun rumah ini pun dari Mirna, sang ibu yang selalu menyayanginya meski terkadang perempuan itu acap banayk mengatur kehidupan Kinanti. Nasib rumah tangganya tak semulus yang dibayangkan. Dia dan lelaki pilihan orang tuanya berpisah saat anak kedua mereka lahir, lalu saat ia baru beberapa bulan tinggal di rumah ini, lelaki itu datang dan menikahinya kembali. Hingga Kinanti kembali melahirkan. Putra ketiga yang diberi nama Satria. Namun tak berselang lama, rumah tangganya yang dibina bersama lelaki yang sama pun kembali kandas. Saat itu, Satria baru saja dua bulan berada di muka bumi. Saat bayi itu tengah butuh-butuhnya limpahan kasih sayang yang banyak dari kedua orang tuanya. Kinanti tersenyum getir. Kepalanya menggeleng kuat-kuat. Tidak, tidak. Bukankah sebelumnya, dia tengah acap membayangkan hal-hal manis? Mengingat Andika, mantan suaminya, sama dengan menguak kembali luka lama. Dia harus bertahan dengan ketiga putranya. Albani, Baginda, dan Satria. Kini usia Albani sudah menginjak sembilan tahun, anak itu sudah duduk di kelas empat sekolah dasar negeri yang tidak memungut biaya sedikit pun tentunya, beda dengan sekolah swasta. Karena itulah, ia lebih memilih anaknya sekolah di sana. Lalu anak kedua, Baginda, sudah duduk di Taman Kanak-Kanak yang lokasinya tak jauh dari sekolah kakaknya. Sengaja, Kinanti pun menyekolahkan Baginda di sana agar bisa berangkat bersama kakaknya, Albani, di kala Kinanti tak bisa mengantar jemputnya karena ada keperluan darurat yang tak bisa ditinggalkan. Namun, dalam beberapa pekan ke belakang, ibunda Kinanti menawarkan untuk mengantar jemput Baginda sekaligus mengasuh Satria yang masih berusia dua tahun. “Biar kamu bisa leluasa mencari uang,” begitu yang diucapkan ibunda Kinanti padanya. Selama ini, Kinanti mencari uang dengan cara apapun, yang penting halal. Dia membantu teman baiknya berjualan pakaian di pasar, atau membantu pekerjaan rumah di salah satu saudara jauhnya. Dia merasa tidak malu apalagi gengsi meski dia dulunya jebolan sebuah perguruan tinggi ternama. Dia bisa saja mencari pekerjaan yang lebih layak yang sesuai dengan ijazah yang dimilikinya namun nyalinya kian ciut ketika sadar usianya mulai tak muda lagi, terlebih pengalaman bekerja yang tidak pernah dimiliknya karena ketika menikah dengan Andika, lelaki itu melarangnya ikut mencari uang. Terlebih Andika yang kala itu hidup mapan. Andika ingin Kinanti fokus mengurus anak-anak. Pintu rumah terdengar diketuk. Lalu ucapan salam pun mengiringinya. Lamunan Kinanti buyar. Dia melirik ke arah pintu dengan senyum manis. Lalu beranjak. Bibirnya membalas salam. Dibukanya pintu bercat cokelat, perlahan, seulas senyum masih menghiasi bibir ketika dilihatnya, Albani, anak sulungnya. Tengah melepas sepatu lalu kaus kakinya lalu dimasukkan ke dalam kedua sepatunya. Albani kemudian mencium punggung tangan ibunya. “Baru pulang, Nak?” tanya Kinanti seperti biasa saban Albani baru tiba di rumah sepulang sekolah. “Ya, Bun.” Albani masuk lalu duduk di sofa. Kinanti duduk di sampingnya. Lalu bertanya mengenai pelajaran apa saja yang diterima Albani hari ini dari guru di sekolahnya. Dengan lancar, Albani bertutur. Bukan hanya pelajaran sekolah. Namun juga mengenai teman-teman sekelasnya. Ada yang baik, ada pula yang suka jahil padanya. Lalu Albani pun bertutur bila dia bersua neneknya yang kemudian memberinya uang dua puluh ribu. Albani merogoh saku kemeja putihnya. Ada uang lima belas ribu, lembaran sepuluh ribu dan lima ribu. Uang kembalian katanya. Asalnya dua puluh ribu rupiah, selembar, lantaran hari ini dia tak mendapat jatah uang jajan dari ibunya, maka dia terpaksa memakai uang lima ribu rupiah dari uang pemberian neneknya. Dia tak bisa menahan liur ketika pada jam ostirahat melihat teman-temannya jajan di kantin. Akhirnya, dia pun membeli makanan dan minuman di sana. Kinanti menanggapinya dengan senyum di bibir, menatap anak sulungnya dan kagum. Albani acap paham dengan kondisi keuangan ibunya yang tak menentu, anak itu tak pernah menuntut. Bahkan ikut merasakan kondisi yang dihadapinya. Tangan kanan Kinanti mengelus rambut Albani yang sedikit berombak. Ditatapnya penuh kasih sayang. Semoga di hari kelak, kau jadi anak yang sukses, Nak, ucapnya dalam hati. “Katanya... Baginda dan Satria mau k rumah mereka dulu, kata Nenek tadi begitu, Bun.” “Ya, Nenek tadi bilang gitu pada Bunda.” “Nenekmenelepon Bunda?” “Ya, Nak.” “Oh, ya Bun... bunda masak apa hari ini?” tanya Albani serius. “Bunda tidak masak, Albani. Tapi di lemari dapur, masih ada sisa lauk semalam. Oseng tempe, ikan goreng, dan tumis campur. Jadi, Bunda mau hangatin kalau kamu sudah di rumah biar hangat. Nasinya sih sudah ada semenjak pukul enam pagi, hangat ko.... kan masaknya di magic com,” tutur Kinanti. “Berarti hati ini Bunda bisa berhemat, ya? Tanpa harus belanja.” Kinanti tersenyum lagi. Kian kagum dengan cara pikir anak sulungnya meski masih kanak-kanak tapi sangat bersimpati dan berempati. Albani pun menyerahkan kembalian yang lalu diberikan pada ibunya lantaran khawatir besok ibunya tak bisa membeli lauk pauk. “Biar besok Albani tak usah diberi lagi uang jajan, ya Bun?” “Tapi... kamu tak usah minta sama Nenek, ya?” Albani menggelengkan kepalanya. “Tidak, Bun. Tapi entah kalau Baginda... dia mungkin suka minta. Namanya juga anak kecil, ya?” “Hehehehe, iya... tapi kalau kata Nenek sih... Baginda pun tak suka berani minta, dia menunggu dikasih juga. Tapi kalau dikasih, ya senang. Kalau Satria ya belum mengerti, anak itu... kamu tau sendiri... agak rewel kalau soal jajan... suka memaksa.” “Iya, Satria begitu, Bun...” “Satria baru dua tahun, lebih...” “Mau tiga tahun?” “Beberapa bulan lagi?” “Ya.” “Baginda tak suka maksa.” “Setiap anak itu memiliki karakter yang berbeda. Meski lahir dari ibu yang sama,” jelas Kinanti. Lalu beranjak. “Bunda mau hangatin lauk pauk dulu. Kamu ganti baju seragammu, ya?” “Baik, Bun.” Kinanti pun menyalakan kompor gas. Apinya sudah tampak merah. Tanda gas elpijinya tak lama lagi akan mati. Kinanti mendesah. Ia teringat uang di dompetnya yang kian menipis. Tak mungkin pula ia minta bantuan ibunya yang dalam beberapa pekan ke belakang sudah banyak membantunya. Pagi-pagi menjemput Albani, Baginda, sekaligus Satria. Lalu pergi ke sekolah Baginda, menunggui Baginda hingga usai di sana bersama Satria. Memberinya jajan pada Baginda dan Satria, sekalian memberi uang pula pada Albani. Lalu ibunda Kinanti akan kembali ke rumah Kinanti dan membantunya memasak karena Kinanti masih di pasar membantu teman baiknya atau di rumah saudara jauhnya, mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Hari ini, Kinanti berada di rumah. Tak ada pekerjaan. Temannya yang memiliki toko pakaian di pasar mengatakan hari ini tokonya tutup dan dimungkinkan akan tutup juga ke depannya dalam waktu yang tak bisa ditentukan--karena suatu alasan yang Kinanti pun tak bisa menuntut bertanya tersebab keingin tahuan yang pada akhirnya dipendam saja. Entahlah apa besok saudara jauhnya akan meminta ke rumah itu, menyuruhnya bekerja. Kinanti ragu. “Bundaaaa...” Albani sudah ada di belakangnya. Kinanti kaget. Lalu tubuhnya cepat berbalik. “Albani mau makan dulu sebelum pergi bermain ‘kan? Tapi... jangan lupa solat zuhur dulu, ya?” “Bukan itu yang mau Albani katakan, Bunda.” “Lalu... apa?” “Bunda... bolehkah Albani mencari uang?” mata Albani menatap lekat ibunya. Mendengar itu, d**a Kinanti berdebar hebat. Hatinya tersentuh, pilu.***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN