Delapan

1599 Kata
Anggita menerima draft pertanyaan dari asisten Alexandria, dia masih berada di kantor sore ini. Berjalan menuju kantin, karena dia merasa perutnya yang mulai keroncongan. Dia harus menyelesaikan beberapa urusan sebelum mendapatkan draft pertanyaan. Dan tentu saja nomor ponsel asisten dari Calvin. Sebenarnya dia tak membutuhkan nomor itu, toh dia memiliki nomor pribadi Calvin. “Terima kasih,” ucap Anggita menerima makanan dan minuman yang disajikan oleh pelayan. Dia mengaduk es kopinya dan meneguknya. Dia ingin cepat menyelesaikan urusan ini karena itu dia langsung menelepon Calvin. Calvin sedang melakukan meeting dengan beberapa koleganya yang berasal di beberapa negara berbeda. Sehingga dia bisa melakukan meeting online itu di ruang kerjanya. Sementara sang asisten berada di meja seberangnya, ikut memantau jalannya meeting dan mencatat beberapa point penting. Calvin melihat nama pemanggil masuk, tak biasanya Anggita meneleponnya, padahal baru pagi tadi mereka berpisah. Apakah sesuatu yang buruk terjadi pada Bella? Pikiran itu menghantuinya? Dia pun segera meminta izin untuk menjawab panggilan penting tersebut. Dia mengambil jarak dan meminta asisten menggantikannya mendengar meeting tersebut yang mungkin saja ada pembahasan penting saat ditinggalkan olehnya. “Bella kenapa?” tembak Calvin. Anggita menatap layar ponselnya lalu kembali mendekatkan ke telinga. “Enggak ada apa-apa dengan Bella,” tukas Anggita. “Lalu kenapa kamu telepon?” tanya Calvin. “Aku diminta redaksi mewawancarai kamu untuk tabloid bisnis,” ucap Anggita. Calvin menghela napas, untunglah tak ada sesuatu yang mengkhawatirkan dengan Bella. “Aku sibuk. Enggak bisa.” “Kamu denger aku dulu. Ini penting untuk karir aku,” ucap Anggita. “Tapi aku enggak bersedia.” “Calvin, tolong jangan egois. Kamu yang terbiasa hidup dengan kekayaan enggak akan mengerti susahnya mencari uang!” “Anggita dengar, sejak dulu aku enggak pernah menyuruh kamu mencari uang. Aku bisa memberikan berapa pun jumlah yang kamu mau. Bahkan kamu pun enggak pernah mengecek tabungan yang aku kirim untuk kamu kan? Lalu sekarang kamu mau bahas tentang susahnya mencari uang??” “Aku bukan pengemis yang menadahkan tangan demi uang dari mantan suamiku!” “Anggaplah itu biaya mengasuh Bella.” “Dan sekarang kamu memperlakukanku seolah aku pengasuh!!” “Cukup Anggita. Aku sedang meeting penting, aku tutup.” “Sekali ini saja. Tolong.” Suara Anggita terdengar melemah. “Seperti ini saja,” ujar Calvin seraya mengurut pelipisnya, “aku bersedia wawancara dengan kamu tapi ada satu syarat. Kita harus jalan bertiga dengan Bella.” “Oke deal.” “Minggu kita jalan, senin kamu wawancara aku di kantor.” “Enggak bisa besok wawancaranya?” “Enggak. Kamu bisa aja ngebatalin acara jalan kita kalau sudah mendapat apa yang kamu inginkan.” “Aku enggak sepicik itu.” “Aku anggap kamu setuju, aku harus lanjut meeting. Aku matikan.” Calvin memutuskan panggilan itu membuat Anggita mendengus. Dia melihat layar ponselnya yang menunjukkan fotonya dengan Bella. Makanannya pasti sudah dingin sekarang. Dia pun segera menyantap makanannya. Sepulang dari kantor redaksi dia melewati taman apartmennya. Ternyata Bella ada di taman bersama ibunya, dan juga seorang pria tinggi berkaca mata yang mendorong ayunannya pelan. Anggita mengernyitkan kening dan menghampiri ketiga orang itu. “Dokter Raiz?” sapa Anggita. Raiz menoleh dan tersenyum padanya. “Sore,” sapa Raiz. “Mama,” panggil Bella, wajahnya sudah terlihat lebih baik sekarang, tidak pucat lagi. “Enggak ke rumah sakit dokter?” “Baru pulang, tadi dapat jadwal pagi,” ucap Raiz. “Nenek, aku mau naik perosotan,” ujar Bella, Raiz menghentikan dorongan ayunannya dan Bella turun dari ayunan menarik tangan neneknya. Raiz dan Anggita melihat ke arah mereka berdua. “Mau duduk di sana?” tunjuk Anggita pada kursi besi yang berada di sisi taman. Raiz mengangguk. Sore ini sangat cerah, banyak anak-anak penghuni apartmen bermain di taman ini. Taman ini sangat nyaman, terlebih bawahnya dialasi pasir pantai sehingga terasa lembut dan meminimalisir luka jika ada anak yang terjatuh. “Minggu ini ada acara?” tanya Raiz. “Kenapa?” “Kalau enggak ada, aku mau ajak marathon, lima kilo meter aja, fun run di Senayan.” “Wah sayangnya aku sudah janji dengan papanya Bella mau jalan bertiga,” ucap Anggita dengan suara lemas. Sudah lama dia tidak ikut marathon. “Wah sayang banget, tapi Bella pasti senang bisa jalan sama orang tuanya.” “Ya, ku rasa seperti itu.” “Kamu masih berhubungan dekat dengan mantan suami kamu?” tanya Raiz. Anggita mengangkat alisnya dan menatap Raiz. Raiz membenarkan letak kacamata dengan jari kelingking dan ibu jarinya. “Biasa saja, sebelumnya malah kita jarang komunikasi,” tutur Anggita. “Anggita haiii, eh ada dokter ganteng,” sapa seorang wanita paruh baya yang membawa cucunya yang berusia lima tahun, seusia dengan Bella. Cucunya seorang laki-laki yang terkenal sangat aktif. Lihat saja, dia sudah berlarian ke jungkat jungkit. “Bibi Nay,” panggil Anggita. “Mana ibu kamu?” tanya bibi Nay. “Itu,” tunjuk Anggita pada ibunya. Bibi Nay melihat arah yang ditunjuk Anggita. Tampak ibu Anggita mengawasi cucunya bermain. “Oiya dokter ganteng, sudah berkenalan dengan keponakan saya? Katanya kemarin dia sempat ke rumah sakit?” ujar bibi Nay. Raiz hanya mengangguk sambil tersenyum tidak enak. “Wah kayaknya mau ada yang jadi mak comblang!” sungut Anggita membuat bibi Nay mendengus. “Keponakan saya itu pengacara, dia lulusan terbaik di kampusnya, sekarang kerja di firma ternama. Cantik dan baik, sangat pas bersanding dengan dokter,” ucap bibi Nay membanggakan keponakannya. “Wah keren, giliran keponakannya dijodohin sama yang berkualitas. Giliran aku aja, enggak jelas semua,” rajuk Anggita. Bagaimana tidak? Dia sering sekali dijodohkan dengan lelaki yang menurut Anggita sangat tidak cocok dengannya. Pernah dengan kepala toko berusia lima puluh tahun yang lebih pantas menjadi ayahnya. Pernah dengan seorang ayah tunggal, empat anak, bukan masalah anaknya, namun dia tidak bekerja dan hanya menjalani bisnis yang sering sekali merugi. Sejak itu Anggita tak mau lagi dijodohkan oleh bibi Nay. Namun lihatlah kini, dia menjodohkan keponakannya dengan dokter sekelas dokter Raiz yang tampan. Betapa sangat tidak adil. “Itu kan kamunya saja yang pilih-pilih,” rutuk bibi Nay. Anggita mengerucutkan bibirnya sebal. Raiz hanya menahan tawanya saja. Sebuah dering ponsel terdengar, Raiz mengeluarkan ponsel dari sakunya. Ada panggilan dari rumah sakit. “Ya, jam tujuh malam saya sampai sana, baik,” ucap Raiz lalu memutuskan panggilannya. “Ada apa? Harus ke rumah sakit?” “Ya ada pasien anak yang mengalami kecelakaan, sudah ditangani di rumah sakit sebelumnya namun butuh penanganan lebih jadi akan di rujuk ke rumah sakit Bahagia malam ini,” ucap Raiz. “Oh astaga,” ucap Anggita. Raiz melihat jam tangannya. Dia harus bersiap. “Saya pamit dulu ya,” ucap Raiz, Anggita mengangguk, begitu pula dengan bibi Nay yang menggantikan posisi Raiz duduk tadi setelah dokter itu pergi. “Bagaimana kondisi Bella? Kemarin maaf bibi enggak bisa jenguk karena lagi di luar kota,” ucap bibi Nay. “Ya sudah membaik, tapi makanannya harus lebih diawasi lagi, Bi.” “Kasihan Bella, sekecil itu sudah harus sering keluar masuk rumah sakit. Apa kamu enggak kepikiran balikan dengan mantan suami kamu? Bibi dengar dia belum menikah lagi. Mungkin keadaan Bella akan membaik?” “Enggak Bi, sudah cukup hubungan aku sama dia. Terima kasih atas perhatian bibi pada kami.” “Kamu kuat Git, kamu pasti mampu melewatinya,” ucap bibi Nay bijak. Tak seperti tadi yang terkesan menyebalkan. Ibu Anggita dan Bella menghampiri Anggita, “ayo pulang sudah makin sore,” ucapnya. “Yuk,” ajak Anggita seraya menggendong Bella. Bella memeluk leher ibunya dan mengecup pipinya lembut. “Duluan ya bibi Nay,” ujar Anggita. Bibi Nay melambaikan tangan dan mengedipkan mata pada ibu Anggita. Mereka memang cukup dekat, terlebih ketika mereka sama-sama mengawasi cucu mereka di taman seperti ini. “Mama punya kabar gembira buat Bella,” ujar Anggita sambil berjalan menggendong putrinya. “Apa?” tanya Bella penasaran. “Minggu ini, kita akan jalan-jalan sama papa, Bella mau ke mana?” tanya Anggita. “Mama beneran?” tanya Bella dengan wajah antusias. “Iya, sekarang kita browsing tempat yang mau kita kunjungi yuk,” ajak Anggita. “Aku sudah tahu kita mau ke mana?” tanya Bella. “Ke mana?” “Rahasia,” ucap Bella seraya menutup mulutnya. Anggita dan ibunya tertawa melihat tingkah Bella. Jika sedang sehat seperti ini dia sama seperti anak normal lainnya. Sayang jika sakit, tubuhnya berkali lipat lebih lemah dibanding anak-anak pada umumnya. Yang membuat ruang geraknya terbatas. “Bagaimana tadi urusan kantor?” tanya ibu Anggita seraya membuka pintu apartmen. Anggita masuk lebih dulu, lalu menurunkan Bella dari gendongannya. Bella berjalan menuju kamar mandi, mencuci kaki dan tangan adalah kewajibannya jika dari luar, bahkan dia tak segan mengganti juga pakaiannya. Agar kuman tidak menempel pada tubuhnya yang membuatnya terserang penyakit. “Belum selesai, tapi aku yakin minggu depan selesai. Ibu enggak perlu khawatir,” ucap Anggita. “Malam ini ibu pulang ya,” ucap ibu Anggita. “Mau ke mana? Enggak nginap?” tanya Anggita. “Kumpul sama teman-teman arisan SMA.” “Arisan terus,” sungut Anggita membuat ibunya terkekeh. “Mau apa lagi? Kan nikah lagi enggak boleh sama kamu,” sindir ibunya. “Bukannya enggak boleh, tapi kan memang ibu yang enggak mau. Aku saja yang dijadikan kambing hitam,” dengus Anggita membuat ibunya tertawa. “Malas ngurusin makhluk paling pembangkang sedunia,” bisik ibunya yang disetujui Anggita. “Kalau kamu kan masih muda, enggak apa-apa menikah lagi, jangan ikuti jejak ibu.” Ucapannya jelas membuat Anggita sebal. Dia pun mendengus dan meninggalkan ibunya, menyusul Bella untuk membantunya mengganti pakaian. Menikah? Apakah Anggita sudah siap menikah lagi? Lalu dengan siapa? Apakah dia pantas mendapatkan pria yang tulus mencintainya? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN