Sepuluh

1806 Kata
Anggita telah berada di kantor Calvin, setengah jam sebelum janjinya semalam. Dia sengaja naik bus angkutan agar tidak terjebak macet. Karena di hari senin dan pagi hari tentu saja bukan hal menyenangkan untuk berkendara. Jalanan biasanya lebih macet dari biasanya. Pilihannya untuk menggunakan bus angkutan umum menjadi pilihan yang tepat. Dia bahkan sempat merapikan dirinya sebelum bertemu Calvin. Photographer pun telah datang dan menyiapkan kamera yang akan dipakai untuk memotret Calvin dengan Anggita nanti. Anggita memakai pakaian kerja semi formal. Baju terusan selutut berwarna putih dengan blazer berwarna nude, senada dengan heelsnya. Meskipun tadi dia mengenakan sepatu sport dan baru diganti ketika sampai. Dia juga menata rambutnya dan memakai make up tipis menghias wajahnya. Hendra, asisten Calvin mempersilakan Anggita masuk ke ruang kerja Calvin. Calvin telah siap di dalam sana. Anggita dan photographer itu masuk. Sementara photographer menyiapkan peralatan untuk memotret dan mencari angle yang bagus. Anggita menyiapkan daftar pertanyaan dan memegang alat perekam. Calvin tampak sangat memukau dengan balutan jas ternama yang didesign khusus untuknya sehingga sangat pas membalut tubuhnya. Dia mengenakan dasi berwarna gelap menimbulkan kesan misterius. Calvin duduk berseberangan dengan Anggita. Ini kali kedua dia menjejakkan kaki di ruang kerja ini. sepertinya ruang kerja ini banyak berubah. Pertama dia datang ketika hamil Bella dan dia diajak Calvin karena habis mengantar periksa kandungan Bella, dia harus segera ke kantor. Namun saat itu bukan waktu yang menyenangkan bagi Anggita karena dia hanya menunggu di ruangan ini dengan bosan hingga dia memutuskan untuk pulang lebih dulu meninggalkan Calvin yang masih memimpin rapat yang katanya sangat penting itu. “Oke kamera siap, Mbak Anggita,” ucap photographer. “Selamat pagi pak Calvin Dimitri Ghofar, apa kabar?” ucap Anggita berbasa basi. Calvin tersenyum miring. “Baik, langsung saja,” ucapnya dingin sejurus kemudian. Anggita menarik napas panjang dan mulai menanyakan beberapa hal yang telah disiapkan. Beberapa pertanyaan dimodifikasinya agar tidak monoton. Calvin sudah mendapat bocoran pertanyaan sebelumnya hingga dia bisa menjawabnya dengan cepat. Wawancara selesai hanya setengah jam setelah dimulai karena memang baik Anggita maupun Calvin tidak ingin membuang waktu. Terakhir mereka diharuskan foto bersama. Bukan untuk cover, hanya untuk arsip mungkin. Lalu Calvin berfoto sendiri, beberapa foto dibidik sang photographer untuk mendapatkan hasil terbaik. Kemudian Calvin memberi kode pada Hendra yang memang telah ada di sana. “Mohon maaf, karena bapak harus berangkat ke Philipina sekarang,” ucap Hendra sopan. “Baik, terima kasih Pak Hendra,” ucap Anggita. Lalu mencoba bersikap profesional, Anggita mengulurkan tangan pada Calvin untuk berjabat tangan. “Terima kasih pak Calvin atas kesempatannya,” tutur Anggita. Sang photographer pun menjabat tangan Calvin. Dia beranjak lebih dulu. “Tunggu,” ucap Calvin ketika Anggita bersiap untuk keluar dari ruangannya. Dia mengambil paper bag berukuran cukup besar. “Ini apa?” tanya Anggita. “Foto kemarin, kasih ke Bella dia, pasti senang,” ucap Calvin. “Wow,” tutur Anggita. Seperti kilat, foto itu bahkan sudah dibingkai dengan bingkai yang sangat lucu. Ada beberapa foto, namun Anggita tidak lama memperhatikan karena tak mau menyita waktu Calvin. “Terima kasih,” ucap Anggita. “Jika bukan karena Bella, aku enggan wawancara seperti ini, jangan mau jika diminta lagi,” kecam Calvin. “Ya, aku juga malas,” keluh Anggita. “Hati-hati di jalan,” ucap Anggita kemudian. “Mau oleh-oleh?” tanya Calvin, Hendra sudah tak ada di sana karena harus menyiapkan beberapa hal. “Enggak ada,” jawab Anggita. “Ok. Silakan,” tutur Calvin membuka pintu ruangannya. Anggita pun keluar dari ruangan itu, dia menuju toilet untuk mengganti sepatunya lagi. Kini bawaannya cukup banyak, selain tas berisi sepatu dan alat make upnya, dia pun harus membawa paper bag berisi foto mereka. Anggita berjalan ke halte bus di depan gedung perusahaan Calvin. Dia duduk di kursi menunggu kedatangan bus. Itu adalah halte untuk bus transit sehingga kendaraan bisa lalu lalang di hadapannya. Hingga sebuah mobil berhenti tepat di depannya. Dan pengemudinya membuka kaca jendela. Melongokkan wajahnya ke arah Anggita. Anggita melihat pria berkacamata menatapnya, lalu dia tersenyum pada pria itu dan menghampiri mobil tersebut. “Ayo masuk,” ajak Raiz. Anggita melihat beberapa mobil sudah berada di belakang mobil Raiz, dia tak mau menjadi penyebab kemacetan sehingga dia segera masuk, meletakkan barang di belakang dan memakai seat beltnya. Mobil Raiz melaju meninggalkan halte tersebut. Aroma obat masih tercium di mobil itu. “Maaf, ada bau obat ya?” ucap Raiz. Anggita hanya tersenyum tak enak. Mungkin Raiz melihatnya ketika dia mendenguskan hidung. “Habis dari rumah sakit ya Dokter?” “Ya ada tindakan tadi, snellinya kebawa jadi bau obat,” ujar Raiz melirik kursi belakang dimana terdapat snelli dokter yang dia kenakan tadi. Dia bahkan masih memakai baju hijau khas rumah sakit. Anggita hanya tersenyum memaklumi. “Enggak ada jadwal konsultasi? Kok langsung pulang?” “Hari ini jadwalnya sore,” tutur Raiz. “Oh,” ucap Anggita. “Bagaimana larinya kemarin?” imbuhnya. “Lancar, aku dapat medali, hehe lumayanlah,” ucap Raiz. “Oh menang dong?” tanya Anggita. “Enggak juga sih, medali hanya untuk lima puluh orang terdepan, lumayanlah aku urutan ke empat puluh tujuh,” kekeh Raiz membuat Anggita ikut tertawa. “Sudah bagus, kamu kan dokter bukan atlet,” ucap Anggita. “Kalau ada pasien gawat darurat, lariku bisa lebih cepet dari atlet lho,” ujar Raiz yang dipercayai Anggita. Dia tahu para tenaga medis memang memiliki kekuatan lain yang keluar jika dalam keadaan terdesak. Mereka bisa berlari lebih cepat dari siapa pun demi pasien dan Anggita sangat salut akan hal itu. “Mau makan siang? Masih kepagian ya?” kekeh Raiz membuat Anggita menggeleng. “Saya belum sarapan juga sih,” ucap Anggita. “Wah pas sekali, ayo ... saya ada rekomendasi tempat makan yang enak,” ucap Raiz. Anggita mengangguk. Namun dia sedikit mengerjapkan mata ketika Raiz memasuki kawasan perumahan, lalu berbelok ke arah perkampungan. Dia menghentikan mobil tepat di depan rumah sederhana dengan tulisan di kacanya, “Nasi uduk nenek.” “Di sini?” tanya Anggita. Raiz mengangguk dan keluar dari mobil diikuti oleh Anggita. Raiz mengucap salam, lalu seorang nenek tua ke luar dari rumah itu sambil tersenyum lebar. Raiz mengecup punggung tangan nenek tersebut, diikuti oleh Anggita. “Pak Dokter mau makan?” tanya nenek tersebut. “Masih ada enggak, Nek?” tanya Raiz. “Ada, ayo masuk,” ucap nenek yang berjalan agak sedikit membungkuk. Ada seorang cucu disabilitas yang bermain dengan mobilan di karpet. Rumah ini benar-benar sangat sederhana, sofa yang agak rusak dan lantai dengan ubin jaman dulu yang berwarna abu. Ada karpet usang dan televisi layar tabung, lengkap dengan antena khusus. Ada buffet besar yang kacanya tidak utuh. Nenek itu berjalan ke dapur dan Raiz mempersilakan Anggita duduk di sofa sementara dia menghampiri cucu nenek. Ya anak kecil itu menderita Down Syndrom, namun senyumnya sangat manis. “Iron Man, apa kabar?” sapa Raiz. Anak laki-laki yang mungkin berusia sepuluh tahun itu tertawa melihat Raiz, dia tak segan memeluk Raiz yang mengusap rambutnya. Nenek keluar membawa dua piring nasi uduk lengkap dengan semur dan sambal, dia masuk lagi ke dapur untuk mengambil setoples kerupuk. “Main apa?” “Mobil Iron Man,” ucap anak laki-laki itu menunjukkan sebuah mobilan berwarna merah. “Kok enggak sekolah?” tanya Raiz. Nenek duduk di sofa dan menyuruh Anggita makan. “Makan dulu dokter,” ucap nenek. Raiz duduk di dekat Anggita dan menyendok makanannya. “Kenapa Andik enggak sekolah, Nek?” tanya Raiz yang sepertinya sangat mengenal keluarga itu. “Sepatunya masih basah, ngambek enggak mau sekolah kalau enggak pakai sepatu. Kemarin hujan, nenek lupa angkat,” kekeh sang nenek. “Wah jangan gitu dong, masa Iron Man ngambek enggak pakai sepatu,” ucap Raiz. Anak kecil bernama Andik itu hanya menunduk memainkan roda mobilannya dan memasang wajah sedih. “Nanti enggak bisa lari,” cicit Andik. “Kan mau belajar, bukan mau lari,” ucap Raiz, “besok sekolah ya,” imbuhnya. Andik mengangguk malu-malu. Nenek hanya tertawa lalu Andik berpamitan pada nenek untuk bermain dengan temannya. “Ayahnya masih belum datang?” tanya Raiz. “Enggak, ibunya juga masih di luar negeri enggak ada kabar sama sekali, enggak apa-apa dia temani nenek di sini,” ucap nenek. Raiz menikmati nasi uduk buatan nenek yang menurutnya sangat nikmat. Rumah ini memang tidak seperti rumah makan kebanyakan, namun sangat cocok untuk orang-orang yang merantau sepertinya. Banyak anak kost yang juga makan di sini terutama di pagi hari. “Nenek sehat? Obatnya diminum rutin kan?” tanya Raiz. “Di minum, kemarin ada pemeriksaan kesehatan gratis, nenek kena asam urat sedikit jadi dapat tambahan obat,” ucap nenek sambil tertawa memamerkan beberapa giginya yang masih tersisa. “Makannya dijaga Nek, kalau nenek sakit kasihan Andik nanti,” ucap Raiz. Nenek mengangguk-angguk. Anggita melihat ke arah Raiz, pandangan matanya sangat hangat memandang nenek, sepertinya dia sudah lama mengenalnya. Entah karena Andik atau hal lainnya? Setelah menyantap nasi uduk, mereka pun berpamitan tak lupa Raiz menyelipkan uang cukup banyak untuk sang nenek yang meski ditolaknya namun Raiz berkeras agar nenek menerimanya, dia meminta nenek membelikan sepatu untuk Andik, di depan gang ada toko sepatu. Biar Andik memilih sepatu nanti. “Kamu sudah sering ke sini?” tanya Anggita. “Kalau lagi kangen nenek ya kesini,” ucap Raiz sambil melajukan mobilnya meninggalkan rumah nenek Andik tersebut. “Nenek Andik?” tanya Anggita. “Bukan, nenek saya. Sudah meninggal beberapa tahun lalu. Sejak kecil saya dirawat nenek, karena orang tua saya berpisah dan sibuk kerja,” ucap Raiz tanpa ada nada kecewa seolah menceritakan itu adalah hal yang biasa saja baginya. Anggita hanya mengangguk. “Nanti turunkan saya di depan jalan sekolah Bella saja ya, saya mau jemput Bella,” ucap Anggita sambil melihat jam tangannya seharusnya Bella sudah pulang sekolah sekarang. Tadinya dia mau menitipkan Bella pada Melissa namun ternyata dia masih memiliki waktu untuk menjemputnya. “Kita jemput bareng saja, lagi pula saya enggak ada kegiatan,” tutur Raiz. “Dokter kenapa baik banget sih?” kekeh Anggita. “Saya enggak baik ke semua orang kok,” ucap Raiz yang justru membuat Anggita tak percaya. Dia pasti baik pada semua orang. Mungkin jika dia bisa melihat yang tak kasat mata, Anggita akan melihat sayap di punggung Raiz, karena dia seperti malaikat. Anggita meminta Raiz menunggu dia menjemput Bella. Saat Anggita turun, Raiz menoleh ke belakang dan melihat benda mencuat dari paper bag yang hampir terjatuh itu, dia merapikannya dan tak sengaja melihat foto berbingkai, foto Bella dengan kedua orang tuanya. Raiz tersenyum sedih dan memasukkan foto itu lagi. Tak lama Anggita masuk ke dalam mobil bersama Bella. “Hai Bella,” sapa Raiz. “Pak Dokter?” sapa Bella yang tak percaya ibunya datang bersama dokternya. Bella bersalaman dengan dokter itu dan duduk di pangkuan Anggita. Mobil kembali melaju. Di kejauhan sesosok wanita menuntun anaknya memperhatikan mobil itu dengan senyum terkembang. Melissa! Dia akan menginterogasi Anggita nanti. Lihat saja! ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN